Mohon tunggu...
M Saekan Muchith
M Saekan Muchith Mohon Tunggu... Ilmuwan - Dosen UIN Walisongo Semarang dan Peneliti Pada Yayasan Tasamuh Indonesia Mengabdi

Pemerhati Masalah Pendidikan, Sosial Agama dan Politik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pelukan Politisi atau Pelukan Anak Negeri?

30 Agustus 2018   16:47 Diperbarui: 30 Agustus 2018   16:56 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selebrasi Pesilat Indonesia Hanifan Yudani Kusuma setelah berhasil meraih medali emas lawan Vietnam pada hari Rabu 29 agustsu 2018 memiliki kenangan indah dan kebanggaan tersendiri. Tidak hanya karena Indonesia mendapat tambahan medali emas, tetapi aksi heroik "pahlawan silat" Indonesia yang mencium tangan Presiden Jokowi dan Presiden Persekutuan Pencak Silat Antar Bangsa Prabowo Subiyanto, yang diakhiri  dengan pelukan mesra dengan kedua tokoh nasional tersebut, mendapat perhatian dan sekaligus menjadi viral diberbagai sosial media. Semua warganet dan elemen bangsa  mengapresiasi sangat positif dan menaruh harapan besar terhadap ketenangana kedamaian bangsa Indoensia terutama menghadapi Pemilu Presiden yang akan di gelar bukan april 2019. 

Seebagaiamana diketahui, kedua tokoh Jokowi dan Prabowo, dalam Pilpres akan berkompetisi merebut Kursi RI 1 (presdiden), dimana suasana mulai sekarang suhu politik sudak mulai memanas. Tagar (Tanda pagar) #2019GantiPresiden menjadi polemik. Sebagian menganggap bahwa #2019gantiPresiden merupakan hak setiap warga negara untuk mengeeluarkan pendapat yang dijamin oleh undang undang, sebagian lagi menganggap bahwa #2019GantiPresiden bagian dari makar dan memprovokasi rakyat Indonesia menjelang pilpres, sehingga dikhawatirkan akan menimbulkan kekacauan dan memecah belah rakyat Indonesia. 

Sudah terbukti, rencana deklarasi #2019gantiPresiden di berbagai daerah khususnya di Pekanbaru Riau dan Surabaya ditolak oleh sebagai massa yang tidak setuju dengan deklarasi #2019GantiPresiden. 

Pro dan kontra terus berlanjut, kedua kelompok slaing mengklaim dan menuduh bersalah. Masing asing pihak merasa dirinya benar dan yang lain salah. Meminta pihak lain menghentikan deklarasi #2019GantiPresiden dan pihak lainnya ingin tetap melanjutkan karena menganggap itu bagian dari kebebasan berpendapat. 

Bahkan acara duasisi yang ditayangkan di salah satu teleevisi swasta, mengambil tema " Kebebasan Berpendaspat Berujung Persekusi" dengan nara sumber, Ali Muchtar Ngabalin, Asrul Tsani, Fadli Zon dan Neno Warisman, akhirnya gaduh dan ricuh tidak mendidik, karena maisng masing kubu tidak mau ngalah dan tidak memberikan statemen yang rasional, obyektif dan rasional. Terkesan masing masing kelompok merasa benar tidak bersedia instrospeksi (muhasabah). Padahal tayangan acara dua sisi, itu hanya berselang sekitar 6-7 jam setelah Jokowi dan Prabowo berpelukan mesra. 

Semua elemen bangsa Indonesia mengharapkan, agar momentum pelukan antara Jokowi Prabowo bisa membawa kesejukan rakyat Indonesia. Pertanyaannya, mampukah momentum berpelukan dua tokoh nasional itu mampu mempengaruhi kemesraan bangsa Indonesia khususnya dalam menghadapi pesta demokrasi tahun 2019. Artinya, apakah masing masing pendukung atau tim sukses bisa akrab, akur, rukun, mesra seperti kemesraan pelukan Jokowi Prabowo.  

Dalam konteks sosiologi politik, dikenal tokoh formal dan tokoh kultural yang memiliki peran atau pengaruh besar dalam memberi arahan dan bimbingan kepada pendukungnya. Arahan atau komando tokoh formal ataupun kultural akan diperhatikan dan dilaksanakan oleh para pendukungnya.  

Dalam konteks pilpres 2019, Jokowi dan Prabowo adalah tokoh formal dan sekaligus tokoh kultural meskipun ada juga tokoh lain yang berperan. Suara, saran dan perintahnya pasti akan di jalankan oleh pendukung (anak buahnya). Sering kali kita melihat, bahwa realitas politik itu berbeda dnegan realiats sosial. Dalam urusan politik bisa berbeda, tidak sesuai teori, tidak sdama dengan yang diharapkan. Dengan alasan "politik dinamikan sangat cepat" sekana akan membenarkan bahwa urusan politik itu tidaka harus sesuai denagn  idealitasnya. 

Pelukan mesra Jokowi dan Prabowo ini dianggap realitas politik atau realiats anak negeri?, Jika diposisikan sebagai pelukan politik, maka akan sangat sulit berpengaruh kepada para pendukung dan rakyat Indonesia. Jika dipahami sebagai pelukan anak negeri, maka pelukan itu dilakukan secara tulus lahir batin yang secara otomatis akan diteruskan atau diinstruksikan kepada para pendukungnya, sehingga pendukungnya akan mentaati dan meniru kemesraan, persahabatan seperti yang ditunjukan dalam pelukan Jokowi dan Prabowo. 

Semoga pelukan kemesraan tidak hanya ritual politik yang hanya untuk meningkatkan elektabilitas (citra) masing masing kelompok, melainkan benar benar pelukan seorang anak negeri yang tulus sehingga akan berimbas kepada ketenangan, kedamaian dan memashlahatan bagi seluruh bangsa Indonesia.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun