[caption id="attachment_84096" align="aligncenter" width="135" caption="badai pasti berlalu"][/caption] Sebagaimana biasanya, setiap sabtu dan minggu sebagai hari libur saya memanfaatkan waktu untuk memenuhi hasrat hobbyku. Kelaut memancing. Kali ini petualanganku menuju laut cimpedak. Bagi orang yang sudah biasa menggunakan jasa transportasi laut dari kendari ke bau-bau atau sebaliknya, pastilah nama “cimpedak” tidak asing. Ya, di lokasi inilah setiap kapal yang akan lewat pasti merasakan goncangan akibat gelombang.
Tapi sesungguhnya saya bukan takabur, bagi saya ombak rasanya belum pernah membuat saya sampai mabok, apalagi muntah. Untuk memenuhi program mingguan saya kali ini memang tidak direncakan sebelumnya. Hanya karena mendengar cerita dari para nelayan yang pada intinya di daerah tersebut ikannya cukup banyak dan berukuran besar.
[caption id="attachment_84102" align="aligncenter" width="150" caption="inilah perahu yang kami gunakan"][/caption] Cerita inilah yang membuat hati saya tidak tenang dan penasaran. Bayangkan cerita itu saya dapatkan pada hari senin. Artinya bahwa saya baru bisa realisasikan pada hari sabtu atau minggu. Tak tahan rasanya sabtu dan minggu segera datang. Persiapan menuju lokasi cimpedak rampung lebih awal.
Saya menggunakan perahu nelayan dengan ukuran panjang 7 meter dan lebar 1,5 meter. Perahu ini digerakan dengan mesin jian dong 30pk. Jumlah penumpangnya sebanyak 5 orang.
Tepat pukul 14.30 wita kami bertolak ke lokasi. Awalnya perjalannya sangat menyenanangkan. Saya bisa menikmati indahnya laut dan beberapa pulau tak berpenghuni. Setelah perjalanan memakan waktu kurang lebih 2 jam tiba-tiba cuaca berubah drastis.
Langit yang tadinya cuma mendung dengan cepat berubah menjadi gelap. Tak lama kemudian angin kencang dan gelombang menghantam perahu kami. Bukan itu saja, hujan dan petir juga hadir. Atap perahu hancur luluh dihantam angin. Seluruh penumpang basah kuyup.
Saya melihat ombak dari samping perahu datang menghantam dan membuat perahu yang kami tumpangi oleng. Bayangkan, Ombak saya bisa pandang ke atas dari posisi perahu. Kalau saya perkirakan ketinggian bisa mencapai 4 samapi 5 meter.
[caption id="attachment_84105" align="aligncenter" width="150" caption="pulau indah tak berpenghuni"][/caption] Kondisi itu perahu nyaris tidak bisa bergerak maksimal karena baling-baling kadang tidak pada posisi yang sebenarnya. Jarak pandang juga mulai pendek. Kami tak bisa lagi melihat pulau.
Kondisi perahu juga sudah mulai terisi air. Bukan karena bocor. Tapi karena air hujan dan hempasan ombak. Saya hanya kebagian tugas untuk menimba air keluar. Satu tangan berpegang pada kayu perahu, satu lagi menimba air.
Keadaan ini yang pasti semua sudah was-was. Bahkan ada perintah dari pemilik perahu “kalau kita naas dan perahu terbalik, mohon jangan jauh dari perahu, tetap berpegang pada perahu” itulah instruksi dari pemilik perahu.
Peristiwa ini berlangsung kurang lebih 2 jam baru ada perubahan cuaca. Petir dan gelombang sudah mulai bersahabat. Sementara hujan masih tetap mengguyur kami. Karena jarak pandang sudah bisa melihat pulau, maka pemilik kapal memutuskan untuk berlindung di pulau. Pulau kecil tak berpenghuni. Nama pulau juga saya tidak tahu. Saya mencoba mencari di google earth ternyata tidak ditemukan.
[caption id="attachment_84109" align="aligncenter" width="300" caption="awan mulai gelap"][/caption] Telepon genggam yang kami bawa tidak bisa mendeteksi signal. Di pulau kami berlindung dan istirahat. Hujan tetap turun hingga pukul 3 dinihari. Setelah melihat kondisi cuaca sudahbersahabat kami putuskan untuk kembali ke kendari. Dalam perjalanan pulang kami masih singgah melepaskan pancing. Hasilnya tidak ada.
Petualangan kali ini, harus saya terima dengan bangga karena masih bisa menulis postingan ini untuk berbagi dengan sahabat kompasianer. Meski hasil pancingan tidak ada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H