Memasuki salah satu gang di Kampung Karangturi, ingatan saya diajak berpetualang ke era tiga ratus tahun yang lalu. Ada puluhan rumah berarsitektur Tionghoa buatan tahun 1700-an yang masih berdiri kokoh hingga sekarang. Sebagian kecil bangunan tersebut masih mempertahankan keasliannya, sebagian lagi telah mengalami renovasi di sana sini. Dari balik bangunan rumah yang dominan dengan cat berwarna putih itu, saya menemukan sejumput riwayat tentang sebuah kampung Tionghoa di kota Lasem.
Bila dilihat dari luar, bangunan rumah-rumah itu hanya nampak seperti tembok tinggi dengan pintu berbahan kayu yang besar. Tembok dan pintu itu berderet panjang menghadap ruas jalan kampung yang berkelak-kelok. Tak ada jarak antara satu rumah dengan rumah lainnya. Satu-satunya sekat hanyalah tembok bercat putih yang tinggi menjulang.
Menurut Pak Gandor (68), seorang tetua setempat, bangunanrumah Tionghoa yang ada di Lasem umumnya sudah berdiri ratusan tahun lalu. Ada yang mengatakan rumah itu dibangun pada tahun 1700-an. Ada pula yang dibangun lebih belakangan sekitar tahun 1900-an. Semua bangunan tersebut berfungsi sebagai rumah tinggal bagi warga Tionghoa Lasem.
Sekedar sebagai gambaran, penulis Pramoedya Ananta Toer dalam buku Jalan Raya Pos, Jalan Deandles, mendeskripsikan kondisi rumah-rumah tersebut pada tahun 1930-an yang menyerupai kota Cina. Kata Pram, “Di antara rumah-rumah yang tak nampak dari luar tersebut adalah bengkel-bengkel besar penghasil batik pesisiran dengan warna-warni.” Memang demikian, rumah-rumah Tionghoa tersebut bukan sekedar tempat tinggal, tetapi sekaligus juga pabrik bagi industri batik Lasem yang terkenal pada masanya. Di beberapa rumah tersebut industri batik Lasem dijalankan.
Sejarah mencatat, Industri batik Lasem berkembang pesat pada abad ke-20. Kemajuannya berbarengan dengan industri batik di kota-kota lain, seperti Surakarta. Sementara di Surakarta batik khas Jawa dengan warna gelap sedang naik daun, di Lasem para pengusaha Tionghoa mengkreasikan batik pesisiran bercorak warna-warni yang khas. Dengan memperkerjakan warga Lasem setempat, para pengusaha Tionghoa mampu bersaing di pasaran kain batik hingga tahun 1960-an.
Para pembatik diambil dari warga Lasem yang tinggal sekitar kampung Karangturi. Mereka biasanya adalah ibu rumah tangga yang memiliki cukup keahlian dalam membatik. Di rumah-rumah Tionghoa, mereka melangsungkan pekerjaannya, dari mulai membuat pola, melukis kain mori, hingga menjemur kain yang sudah selesai dibatik. Kalau saja kami boleh berandai-andai, suasana kampung Karangturi ini tak jauh berbeda dengan kampung Laweyan, salah satu sentra produksi batik di Surakarta.
Aroma Eropa
Biarpun gaya Tionghoa terkesan kuat, rumah warga Tionghoa di Lasem sedikit banyak telah terpengaruh gaya arsitektur Eropa. Adalah sebuah kelaziman di Jawa, bangunan rumah tembok mengalami percampuran antara gaya asli dan gaya Eropa. Gaya campuran keduanya inilah yang kemudian dinamakan sebagai “gaya indies”.
Aroma Indies dapat dilihat dari sejumlah aspek. Aspek pertama adalah bahan baku dinding rumah yang sudah menggunakan batu-bata. Jika menilik aslinya, rumah warga Tionghoa didominasi oleh bahan dasar kayu, baik sebagai dinding maupun tiang-tiang penyangga atapnya. Karena telah tercampur gaya Indies, rumah-rumah Tionghoa yang berdiri di Lasem umumnya sudah bertembok. Konon, rumah warga Tionghoa yang menggunakan bahan kayu sudah jarang ditemui.
Selain dari aspek bahan dasar dindingnya, gaya indies yang lain terasa kental pada bentuk pintu dan temboknya. Sama halnya dengan gaya indies yang melekat pada bangunan kraton-kraton Jawa, bentuk pintu dan jendela pada rumah-rumah Tionghoa kuno di Lasem secara umum berukuran besar. Bentuk yang relatif besar inilah yang merupakan pengaruh khas rumah-rumah Eropa di Jawa.
Menengok masuk ke dalam rumah, bagian dalam rumah yang dari luar tertutup tembok tinggi itu terdiri dari beberapa bagian layaknya rumah Jawa pada umumnya. Pada bagian depan setelah pintu masuk utama, terhamparlah sebuah halaman rumah yang sangat sempit. Di halaman itu pemilik rumah biasanya membuat kebun kecil dengan menanam pohon mangga dan pohon-pohon lain untuk hiasan. Selangkah dari halaman itu, terdapat sumur sebag
[caption id="attachment_298920" align="alignnone" width="448" caption="salah satu sudut Kampung Karangturi, Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah"][/caption] ai sumber air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari.
Di rumah-rumah warga Tionghoa itu, tersimpan cerita yang cukup menarik dan tak akan ditemui di masa sekarang. Konon, di rumah-rumah tersebut, warga Tionghoa dimasa lalu memiliki kebiasaan memelihara babi. Ya, mereka dan babi peliharaannya tinggal bersama dalam satu rumah, seperti kebiasaan orang Jawa yang tinggal satu atap dengan ayam-ayam kesayangannya.
Setelah ratusan tahun, kini rumah warga Tionghoa di kampung Karangturi Lasem itu masih kokoh berdiri. Semenjak usaha batik di Karangturi mandek, rumah-rumah itu seperti piringan hitam yang menyimpan nostalgia tempo dulu. Meski semakin menua, rumah itu adalah bangunan yang tersisa, menjadi saksi keberadaan warga Tionghoa dan industri rumahan batik Lasem.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H