Pemikiran tentang konsep Islam sebagai agama perang merupakan suatu hal yang harus diluruskan. Coba kita hitung persentase kehidupan nabi Muhammad SAW yang digunakan untuk perang. Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi seorang utusan (rasul) pada usia 40 tahun sampai pada wafatnya usia 63 tahun, berarti Muhammad hidup sebagi seorang utusan hanya 23 tahun. Jika kita kalikan dengan jumlah hari dalam setahun, yakni 365 hari, maka hasilnya kurang lebih delapan ribu sekian hari.Â
Dan sepanjang hidupnya menjadi nabi hanya delapan puluh sekian hari yang digunakan untuk berperang. Maka bisa kita tarik kesimpulan, bahwa hanya satu persen dari hidup nabi yang digunakan untuk berperang. Lalu yang sembilan puluh sembilan persen dibuat apa? Tentunya yang sembilan puluh sembilan persen tersebut digunakan untuk menebar rahmat atau kasih sayang dan menyempurnakan akhlaq. Sesuai dengan ayat al-Qur'an surah al-anbiya' (107),
Akan tetapi, jika kita lihat buku-buku sejarah islam yang diajarkan untuk anak SD/MI, materinya lebih terfokus kepada yang satu persen itu. Agama islam digambarkan dalam satu frame peperangan: perang badar, perang uhud, dan perang-perang yang lainnya. Seolah-olah nabi diutus hanya untuk berperang. Sehingga Islam dipandang oleh sebagian orang sebagai agama yang suka dengan pertumpahan darah.
Perlu kita ketahui, sebenarnya perang dalam sudut pandang islam bersifat muqoyyad (hanya dilakukan pada fenomena/waktu tertentu) dan akan diharamkan jika tidak ada sebab-sebab tertentu. Maka dari itu, kita sebagai muslim perlu tahu yang namanya prinsip, syarat, dan etika dalam berperang.Â
Habib Husein al-hadar pernah menjelaskan tentang tiga hal tersebut dalam salah satu kajiannya, prinsip utama dari perang adalah tidak boleh memutuskan untuk berperang jika tidak mendapat izin dari Allah, bisa disebut izin perang adalah hak perogratif Allah. Pada zaman Al-anbiya sebelum nabi Muhammad, tidak semua nabi melakukan perang, hanya beberapa nabi saja yang perang, dikarenakan tidak diberi izin dari Allah untuk berperang.
Selama 13 tahun periode Makkah, nabi Muhammad sama sekali belum pernah mengeluarkan pedang dari selongsongnya, karena belum mendapat izin dari Allah SWT untuk berperang, walapun pada masa itu kaum muslim mendapat banyak sekali hinaan, ancaman, serta perlakuan yang buruk dari kafir Quraisy. Mereka hanya diperbolehkan untuk menyimpan keimanannya demi keselamatan jiwanya, sebagaimana yang sudah tertera di dalam al-qur'an.
Kemudian nabi baru mendapatan SK izin dari Allah untuk berperang pada masa periode madinah, tepatnya sepuluh tahun akhir kehidupan nabi Muhammad. Izin tersebut oleh Allah diturunkan berupa ayat al-qur'an surat al-Baqarah (190 )yang berbunyi,
Sebagian ulama menerangkan bahwa jika sfiatnya masih berupa dugaan akan berperang maka kita tidak boleh melakukan penyerangan. Maka dari itu, ayat tersebut menggunakan yuqotilunakum yang artinya "jika mereka benar-benar sedang memerangimu", barulah izin tersebut berlaku untuk berperang atau memerangi mereka. Namun, dalam berperang tentu saja memiliki batasan, diterangkan pada surah al-Baqarah ayat 193 yang artinya "sampai mereka berhenti memerangi kamu." Jika dari musuh sudah berhenti melakukan perlawanan, maka kita juga harus menyudahinya dan mengajak untuk berdamai.