Pendekar Gunung Gangsir
Dahulu kala ketika Belanda masih menguasai tanah nusantara, di sebuah daerah di Kecamatan Gempol, Kabupaten Pasuruan tepatnya di desa Gunung Gangsir hidup seorang laki-laki muda yang bernama Joko Sambang. Dia adalah putra satu-satunya dari Lurah Gunung Gangsir, Bintoro dengan istrinya Sutinah. Lurah Bintoro adalah satu satunya Lurah yang sangat menentang dengan segala bentuk kekerasan, pemaksaan, apa lagi dengan penjajahan yang dilakukan oleh kompeni Belanda.
Saat itu kompeni Belanda sedang membangun jembatan Porong untuk menghubungkan wilayah Gempol (Pasuruan) dengan wilayah Porong (Sidoarjo) dan semua Lurah yang ada di wilayah Kecamatan Gempol, harus menyetorkan penduduknya dengan paksa untuk dikerjakan secara paksa di jembatan tersebut. Salah satunya adalah Lurah Panderejo, Abilowo dan Carik Bargowo. Akan tetapi berbeda dengan Lurah Abilowo, Lurah Bintoro dan Carik Wicaksono malah menolak dan tidak mau menyetorkan penduduknya untuk dikerjakan paksa. Sehingga Lurah Abilowo dan Carik Bargowo melaporkan Lurah Bintoro kepada kompeni Belanda. Akhirnya kompeni Belanda marah dan menangkap Lurah Bintoro secara paksa.
Setelah Lurah Bintoro dibawa secara paksa oleh kompeni Belanda, Lurah Abilowo dan Carik Bargowo datang ke rumah Lurah Bintoro berpura-pura menolong Sutinah, istri Lurah Bintoro. Namun, setelah Sutinah mengetahui niat kedatangan Lurah Bintoro hanya untuk memperistri dirinya. Akhirnya Sutinah melarikan diri ke rumah orang tuanya di Wonokoyo (masih dalam wilayah Pasuruan) karena diancam dibunuh jika menolak niatan Lurah Abilowo tersebut.
Sutinah menceritakan semua kejadian yang dia dan suaminya alami kepada orang tuanya. Sutinah juga meminta tolong kepada ayahnya untuk menyampaikan Keris Pusaka yang dibawanya kepada Joko Sambang yang masih berada di Lereng Gunung Penanggungan tepatnya Gunung Gajah Mungkur.
Karena merasa iba terhadap apa yang dialami oleh anaknya, Pakde Martoyo berangkat ke Penanggungan dan bertemu dengan Joko Sambang untuk menyampaikan amanat dari ibunya dan menceritakan semua yang terjadi terhadap orang tuanya.
Mendengar hal tersebut, Joko Sambang marah dan tidak sabar untuk menemui kedua orang tuanya. Di tengah perjalanan Joko Sambang terkejut melihat ayahnya, Lurah Bintoro dalam keadaan hampir meninggal dengan keris yang tertusuk di perutnya, tapi masih bisa mengatakan bahwa yang melakukannya adalah Lurah Abilowo dan Carik Bargowo. Hal tersebut membuat Joko Sambang semakin marah dan mengamuk, akhirnya dia bertemu dengan Lurah Abilowo dan Carik Bargowo dan membunuh kedua orang tersebut.
Mendengar Joko Sambang mengamuk, kompeni Belanda meminta bantuan kepada Joko Buntek, saudara seperguruan Joko Sambang untuk menenangkannya. Joko Buntek sanggup menangkap dan menyerahkan Joko Sambang ke kompeni Belanda. Namun dengan catatan Belanda tidak boleh menyakiti atau bahkan membunuh Joko Sambang.Akan tetapi, kompeni Belanda mengingkari hal tersebut dan Joko Sambang malah disiksa dan mau di gantung. Maka datanglah Joko Buntek untuk menolong Joko Sambang. Keduanya mengamuk sampai kompeni Belanda tewas terbunuh semua.
