Kelamnya malam mulai tergantikan seiring datangnya keramahan sinar mentari. Suasana yang indah dibalut dengan semangat membara menjadi awal yang baik untuk hari ini. Selalu terlintas dalam benak Rahmat sesosok gadis manis yang membuat kegundahan di hati. Dia adalah Rina, gadis impiannya. Entah mengapa akhir-akhir ini pikirannya tak pernah lepas dari bayang-bayang wajah manis itu.
Seperti biasa sepeda bewarna hijau menjadi pengantar setianya. Jarak 2 km bukanlah apa-apa dibandingkan dengan gejolak dalam jiwanya untuk bertemu dengan si dia. Pagi ini di sebuah makam dekat jalan raya, Rahmat tiba-tiba teringat ketika pertama kali ia bertemu dengan Rina.
“ Yang sabar ya, walaupun kita belum saling kenal, aku yakin kamu adalah gadis yang kuat.” hibur Rahmat.
“ Tapi aku bukanlah apa-apa tanpa ayahku,” jawab Rina dengan wajah yang dibasahi air mata.
“ Percayalah kamu pasti bisa.” ujar Rahmat.
Rina mulai bercerita kepada Rahmat tentang apa yang dialaminya. Ayahnya meninggal karena kecelakaan yang dialami saat pulang dari kantor. Motor yang ditungganginya ditabrak oleh truk dari arah yang berlawanan, badannya terlempar sejauh 10 meter dan motornya hancur tak berbentuk.
Sejak pertemuan itu, keduanya mulai akrab dan sering bertemu. Mereka juga sering berbagi cerita tentang apa yang mereka alami. Hari demi hari mereka lewati bersama. Seiring berjalannya waktu, Rahmat mulai merasakan hal yang berbeda terhadap Rina. Perasaannya mulai tidak karuan dan dadanya berdebar-debar setiap bertatap muka dengan Rina. Namun, ia takmampu menerjemahkan segala rasa yang menghampirinya. Hanya keresahan yang menguasai dirinya.
Pohon mangga tinggi menjulang yang berada di depan rumah Rahmat merupakan tempat favorit baginya untuk bersantai-santai. Udara yang sejuk seakan memberi jaminan ketenangan jiwa bagi siapapun yang berada di tempat itu. Tidak jarang pula, di tempat itu Rahmat sering melamunkan sesuatu. Salah satunya tentang Rina, tentang keelokan tubuh dan parasnya yang telah membuatnya ingin merasakan keelokan tubuh Rina yang sesungguhnya.
Pagi hari di tengah jalan, secara tidak sengaja Rahmat bertemu dengan Rina.
“ Hai, Rahmat.” sapa Rina sambil mengajak berjabat tangan.
“ Haa..aa..ii.” jawabnya terbata-bata, dengan wajah gugup melihat Rina berpakaian yang serba mini. Matanya mulai menjelajahi seluruh tubuh Rina, mencari celah-celah keindahan yang dapat ia nikmati.
“ Ada ada denganmu? Kamu terlihat gugup hari ini, Apa ada yang salah?” tanya Rina dengan mimik wajah polosnya.
“ Tidak ada apa-apa, aku hanya sedang mencari sebuah keindahan saja,” jawab Rahmat seraya tersenyum.
“ Apa itu?” tanya Rina penasaran.
“ Ada deh, pokoknya keindahan yang ingin aku nikmati dan aku miliki.” jawabnya seperti memberi isyarat kepada Rina.
“ Oh ya, aku dulu ya, ada janji sama teman. Punya kamu besar Rina.” ujar Rahmatseraya menggoda Rina.
“ Iya.” jawab Rina malu dengan wajah yang memerah seraya melihat tubuh Rahmat yang mulai menjauh.
***
Di sebuah perjalanan ketika Rahmat hendak ke rumah neneknya, ia melihat sesosok laki-laki seumurannya dengan tato bergambar naga di lengan kirinya sedang bermesra-mesraan dengan seorang gadis yang tidak asing baginya. “Rina...” ucapnya dalam hati dengan penuh kekecewaan. Seketika itu dadanya terasa sesak, seluruh tubuhnya bagaikan tersusuk duri sembilu. Namun dia tahu, untuk cemburu pun dia tidak berhak.
“ Rahmat, kamu mau kemana?” panggil Rina.
“ Ke rumah nenek.” jawab Rahmat dengan deselingi senyuman sekedar menyembunyikan rasa cemburunya.
“ Oh ya, titip salam ya buat nenekmu!” ucap Rina.
“ Iya.” jawab Rahmat melanjutkan derap langkahnya dengan penuh kegundahan di dalam benaknya.
Kini lambat laun hubungan mereka Rahmat dan Rina mulai merenggang. Rina yang lebih sering bersama lelaki itu dan Rahmat yang mulai menyendiri. Hari-hari Rahmat mulai terasa sepi tanpa senyum dan gurauan Rina.
Dinginnya malam seakan menjadi teman setia Rahmat dalam melewati malam-malamnya yang penuh dengan keheningan, kesepian dan kesunyian. Benaknya dipenuhi segala hal indah tentang Rina yang ingin dia lupakan dan musnahkan.
“ Aku bukanlah siapa-siapa baginya, aku hanyalah lelaki lemah yang bahkan untuk mengungkapkan perasaanku padanya saja aku taksanggup.” ujar Rahmat dengan penuh penyesalan.
***
Kegelapan malam mulai berganti dengan cerahnya pagi hari. Begitupun dengan hati Rahmat yang sedang ingin bangkit dari keterpurukan. Namun tiba-tiba semangat itu sirna, ketika Rina datang kepadanya seolah mengingatkan kejadian pada waktu itu.
“ Hey, kenapa wajahmu terlihat kusut, seperti orang yang tidak mempunyai semangat hidup saja kamu ini,” tanya Rina dengan senyuman manisnya.
“ Tidak apa-apa, tumben sendirian, mana pacarmu?” tanya Rahmat.
“ Haaa, pacar yang mana?” tanya Rina dengan kebingungan.
“ Yang waktu itu, waktu kita bertemu saat aku mau ke rumah nenekku.” jawab Rahmat dengan sedikit cemburu.
“ Oohh itu Iqbal, saudara jauhku dari Padang, cemburu ya?” ujar Rina seraya menggoda Rahmat.
“ Ya enggaklah.” jawabnya berusaha mengelak.
Sejak kejadian itu, mereka berdua mulai dekat lagi sama seperti dulu, sebelum ada kesalah pahaman diantara keduanya. Hari-hari Rahmat mulai penuh dengan tawa dan candaan. Namun, sekali lagi semua sama seperti yang dulu, Rahmat belum juga mengungkapkan perasaannya.
Jeritan suara mobil dan teriakan pengatur lalu lintas telah membuyarkan lamunannya. Tidak terasa 2 jam telah ia habiskan di tempat ini, tempat yang menyajikan nuansa kesedihan bagi setiap insan yang mengampirinya. Di makam dekat jalan raya ini, Rahmat dengan jelas melihat sebuah batu serupa persegi panjang berwarna putih yang betuliskan nama Rina, gadis pujaan hatinya, tertancap pada gundukan tanah yang memanjang dengan taburan bunga-bunga di atasnya. Sampai saat ini perasannya belum terungkapkan dan waktu pun tak memberinya kesempatan. Hanya penyesalan yang saat ini ia rasakan dan cintanya kini sudah terlambat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI