Sebuah keluarga hampir pasti tidak bisa melewatkan waktu untuk bersama-sama setiap saat. Entah karena tuntutan pekerjaan, karena kepentingan study atau karena kesibukan-kesibukan lain, kebersamaan yang begitu indah dan berarti itu mesti dikorbankan. Apalagi bila antara suami istri tidak tinggal dalam satu rumah atau satu kota. Bagi suami yang tinggal satu rumah pun kadang tidak bisa merayakan kebersamaan secara sempurna karena terkadang anak-anak tinggal jauh dari mereka.
Itu kenapa saat ada waktu bersama dengan keluarga, “merayakan” kebersamaan dengan sebaik-baiknya amat dianjurkan. Menikmati waktu dengan menciptakan momen-momen indah sebanyak mungkin, momen-momen yang akan terekam dan menancap kuat dalam memori. Semakin banyak memori indah yang terekam, ikatan kita dengan keluarga akan semakin kuat. Sebaliknya minimnya memori indah yang tercipta akan memperlemah ikatan itu dan bahkan yang paling tragis perlahan-lahan lepas.
Momen indah dalam keluarga memang tidak selalu berkait dengan kuantitas atau durasi waktu yang dijalani. Banyak keluarga hampir setiap hari melewatkan waktu bersama, namun momen-momen indah tak mampu terajut dengan sempurna. Kebersamaan itu belum mampu mendekatkan hati, belum bisa menguatkan rasa saling peduli, belum mampu memupuk komitmen-komitmen indah yang disepakati saat awal membangun keluarga dan semacamnya. Mengapa hal itu bisa terjadi? Karena kebersamaan yang ada hanya menyatukan raga. Sedangkan hati, pikiran dan perhatian masih sibuk dengan urusan masing-masing.
Mari kita amati di sekeliling kita. Adakalanya seorang suami asyik dengan gadget, laptop atau larut dalam urusannya sendiri. Pada saat yang sama istri sedang terbuai oleh tayangan sinetron di televisi atau tenggelam dalam kesibukan lain. Sementara anak-anak, sibuk pula dengan dunia permainan mereka. Secara fisik mereka hampir tidak berjarak, mereka ada dalam rumah yang sama bahkan mungkin ruangan yang sama, namun hati, pikiran dan perhatian mereka mengembara dalam imaji masing-masing. Contoh lain yang mirip atau serupa tampaknya tidak sulit kita dapatkan.
Itu kenapa lebih dari sekedar urusan durasi, hal yang lebih penting adalah kualitas dalam memaknai arti kebersamaan. Saat sebuah keluarga menganggap momen kebersamaan dalam keluarga sebagai hal yang biasa-biasa saja, lumrah, tidak istimewa, boleh jadi cara menyikapi kebersamaan itu sendiri juga biasa-biasa saja, lumrah dan tidak istimewa. Berbeda suasananya bagi sebuah keluarga yang menganggap waktu-waktu bersama keluarga, bersama istri, suami, anak atau sanak kerabat sebagai anugerah, sebagai sesuatu yang “mewah” dan istimewa, boleh jadi cara memanfaatkan kebersamaan itu pun dengan sesuatu yang “mewah” dan istimewa.
Tentu “mewah’ dan istimewa di sini tidak dalam pengertian fisik-material. Bahwa demi merayakan kebersamaan mesti dengan kegiatan atau aktifitas yang menguras biaya. “Mewah” dan istimewa di sini bermakna sebagai sesuatu yang amat berharga. Bahwa kebersamaan itu sebagai sesuatu yang amat berharga, sehingga untuk melewatinya pun diisi dengan sesuatu yang amat berharga pula.
Apa hal-hal berharga yang bisa dilakukan demi merayakan waktu bersama keluarga itu? kalau bicara aktifitas atau jenis kegiatannya tentu teramat banyak. Kita bisa memilih sesuatu yang sesuai dengan kebiasaan, selera, atau kecenderungan kita. Namun yang tak bisa diabaikan adalah nilai-nilai apa yang terkandung dalam aktifitas itu bagi lebih berharganya hidup kita. Kalau kita menyebut kebersamaan bersama keluarga adalah sesuatu yang amat berharga, itu artinya kebersamaan itu harus mampu meningkatkan nilai dan harga hidup kita.
Nilai dan harga hidup kita sudah seharusnya meningkat dari waktu ke waktu. Nilai dan harga kita di hadapan Tuhan dan juga di hadapan manusia. Karena sejatinya dua derajat kemulyaan ini mesti beriringan, sama-sama penting dan tidak bisa saling mengabaikan. Sulit untuk bisa meyakini ada manusia yang derajatnya mulia di hadapan Tuhan, tapi pada saat yang sama dia rendah derajatnya di hadapan manusia. Kalau seseorang yang mulia di hadapan Tuhan namun rendah di hadapan orang perorang tidak sedikit jumlahnya. Karena ukuran orang perorang dalam menentukan sesuatu amat relatif. Namun kalau mulia di hadapan Tuhan hampir pasti juga mulia di hadapan manusia dan kemanusiaan.
Maka isilah, hiasilah waktu bersama keluarga dengan hal-hal yang bisa meningkatkan harga dan derajat kita di hadapan Tuhan dan manusia. Hal atau aktifitas yang mampu memupuk keimanan kepada Allah, menyemai perilaku yang baik (akhlakul karimah), menyuburkan kasih sayang, cinta dan sikap peduli kepada sesama anggota keluarga, sesama manusia dan sesama makhluk Allah, mengokohkan rasa cinta pada ilmu pengetahuan dan tehnologi dan hal apapun yang bisa bermanfaat dan positif untuk kemanusiaan.
Menemani anak belajar atau mengerjakan PR, mendongeng kepada mereka, masak bersama, berkebun bersama, mengaji bersama, shalat berjamaah, aktifitas yang sangat baik dan boleh jadi merupakan momen indah yang akan selalu di kenang. Begitupun misalnya bersih-bersih rumah bersama, makan bersama, menonton TV bersama, liburan bersama entah itu ke pantai, gunung atau ke tempat wisata lain. Bagus juga kalau memungkinkan belanja ke pasar, ke perpustakaan, ke museum, ke bank atau tempat-tempat pelayanan publik lain sebagai pembelajaran bagi anak-anak – khususnya, agar terbiasa dengan berbagai suasana sehingga mudah adaptasi dengan perkembangan zaman.
Jangan Lupakan Silaturrahim
Hal berikutnya yang tak boleh di abaikan adalah silaturrahim, menyambung persaudaraan dengan sanak kerabat. Alangkah indahnya bila waktu bersama keluarga itu sesekali digunakan mengujungi saudara, sanak kerabat, untuk menguatkan ikatan persaudaraan. Karena bila tali persaudaraan itu tidak dirawat, lambat laun akan melemah dan memudar.
Penulis memiliki pengalaman yang menarik berkait urusan sanak kerabat ini. Karena tuntutan pekerjaan, hampir setiap hari penulis berinteraksi dengan para calon pengantin. Yang membuat penulis prihatin dan bahkan miris, sangat banyak calon pengantin yang lupa atau bahkan tidak tahu siapa nama kakek neneknya, namun cukup hapal dengan nama-nama selebriti. Alasan mereka rata-rata karena kekek neneknya telah meninggal. Menurut penulis alasan ini agak sulit diterima, karena kalaulah kakek nenek telah meninggal, toh tidak ada status mantan kakek atau mantan nenek. Dan kewajiban anak cucu adalah berbuat baik (birrul walidain) kepada kedua orang tua dan pastinya juga kepada kakek nenek mereka.
Bila untuk mengenal namanya saja kurang peduli, penulis berasumsi mereka pun kurang peduli untuk berbuat baik pada kakek neneknya semisal mendoakan, mengenang kebaikan dan perjuangan atau bahkan melanjutkan pejuangan para leluhur itu. Mengapa ada cucu yang lupa atau bahkan tidak mengenal kakek neneknya? Boleh jadi karena tidak dibiasakan silaturrahim, saling berkunjung, saling bersapa.
Padahal siapa yang bisa menyangkal jasa orang tua dan para leluhur itu. Kita ini tidak serta merta hadir begitu saja ke dunia. Kita pun tidak lahir dari batu. Pastilah kita lahir melalui ayah ibu kita. Ayah ibu kita pun begitu, lahir karena ada kakek nenek kita, begitu seterusnya. Maka keberadaan mereka tak bisa diabaikan begitu saja dalam sejarah hidup kita. Seharusnya mereka menjadi salah satu hal terpenting dalam hidup kita.
Demi merawat semua itu, silaturrahimlah salah satu caranya. Dengan sering berkunjung, sering berkomunikasi, saling bertukar kabar, akan menjadi pupuk yang menyuburkan perasaan –perasaan sebagai sesama keluarga. Silaturrahim akan menguatkan kembali ikatan yang sebelumnya mulai melemah, mengencangkan kembali ikatan yang melonggar.
Hadits tentang keutamaan silaturrahim banyak kita jumpai antara lain:
Dari Abdurrahman ibnu ‘Auf berkata bahwa dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Allah ’azza wa jalla berfirman: Aku adalah Ar Rahman. Aku menciptakan rahim dan Aku mengambilnya dari nama-Ku. Siapa yang menyambungnya, niscaya Aku akan menjaga haknya. Dan siapa yang memutusnya, niscaya Aku akan memutus dirinya.” (HR. Ahmad 1/194, shahih lighoirihi).
Hadits lain bahkan menyebut silaturrahim berkait dengan kelapangan rizqi dan panjangnya umur seseorang seperti hadits berikut:
Dari Abu Hurairah, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Siapa yang suka dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya hendaklah dia menyambung silaturrahmi.” (HR. Muttafaqun alaih)
Pendek kata, bila waktu bersama kelurga adalah saat yang berharga dan istimewa untuk kita, maka, sekali lagi, kita harus cerdas memilih kegiatan agar waktu-waktu tersebut tidak berlalu sia-sia. Kita selayaknya memilih kegiatan yang bisa mengantar seluruh keluarga menjadi manusia yang lebih berharga dan istimewa, di hadapan Tuhan dan pastinya juga di hadapan sesama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H