Di saat itulah Joko Sambang dan Joko Buntek saling berpelukan. Joko Sambang mengatakan kepada Joko Buntek dan semua penduduk Gunung Gangsir “ Rasanya Joko Sambang tidak mungkin bisa mengusir Belanda dengan keseluruhan dari Bumi Nusantara ini. Namun besok kalau ada tahun 1942 ada orang cebol kepalang dari Utara Timur asalnya. Itulah yang akan meneruskan perjuangan Joko Sambang Pendekar Gunung Gangsir.
_____________
Budi pekerti yang dapat diambil dari cerita rakyat “ Pendekar Gunung Gangsir” adalah:
1.“Lurah Bintoro adalah satu satunya Lurah yang sangat menentangdengan segala bentuk kekerasan, pemaksaan, apa lagi dengan penjajahan yang telah dilakukan oleh kompeni Belanda.” Dari kutipan tersebut dapat kita ketahui bagaimana seorang pemimpin harus berani mengambil suatu tindakan terhadap apapun yang dapat mengganggu dan mengancam kesejahteraan warganya. Kekerasan, pemaksaan dan penjajahan yang telah dilakukan oleh Belanda merupakan salah satu bentuk dari pelanggaran Hak Asasi Manusia, karena dalam kasus ini, pihak Belanda melakukan suatu tindakan atau kebijakan yang bersifat sepihak dan memaksa pihak lain untuk menyepakatinya melalui tindak kekerasan yang dalam hal ini dapat mengekang kebebasan berekspresi setiap individu.
2.“Sutinah menceritakan semua kejadian yang dia dan suaminya alami kepada orang tuanya. Sutinah juga meminta tolong kepada ayahnya untuk menyampaikan Keris Pusaka yang dibawanya kepada Joko Sambang...” Kutipan tersebut menunjukkan bagaimana orang tua berperan sebagai tempat peraduan bagi anak-anaknya ketika mereka merasakan pedihnya kehidupan.Terkadang kita harus mencurahkan segala benak atau masalah yang kita hadapi kepada orang yang kita percayai salah satunya adalah orang tua. Dan ingatlah bahwa kita adalah makhluk sosial yang membutuhkan bantuan dari orang lain dalam menjalani hidup ini.
3.“Karena merasa iba terhadap apa yang dialami oleh anaknya, Pakde Martoyo berangkat ke Penanggungan...” Kutipan tersebut menunjukkan bagaimana orang tua rela berkorban melakukan apa saja demi kebahagiaan anaknya. Hal itu dapat kita buktikan di kehidupan sehari-hari dan itu bukanlah sebuah omong kosong. Namun sayangnya, hal itu berbanding terbalik dengan sikap anak terhadap orang tua. Dewasa ini sering kita jumpai anak-anak yang kurang hormat terhadap orang tuanya, seperti membantah perkataan orang tua serta menghiraukan larangan orang tua.
4.“...bertemu dengan Joko Sambang untuk menyampaikan amanat dari ibunya dan menceritakan semua yang terjadi terhadap orang tuanya.” Kutipan tersebut memberitahu kita tentang bersikap jujur dan amanah. Dalam hal ini menyampaikan amanat kepada orang lain dengan sebenar-benarnya amanat, dan tidak menambahkan unsur kebohongan di dalamnya.
5.“Akan tetapi, kompeni Belanda mengingkari hal tersebut dan Joko Sambang malah disiksa dan mau di gantung.” Dari kutipan tersebut menunjukkan tentang pengingkaran janji yang dilakukan oleh pihak Belanda terhadap Joko Sambang. Seperti yang kita ketahui, apabila kita sudah berikrar janji kepada orang lain, maka hal itu akan menjadi sebuah kewajiban bagi kita sebagai pembuat janji dan merupakan hak bagi yang dijanjikan. Dan dosa merupakan ganjaran yang setimpal bagimu wahai pengingkar janji.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H