Mohon tunggu...
Muchson Thohier
Muchson Thohier Mohon Tunggu... Lainnya - Orang biasa

Rindu Harmoni

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Membiasakan Berbagi Doa dalam Keluarga

2 September 2016   15:37 Diperbarui: 2 September 2016   17:47 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Di antara kebiasaan yang mampu menguatkan ikatan dalam keluarga adalah kebiasaan berbagi doa. Sebuah kebiasaan yang mengandaikan adanya saling doa mendoakan di antara sesama anggota keluarga. Alangkah indahnya bila setiap langkah orang-orang yang kita cinta  ada doa tulus kita yang menyertainya. Suami mendoakan istri, istri mendoakan suami, orang tua mendoakan anak, anak mendoakan orang tua dan begitu seterusnya. Malu rasanya bila biasa saling mendoakan, kok masih mudah ribut dan bertengkar. Apalagi kalau untuk persoalan yang sepele.

Logikanya sebuah keluarga memang dibentuk untuk saling berbagi. Awalnya dua anak manusia menyatu dalam sebuah ikatan, menjadi suami istri dengan tujuan utama antara lain berbagi bahagia plus berbagi derita. Itu kenapa bagi suami atau istri yang tidak siap berbagi, yang egois misalnya, yang hanya siap bahagia saja, itupun bahagia hanya untuk dirinya sendiri, hanya akan mempersulit terwujudnya tujuan bersama tersebut. Karena berbagi adalah sebuah kelaziman dalam keluarga, maka masing-masing anggota keluarga dengan sendirinya akan terbiasa untuk memberi dan menerima.

Dalam keluarga yang wajar, pastilah setiap anggotanya akan berusaha memberikan hal-hal yang baik, bahkan sebisa mungkin yang terbaik kepada anggota yang lain. Karena pada saat hal itu terjadi maka dengan sendirinya mereka pun akan memperoleh, akan menerima hal-hal yang sama. Saat semua memberikan yang terbaik, bukankah mereka pun pada saat yang sama  akan menerima yang terbaik?

Manusia Makhluk Terbatas

Sayangnya manusia dilekati keterbatasan. Begitulah sebagai makhluk, manusia bukan sosok sempurna. Kesempunaan hanya milik Tuhan, Sang Khalik. Sehebat apapun manusia, sekuasa apapun dia, tetap saja kehebatan dan kekuasaannya ada titik akhir. Lihatlah para raja dan para penguasa yang lalu lalang dalam sejarah kehidupan ini. Adakah kekuasaan mereka yang abadi? Jangankan kekuasaannya, raga mereka saja tidak abadi. Pada saatnya, toh orang yang disanjung sanjung karena kehebatannya, ditakuti karena kekuasaannya sekalipun, tetap tutup usia. Tetap berakhir jatah waktu kehidupannya di pentas dunia ini.

Manusia  memang lemah. Mau jujur mengakui ataupun tidak, ikhlas atau tidak, faktanya manusia memiliki keterbatasan-keterbatasan. Dalam konteks ini doa, berdoa adalah sebuah pilihan yang logis dan bijak. Kita ini banyak maunya, banyak inginnya, tapi dalam banyak hal kita terbatas. Maka setelah segala daya kita optimalkan -  dan tetap saja optimalitas itu pun terbatas sifatnya, kita serahkan keinginan, harapan, cita-cita itu kepada pemiliknya yang sejati, Tuhan. Dialah yang membagi masalah, sekaligus pemilik kunci dari setiap masalah itu. Dialah yang mendatangkan kesulitan, Dia juga yang mendatangkan kemudahan.

Contoh yang paling sederhana, misalnya masalah perjuangan kita selaku orang tua dalam mengawal tumbuh kembang buah hati kita. Jelas dalam hati setiap orang tua, tersemai harapan akan kebahagiaan anak-anaknya. Pun terselip cita-cita kelak anak-anak akan meraup sukses, mendapati keberhasilan. Karena itu hampir sebagian besar orang tua rela berpayah payah, memaksimalkan upaya agar harapan dan cita-cita itu terwujud pada saatnya.

Namun semaksimal apapun upaya orang tua, tetaplah kita tidak mungkin mendampinginya 24 jam terus menerus. Tidak mungkin pula kita mampu memenuhi segala kebutuhan-kebutuhannya. Tidak bisa juga kita mengawal setiap rencana yang kita siapkan untuk mereka, atau rencana yang disusun anak kita untuk diri mereka sendiri. Jangankan “membereskan” semua urusan anak, urusan kita sendiri pun tak mungkin semua bisa kita bereskan. Tetaplah ada peran dan kontribusi dari “luar”.

Hal sama pun terjadi pada upaya-upaya kita dalam urusan yang lain. Urusan dengan istri, dengan orang tua, dengan saudara, tetangga, rekan kerja, ataupun urusan dengan orang-orang yang lain. Sehebat apapun kita, semaksimal apapun usaha kita, tetap saja ada kesenjangan, ada jurang yang lebar antara keinginan kita dengan kemampuan kita dalam mewujudkan keinginan-keingainan itu. Lalu apa yang bisa dilakukan? Bila kehadiran secara ragawi tak mungkin bisa dilakukan, bila upaya yang bersifat lahir tak mampu lagi ditunaikan, setidaknya ada doa kita yang selalu mendampingi mereka dalam menjalani garis nasibnya. Yakinlah doa dengan caranya sendiri bisa “menggantikan” tugas-tugas kita itu..

Doa sebenarnya adalah bahasa batin, bahasa hati, bahasa ruhani yang lahir dari sebuah pengharapan atas kebaikan obyek ataupun orang-orang yang kita doakan. Kalaulah kemudian doa itu terlantun secara verbal, sesungguhnya itu lebih bermakna untuk menguatkan. Karena doa merupakan bahasa hati, maka kebiasaan berbagi doa, misalnya antar anggota keluarga, dengan sendirinya membuat hati mereka terjalin lebih dekat dan lebih bertaut. Saat seorang ayah terbiasa  mendoakan anaknya, dan Sang anak pun melakukan hal yang sama, percaya atau tidak sejatinya hati mereka telah saling sapa untuk kemudian menjadi lebih intim.

Doa juga sebuah pemberian, bahkan salah satu pemberian terbaik, sebuah hadiah yang lahir dari sikap peduli.  Saat kita dekat atau jauh, saat kita mampu hadir atau tidak, saat kita dalam kondisi lapang atau sempit, saat kita dalam kondisi apapun, kemudian hati kita peduli – bukan hanya ingat, pada seseorang entah karena keadaannya atau karena sebab yang lain, maka mendoakannnya adalah hadiah terindah dan terbaik, karena ia lahir dari ketulusan. Doa adalah hadiah dari ruang sunyi, yang bergerak cepat menuju alamat, tanpa merasa perlu untuk memperkenalkan diri darimana dia datang dan bahkan tiada peduli andai kata yang didoakan pun tak menyadari atau bahkan tak mengetahuinya. Cukuplah Tuhan saja yang mengetahuinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun