[caption id="attachment_100724" align="aligncenter" width="300" caption="inilah sarana tranportasi rakyat ramah lingkungan"][/caption] Transportasi ini memang ramah lingkungan. Bagaimana tidak, untuk mengoperasikan kendaraan ini cukup bermodalkan layar dan bantuan angin. Dayung sebagai kemudi sesekali juga digunakan untuk mendayung agar perjalanan bisa lebih cepat.
Pemandangan ini hampir tiap sore dijumpai di pinggir laut kendari. Sarana transportasi ini masih menjadi andalan sebagian penduduk untuk melakukan aktivitas dan rutinitas sehari-hari. Meski demikian kehadiran alat tranportasi yang lebih modern yang digerakan dengan menggunakan tenaga mesin, lebih mendominasi laut kendari.
Eksistensi “perahu” sebagai sarana transportasi sungguh sebuah simbul keramahan lingkungan, sehat, murah dan meriah. Ramah lingkungan karena, perahu tidak membutuhkan bahan bakar minyak dan tidak membuat bising di telinga. Sehat karena sesekali harus menggunakan tenaga untuk mendayung. Sementara murah dan meriah karena untuk memiliki sebuah perahu tidak harus menyiapkan uang dalam bilangan jutaan rupiah sebagai investasinya.
Memiliki sarana transportasi ini, bisa juga jadi simbul bagi pemiliknya adalah rata-rata dari kalangan rakyat jelata, yang memang secara ekonomi tidak memungkinkan untuk memiliki sarana transportasi yang menggunakan mesin sebagai tenaga penggeraknya.
Maksud hati memeluk gunung apa daya tangan tak sampai, mungkin istilah inilah yang pas bagi masyarakat yang memiliki sarana transportasi ini. Tapi apapun alasannya, saya berpandangan lain. Dengan memiliki sarana transportasi ini, secara tidak langsung telah menyelematkan alam dari pencemaran.
Coba saja bandingkan dengan sarana transportasi yang menggunakan tenaga mesin. Sudah bisa dipastikan mencemarkan alam yang diakibatkan dari tumpahan bahan bakarnya serta asap yang dikeluarkan. Selain itu, suara yang dikeluakan dari mesin membuat bising di telinga.
Fenomena lain yang bisa saya tangkap dari kehidupan nelayan adalah status sosial yang melekat dengan harta benda yang dimiliki. Dan memang masuk akal. Nelayan yang telah memiliki perahu dengan menggunakan mesin sebagai tenaga penggeraknya mendapat predikat informal dari sesama nelayan sebagai golongan yang ”kaya”. Sebaliknya jika tidak berarti golongan ”kere”.
Golongan ”kaya” jadi terhomat, golongan ”kere” ya bisa jadi sebaliknya. Tapi mudah-mudahan tidak. Ini hanya persepsi saya. Persepsi ini saya ambil dari pengamatan saya. Bagi mereka yang memiliki golongan ”kaya” lebih banyak melakukan hubungan interaksi dengan lingkungan luar, yang mengakibatkan penghasilan dari nelayan dengan mudah ludes terjual habis. Sementara golongan ”kere” sebaliknya, harga jual hasil melaut sulit laku dan bahkan lebih banyak berhubungan dengan tengkulak.
Inilah kenyataan hidup. Justru mereka yang menyelematkan lingkungan kurang diterima pasar, sementara golongan kaya yang nota benenya lebih dominan dan berpotensi merusak lingkungan justru mendapat tempat yang layak dalam mengelola usahanya.
Tapi yakinlah saudaraku para nelayan ”kere” tetap bangkit dan penuh semangat, kalian adalah pahlawan lingkungan yang menyelamatkan bumi ini. Tuhan bersamamu. Tuhan menyiapkan hasil melimpah dalam surga kelak, amin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H