Setelah viralnya pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan mengenai big data terkait isu penundaan pemilu pada Bulan Maret 2022. Big data sontak menjadi perhatian publik. Berbagai kalangan mulai dari akademisi hingga pengamat menantang Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan untuk menunjukkan big data yang dimilikinya. Pertanyaan besar yang kemudian mencuat ialah bagaimana Luhut mengolah 110 juta data warganet yang dimilikinya menjadi sebuah informasi yang mendukung penundaan pemilu.
Meskipun menimbulkan reaksi negatif dari khalayak luas, tetapi terdapat dampak positif dari pernyataan Luhut yaitu masyarakat menjadi kenal dengan istilah big data dan mengetahui manfaatnya. Menurut Gamage (2020), big data dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori. Pertama, data dari dunia fisik yang diperoleh melalui perangkat penginderaan, eksperimen, dan pengamatan. Kedua, data dari masyarakat yang diperoleh dari sumber atau domain seperti jejaring sosial, kesehatan, keuangan, dan transportasi. Ketiga, data dari ruang cyber yang diperoleh melalui internet. Data-data yang diperoleh kemudian diolah menjadi informasi lalu dibuah jadi pengetahuan dengan menggunakan operasi kognitif atau intelektual (Monimo, 2016).
 Output data menjadi pengetahuanlah yang semestinya gencar dipromosikan oleh pemerintah baik melalui pejabat pemerintah maupun lembaga pemerintah. Dengan keluaran tersebut maka big data yang dimiliki oleh pemerintah dapat menjadi wawasan bagi masyarakat. Sebaliknya, masyarakat dengan bekal kepemilikan dan pemahamannya dalam menggunakan teknologi dapat mengkonfirmasi data yang dipaparkan oleh pemerintah atau bahkan memberikan data pembanding untuk menunjukkan preferensi publik yang sesungguhnya.
Memanfaatkan Perkembangan Teknologi Informasi untuk Meningkatkan Kemampuan Data Analytics
Berdasarkan Statitistik Telekomunikasi Indonesia yang diterbitkan oleh BPS tahun 2022, presentase rumah tangga yang mengakses internet telah mencapai 86,54 persen. Tingginya presentase pengguna internet juga berbanding lurus dengan pertumbuhan penduduk yang memiliki telepon seluler mencapai 67,88 persen. Pertumbuhan ini tergolong cepat apabila dibandingkan dengan tingkat kepemilikan/penguasaan terhadap telepon seluler pada tahun 2011 yang hanya mencapai 39,11 persen. Lebih lanjut, presentase penduduk usia 5 tahun ke atas yang menyatakan pernah mengakses internet dalam tiga bulan terakhir pada tahun 2022 mencapai 66,48 persen. Namun, presentase penduduk yang mengakses internet melalui laptop dan komputer masih tergolong kecil yang masing-masing hanya mencapai 10,04 persen dan 2,15 persen.
Sampai saat ini belum ada satupun langkah konkrit dari pemerintah untuk memanfaatkan infrastruktur teknologi informasi yang ada dengan menetapkan kebijakan atau program strategis pengembangan big data. Berbeda dengan langkah pemerintah Indonesia, beberapa negara maju seperti Amerika serikat dibawah kepemimpinan Presiden Obama pernah menetapkan investasi sebesar 200 Juta USD untuk rencana penelitian dan pengembangan big data. Selain itu, Jepang pada tahun 2012 pernah mengeluarkan program pengembangan big data yang juga menjadi strategi nasional dan fokus teknologi aplikasi (Wang, dkk., 2018). Salah satu alasan mendasar yang sering kali kita dengarkan ialah keterbatasan anggaran pemerintah. Namun, apabila mencermati data-data kepemilikan dan akses terhadap teknologi informasi di Indonesia, pemerintah dapat mendorong untuk dimasukkanya data analytics dalam setiap kurikulum pembelajaran mulai dari Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), hingga perguruan tinggi. Dengan melaksanakan pertimbangan diatas, setidaknya ini dapat menjadi langkah kecil untuk mengejar ketertinggalan kemampuan data analytics sumber daya manusia kita dari negara-negara maju yang telah menetapkannya sebagai strategi nasional. Kemampuan data analytics dapat berguna untuk merubah big data menjadi smart data yang berfungsi sebagai input dalam menindaklanjuti dan meningkatkan kemampuan pengambilan keputusan bagi suatu organisasi (Hariri, dkk., 2019).
Disisi lain, memperkenalkan data analytics sejak bangku sekolah dapat memperbesar kemungkinan lahirnya bibit-bibit potensial yang memiliki kompetensi di bidang data analytics. Hal ini mendesak dilakukan karena kedepannya dibutuhkan seorang data analytics yang memiliki kualifikasi profesional. Henriques, dkk (2020) dalam penelitiannya juga mengemukakan bahwa data analytics kekurangan profesional dan individu yang memiliki pengalaman dalam memanfaatkan potensi big data. Akan tetapi, untuk mewujudkannya bukanlah perkara mudah karena pemprosesan data bergantung pada kemampuan kognitif pengolah data. Sehingga, kombinasi infrastruktur teknologi informasi dan kurikulum pendidikan dapat menjadi kombinasi sempurna dalam menciptakan individu-individu yang kompeten dalam bidang data analytics.
Tantangan Implementasi Data AnalyticsÂ
Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) menyebutkan bahwa selama tahun 2023 tercatat dugaan kebocoran data terjadi sebanyak 149 kasus dan berdampak pada 129 stakeholders. Sementara itu, Surfshark mencatat bahwa Indonesia menempati urutan ketiga negara dengan jumlah kasus kebocoran data dimana 12,74 juta akun mengalami kebocoran data (Databoks, 2023). Masalah ini perlu untuk mendapat perhatian khusus dari pemerintah agar data analytics dalam berkembang dan dimanfaatkan pada proses pengambilan keputusan. Demikian pula dengan big data, apabila tidak dapat dikelola dengan baik maka sektor ini akan menjadi titik kritis keamaanan data karena jumlah datanya yang tergolong sangat banyak (Gemage, 2020; Henriques, dkk., 2020). Selain itu, masih terdapat tantangan lain yang umumnya ditemui pada negara-negara berkembang seperti Indonesia. Saat ini kualitas data menjadi tantangan mendasar yang belum kunjung dapat teratasi. Tanpa adanya data yang berkualitas, alokasi sumber daya tidak akan optimal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H