Mohon tunggu...
Muchson Epsona Al-Makamhaji
Muchson Epsona Al-Makamhaji Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Manusia biasa. Hobi baca, sesekali nulis. Hidup untuk berbagi kehangatan, bukan keculasan.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Bolehkah Kita Gonta-gati Mazhab atau Mengambil Pendapat secara Acak?

12 September 2013   10:12 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:00 1141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Madzhab itu sendiri artinya adalah pemahaman.  Berganti madzhab = berganti pemahaman. Tentu saja hal ini dibenarkan, karena proses pencapaian iman dan amal agar sesusai tuntunan syari  adalah dengan senantiasa mengaktualkan pemahaman agamanya.

Rasulullah SAW bersabda :

Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga.

Mencari ilmu (agama) dari sejak bayi sampai liang lahat.

Mencari ilmu (agama) itu wajib bagi setiap muslim.

Allah swt berfirman :

Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang Mu'min itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga diri. [QS. At-Taubah 7 : 122]

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. [Al Isra' 17:36]

Dari beberapa dalil diatas, memberi arahan bhw umat islam harus senantiasa menggali ilmu untuk memahami agamanya. Dalam proses itulah tentu terjadi perubahan pemahaman (madzhab). Dan adanya banyak madzhab (yang terkenal hanya 4) dari para ulama dahulu, itu sendiri menunjukkan adanya proses pencarian.

Mari kita lihat sejarah 4 imam madzhab :

1. Imam Abu Hanifah (80-148 H)=(699 - 767 M)

Dikenal dengan dengan sebutan Imam Hanafi lahir di Kufah, Irak, meninggal di Baghdad, Irak

2. Imam Malik bin Anas(93–179 H)=(714–800 M)

Dikenal dengan dengan sebutan Imam Maliki lahir di Madinah, wafat dimakamkan di Baqi.

3.Imam Syafi’i (150-204 H)=(767–819 M)

Lahir di Gaza, Palestina, wafat di Fusthat, Mesir.

4.Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H(781-855 M)

Dikenal dengan dengan sebutan Imam Hanbali lahir di Marw (saat ini bernama Mary di Turkmenistan, utara Afganistan dan utara Iran) di kota Baghdad, Irak. Imam Syafi'i mengatakan tetang diri Imam Ahmad sebagai berikut: "Setelah saya keluar dari Baghdad, tidak ada orang yang saya tinggalkan di sana yang lebih terpuji, lebih shaleh dan yang lebih berilmu daripada Ahmad bin Hambal"

Ke-4 imam tersebut ada yang saling bertemu, sezaman, ada pula yang tidak. Bilamana ada keharusan mengikuti satu pemahaman (madzhab) ulama (imam)  bukankah para imam di belakang imam hanafi menyimpang dari keharusan itu?

Realitanya tidak demikian, dan itu menunjukkan adanya pemahaman yang berkembang yang didasarkan pada sunnah rasul dan para sahabat yang telah sampai kepada mereka. Asy-Syathibi berkata, "Dan kata "sunnah" ini dipakai juga menjadi nama bagi pekerjaan atau perbuatan para shahabat Nabi, baik pekerjaan itu terdapat dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah ataupun tidak. Karena adanya pekerjaan tersebut dengan mencontoh "sunnah", atau karena ijtihad mereka dengan disepakati para khalifah mereka, yang dikala itu tidak dibantah oleh seorangpun dari para sahabat. Pemakaian isthilah ini disandarkan atas sabda Nabi SAW yang bunyinya :

فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ اْلمَهْدِيّيْنَ. الدارمى 1: 45

"Maka hendaklah kalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah para khalifah yang rasyidin yang mengikuti petunjuk". [HR. Darimiy juz 1, hal. 45, no. 93].

Dengan demikian seorang muslim dilarang bertaqlid buta mengikuti apasaja yang dilakukan dan diucapkan seseorang, apakah dia kyai, ustadz dll dalam hal yang sifatnya syar'i.

Selanjutnya dari judul diatas bolehkah kita gonta-ganti madzhab atau mengambil pendapat secara acak?

Berganti-ganti madzhab atau mengambil secara acak pada dasarnya sama dengan sikap taklid, suatu sikap yang sengaja menjauhkan diri dari ilmu. Seorang muslim harus menjauhkan diri dari Taklid dan berusaha menjadi Tholib.

Disinilah bedanya antara Taklid dengan Tholib. Taklid itu menghapuskan ilmu, sedang Tholib menghadirkannya. Sebagaimana ayat yang saya singgung diatas tadi : “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.”

Sedangkan sikap taklid itu mirip dengan ayat dibawah ini :

Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat. [QS Al Baqarah 2 : 7]

Selanjutnya, bila pemahaman itu  sesuai dengan Imam A, berbeda dengan imam B,  itu bukan berarti gonta-ganti madzhab atau mengambil secara acak, tapi karena mengikut perintah Rasululla SAW diatas : "Maka hendaklah kalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah para khalifah yang rasyidin yang mengikuti petunjuk".


Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun