Perempuan itu nampak lelah. Didampingi seorang pengacara yang cukup terkenal dia menggelar jumpa pers, mengabarkan perkembangan kasus perceraiannya dengan Sang suami. Maklumlah sebagai publik figur, seorang pesohor, banyak yang peduli dengan urusan pribadinya. Khususnya para penggagas dan penikmat tayangan infotainmen. Setelah menjalani kebersamaan dengan suami kurang lebih 15 tahun, biduk rumah tangga itu hampir karam. Berbagai spekulasi muncul menyoroti sebab musabab hampir berakhirnya pernikahan mereka. Dan gosip kencang yang berkembang karena hadirnya “orang ketiga”.
Orang ketiga? Terasa janggal juga bila hal ini yang jadi penyebabnya. Secara fisik perempuan ini cukup sempurna: cantik, menarik dan mapan. Begitupun suaminya, sebagai laki-laki dia cukup tampan dan yang pasti mapan secara ekonomi. Bukankah mereka pasangan yang serasi dan ideal? Begitulah keyakinan publik selama ini. Lalu mengapa bisa hadir orang lain merecoki dan bahkan menghancurkan kebersamaan mereka itu? Entahlah! Dan semoga gosip yang berkembang itu tidak benar.
Dalam sejarah peradaban manusia, memang telah banyak catatan yang membuktikan pernikahan hancur berkeping karena hadirnya PIL (Pria Idaman Lain) atau WIL (Wanita Idaman Lain). Bukan hanya berlaku untuk para artis, selebritis, namun juga beragam kalangan yang lain. Pengusaha, politisi, pejabat publik, kalangan agamawan bahkan masyarakat jelata sekalipun. Benarlah bila dikatakan bahwa Iblis selalu mengintai dan berusaha menerai-beraikan ikatan pernikahan dengan berbagai tipu dayanya. Iblis sebagai pengkhianat ajaran-ajaran Tuhan tak pernah lelah mencari pengikut dan mengkader pengkhianat-pengkhianat baru termasuk para pengkhianat pernikahan.
Bagaimana pernikahan tidak hancur bila salah satu atau bahkan dua-duanya dari pasangan suami istri telah berlaku khianat. Pada dasarnya tidak ada manusia yang ikhlas dikhianati, tidak rela diduakan. Apalagi pernikahan adalah sebuah ikatan yang mengandaikan kesetiaan sebagai penguatnya. Bila kekuatan pernikahan telah longgar bahkan putus hampir pastilah yang terjadi adalah bercerai berai.
Saat seorang laki-laki dan perempuan mengikrarkan janji suci atas nama Tuhan, sepakat menjadi suami istri tak ada lain kecuali mereka dituntun oleh ajaran Tuhan untuk terus teguh berlaku setia. Agama apapun tak pernah memberi restu untuk berlaku selingkuh. Saat seorang suami menetapkan hati memilih seorang perempuan sebagai istrinya itu artinya dia harus “rela” menyisihkan nama dan sosok perempuan lain dari relung hatinya. Mestinya tak tersisa ruang sedikit pun untuk hadirnya nama lain karena bila masih tersisa ruang, walau sedikit, oleh berbagai sebab bisa membesar suatu ketika. Begitupun mestinya berlaku untuk para perempuan yang telah menetapkan seorang laki-laki sebagai suaminya.
Kesetiaan adalah Kehormatan
Suatu hari seorang Arab pedalaman datang bertamu ke rumah khalifah Umar ibn Khattab. Laki-laki ini datang hendak mengadukan persoalan yang sedang membelitnya. Istrinya begitu bawel, suka berkata-kata kasar dan sangat menyinggung perasaannya. Begitu mendekati pintu rumah Umar, dia mendengar seorang perempuan yang tak lain adalah istri Sang Khalifah tengah meradang dengan suara keras dan sedang mengomeli Sang Khalifah. Menyaksikan hal itu laki-laki dari Arab pedalaman tentu ragu dan bertekad mengurungkan niatnya untuk bertamu.
Umar keluar rumah dan melihat laki-laki yang hendak meninggalkan rumahnya, dipanggillah orang itu sembari bertanya: “apa keperluanmu wahai saudaraku?” Laki-laki itupun menjawab: Wahai Amirul Mukminin semula aku datang hendak mengadukan kejelekan akhlak istriku dan sikapnya yang membantahku. Lalu aku mendengar istrimu berbuat demikian, maka akupun kembali sambil berkata, ”Jika demikian keadaan Amirul Mukminin bersama istrinya, maka bagaimana dengan keadaanku?”
“Wahai saudaraku, sesungguhnya aku bersabar atas sikapnya itu karena hak-haknya padaku”. Demikian kata Umar.
“Dia yang memasakkan makananku, yang mencucikan pakaianku, yang menyusui anak-anaku dan hatiku tenang dengannya dari perkara yang haram. Karena itu aku bersabar atas sikapnya”
Kisah khalifah Umar di atas sekedar gambaran bahwa tak ada di dunia ini laki-laki ataupun perempuan yang sempurna. Bahkan istri khalifah dan khalifah sendiri sekalipun. Manusia tetaplah makhluk yang dilekati berbagai keterbatasan. Namun berbagai keterbatasan, kekurangan, ketidak-sempurnaan itu tak seharusnya menyebabkan seorang suami meninggalkan istri dan begitu pula sebaliknya. Bila kita bukan sosok yang sempurna, tentu tak adil bila menginginkan pasangan yang sempurna.
Suami punya kelebihan dan pastinya juga memiliki kekurangan. Istri pun demikian. Justru karena tidak sempurna itu suami istri bisa menjalin kerja sama dan saling membutuhkan. Kekurangan istri bisa diminimalisir oleh kelebihan suami. Kekurangan suami bisa diminimalisir oleh kelebihan istri. Andai pun kekurangan itu tak bisa diminimalisir oleh kelebihan pasangan, bersabar atas kekurangan pasangan menjadi ladang pahala. Sungguh tak pantas kekurangan pasangan dipergunakan sebagai ladang menanam dosa. Memarahi, mencela, berlaku kasar bahkan berpaling dan meninggalkannya.
Kesetiaan suami istri adalah kehormatan bagi dirinya. Saat seorang suami telah abai dengan sikap setia itu artinya dia telah abai dengan kehormatannya sendiri. Begitupun seorang istri yang berani main mata dengan laki-laki lain, sama artinya dia telah melepaskan kehormatannya dan mencampakannya dalam comberan. Bagi suami, istri adalah amanah yang tidak hanya dipertanggung-jawabkan pada mertua, namun juga pada Tuhan.
Lihatlah betapa beruntung para suami itu. Dia meminang calon istri saat perempuan itu telah dewasa. Saat perempuan itu nampak cantik dan pintar, diambilnya dia dari keluarga yang telah sekian lama merawat dan membesarkannya. Tentu saat merawat dan membesarkan ini disertai dengan berbagai pengorbanan: tenaga, waktu, materi, bahkan darah dan air mata. Ibarat kata para suami itu tinggal memanen saja. Dan saat para perempuan itu telah syah menjadi istrinya, kewajiban istri taat pada suami lebih utama dibanding ketaatannya pada orang tua.
Para istri pun tak kalah beruntung. Saat para suami meminang mereka, tentulah mereka ini sudah menjadi pria dewasa, dengan segala ketrampilan dan kematangannya. Nyaris para istri ini tak memiliki kontribusi bagi proses pematangan dan pendewasaan itu. Saat para laki-laki itu telah syah menjadi suami, maka kewajiban suami adalah menafkahi istri dan keluarga barunya. Bukan menafkahi orang tua dan sanak kerabat yang pastinya telah berjuang membesarkan dan mengantarkannya ke gerbang kesuksesan.
Semua perjuangan dua keluarga mempersiapkan calon suami dan calon istri akan terbayar lunas, saat menyaksikan putra putri mereka mendapatkan kebahagiaan dalam pernikahannya. Hampir tak ada orang tua yang menagih jasa-jasa mereka dengan imbalan materi dan semacamnya. Saat mendapati anak dan menantunya hidup tenteram, menjalani rumah tangga sebagaimana lazimnya sebuah keluarga, saling memegang teguh kesetiaan, menghadirkan cucu yang shalih cukuplah itu sebagai alat tukar yang nilainya jauh lebih berharga dari tumpukan materi yang berlimpah sekalipun. Inilah amanat setiap orang tua yang mesti digaris-bawahi oleh setiap anak dalam menyikapi pernikahannya.
Itu kenapa saat memutuskan menikah seseorang pun harus berani mengikrarkan tekad untuk berani setia. Jangan menikah bila tidak siap untuk setia. Apa jadinya pernikahan bila tidak diawali niat semacam itu. Sedangkan yang diniatkan dengan sungguh-sungguh pun adakalanya bisa tergelincir dan terperosok. Banyak kisah sebuah pernikahan yang diawali dengan bunga-bunga puja puji, janji sehidup semati ternyata rontok dalam waktu tak berapa lama. Penyebabnya tak lain adalah ketidak-mampuan menjaga spirit dan energi saat berproses dan menjalani kehidupan rumah tangga yang sebenarnya.
Karenanya niat saja tidak cukup. Niat yang baik tidak serta merta terwujud dengan mudah. Harus diikuti dengan kesiapan untuk berproses dan berjuang. Pasangan suami istri mesti bersinergi, saling menjaga dan menguatkan. Kesetiaan ibarat sebuah tanaman yang mesti dirawat, dijaga dan disuburkan. Sehingga walau ujian, godaan, rayuan datang dari berbagai arah misalnya, dia tetap tumbuh kokoh, sehat, makin besar dan pada saatnya menghasilkan buah-buah yang manis.
Walhasil, sekali lagi perlu digaris-bawahi bahwa kesetiaaan ibarat baju yang menjadi simbol kehormatan seseorang. Simbol ini tidak hanya menjadi penanda nilai seseorang di hadapan manusia lain, namun juga derajat dan kedudukannya di hadapan Tuhan. Maka berhati-hatilah!
Wallahu a’lam bi alshawab
REMBANG, 02 PEBRUARI 2014
Artikel-artikel lain:
Pernikahan : Bukan Sekedar Meriahnya Pesta
Warisan Akhlak, Warisan terindah untuk Anak
Saat Kesetiaan Berbalas Pengkhianatan
Ibu, kumohon Beri Kesempatan Ayah Kembali
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H