Senior saya di LP3ES H Utomo Dananjaya yang akrab di panggil “Mas Tom”, berpulang ker rachmatullah dini hari, Selasa 22 Juli 2014 jam 0.40, bulan Ramadhan, bersamaan dengan hari pengumumun Pemilihan Umum Presiden di Bandung. Almarhum tinggal bersama anaknya di Bandung, Jl. Bukit Sariwangi 4 No. 39 Geger Kalong, Bandung.
Dua hari kemudian istri tercintanya Mbak Mien menyusul di panggil Allah. Saya dengan sahabat Abu Yamin mengujungi mereka, sebelum bulan Ramadhan 1345 H, di Bandung. Walau dalam kondisi sakit, almarhum ingat dengan kami, dan masih membicarakan apa yang dilakukan sekarang.
Mas Tom meninggalkan kerabat, teman dan sahabat serta mujahid pendidikan. Kenangan kepada Mas Tom, bangkit kembali, saat berlangsung acara mengenang 40 hari dia dipanggil Illahi Rabby, menelaah kiprah, kepedulian dan persahabatannya dalam acara “Mengenang Utomo Dananjaya (1936-2014) dan Mien Muthmainah (1945-2014)” di Auditorium Nurcholis Madjid Universitas Paramadina, 27 Agustus 2014. Almarhum piawai dalam pelatihan partisipatif, pejuang, mediator dan organisator. Saya salah satu dari ratusan muridnya memperoleh bekal ketrampilan metodologis dan kepercayaan diri semasa di LP3ES.
Saat berlangsung sillaturrahmi alumni LP3ES, 17 Agustus 2014 di rumah sahabat H. M. Nashihin serta acara 43 tahun LP3ES, di kantor sementara LP3ES, Pejaten, Jakarta Selatan, ingatan kembali tertuju pada Mas Tom. Karena awal perkenalan adalah saat mengikuti seleksi untuk Peserta Pelatihan Peneliti Muda LP3ES.
Beliau dengan Bang Arselan Harahap dan Amir Karamoy menjadi tim seleksi. Saya sempat nyantri di lembaga ini sejak tahun 1975 hingga 1989, diawali dengan peserta pelatihan Peneliti Muda, angkatan ke 7 dan terakhir. Banyak hal yang didapat, terutama kesadaran kritis terhadap pembangunan, kepedulian pada kelompok lapis bawah, membangun diri, persaudaraan dan kemampuan metodologis sebagai fasilitator latihan partisipatif.
Mas Tom dikenal dengan sebutan "Master of Training" di LP3ES. Ia melatih berbagai kelompok aktivis dari berbagai organisasi non-pemerintah. Terdorong untuk membentuk tokoh-tokoh muda penerus bangsa. Ia juga merupakan seorang pendidik yang blak-blakan dan seorang pemikir yang kritis. Cara berpikirnya sedikit banyak dipengaruhi oleh Ivan Illich dan Paolo Freire.
Karya Tulis
Saya ingat betul buku pertama yang ditulis oleh Mas Tom bersama Mansyur Faqih dan kawan-kawan “Belajar dari Pengalaman”, sebuah buku yang menjadi pegangan para pemberdaya masyarakat dan kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Dua karya tulis terakhir yang diterbitkan oleh Para Madina, patut untuk disimak, yakni “Sekolah Gratis” Esai-esai Pendidikan Yang Membebaskan”. Media Pembelajaran Aktif, diterbitkan oleh Nuansa Cendekia, 2012. Minimal ada 3 hal dapat digaris bawahi, pertama, yakni kemajemukan individu, kebebasan/pembebasan dan kemandirian.
Catatan Sahabat dan Keluarga
Di malam itu, orang-orang yang mencintai sang guru berkumpul. Untuk sekadar disebut, mereka adalah Jimly Asshiddiqie, Fachry Ali, Daniel Dakidae, Hajriyanto Y. Thohari, Jalaludin Rakhmat, Hamid Basyaib, Komarudin Hidayat, Yudi Latif, Anis Baswedan, Lukman Hakim Syaefudin, Edi Sasono, Abdul Hadi WM, Hadjriyanto Y. Thohari, Didik J. Rachbini, dan banyak lagi. Diantara catatan teman-teman tersebut patut dicatat:
Prof. Jimly Asshidiqie, mengatakan, “Kelebihan Mas Tom adalah kemampuannya menerjemahkan ide-ide besar dengan penerapan praktis. Ini sangat dibutuhkan kala itu, karena sebagai aktivis kita tidak mungkin hanya bicara tataran makro yang abstrak tanpa bertindak praktis”. Jimly juga memberikan apresiasi kepada temannya itu bahwa salah satu keunikan Utomo Dananjaya adalah tidak canggungnya bergaul dengan lintas golongan.