Mohon tunggu...
M Saekan Muchith
M Saekan Muchith Mohon Tunggu... Ilmuwan - Dosen UIN Walisongo Semarang dan Peneliti Pada Yayasan Tasamuh Indonesia Mengabdi

Pemerhati Masalah Pendidikan, Sosial Agama dan Politik

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru Besar dan Kedhaliman Akademik

3 Maret 2022   07:46 Diperbarui: 3 Maret 2022   07:46 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Produk keilmuan guru besar harus tersebar diberbagai jurnal internasional, diberbagai media massa ternama baik nasional maupun internasional.  Karya keilmuan guru besar tidak cukup dilihat dari berapa banyak yang meng-sitasi (menjadikan rujukan) tetapi harus dilihat berapa banyak  lembaga, organisasi atau lelompok  yang memanfaatkan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang dimiliki.

Ada kecenderungan yang cukup memprihatinkan. Setelah mendapatkan jabatan guru besar bukanya  sibuk beraktivitas memproduksi keilmuan tetapi sibuk mengejar jabatan struktural dibirokrasi perguruan tingginya maupun birokrasi pemerintahan. Tidak sedikit dosen setelah dikukuhkan sebagai guru besar langsung tancap gas ikut berkompetisi menjadi rektor, dekan, dirjen kementerian, staf ahli pejabat,  staf ahli menteri dan jabatan birokrasi lain yang ada dipemerintahan. 

Guru besar lebih percaya diri ikut kompetisi dalam bidang birokrasi dan perintahan. Publik beranggapan jika jabatan tertentu dipegang guru besar memiliki peluang sukses sangat besar  karena guru besar dianggap memiliki kualitas kompetensi dan integritas yang bisa diandalkan. Jabatan struktural dan birokrasi pemerintahan tidak mungkin efektif untuk menelorkan karya keilmuan  melainkan tempat penuh kesibukan melaksanakan rutinitas kebijakan.

Bisa dipahami, jabatan struktural dan birokrasi pemerintahan dari segi perolehan materi lebih menjanjikan dari pada sekadar guru besar tanpa jabatan struktural. Guru besar yang waktunya dihabiskan untuk melaksanakan tugas birokrasi bisa dianggap mengingkari fitrah guru besar bahkan bisa dikatakan suatu kedhaliman akademik  karena meninggalkan tugas utamanya melakukan riset untuk memproduksi ilmu pengetahuan guna membantu problem kemanusiaan dan kebangsaan.

Menurut hemat saya, Guru besar yang nyata  seperti yang diharapkan Profesor Bagong Suyanto tidak dilihat dari  lamanya menduduki jabatan struktural dan birokrasi pemerintahan. Guru besar yang nyata adalah yang terus berkarya melahirkan ilmu pengetahuan yang inovatif dan aplikatif sehingga bisa dipergunakan untuk memperbaiki tatanan sistem kehidupan kemanusiaan dan kebangsaan. Nyata dalam dunia keilmuan bukan nyata dalam dunia birokrasi dan struktural.

Dr. M. Saekan Muchith, S Ag, M.Pd Dosen FITK UIN Walisongo Semarang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun