Aku dan kawan-kawanku paling gemar kalau mengikuti acara rutinan bahtsul masail di pondok pesantrenku. duduk di serambi masjid adalah tempat paling strategis untuk mendengarkan acara bahtsul masail berlangsung. Aku dan kawan-kawanku menyimak dan menikmati acara tersebut, mulai dari awal mulai acara sampai pembahasan masalah yang sedang didiskusikan. Tiba-tiba keluar suara keras dan penuh keyakinan dari salah satu peserta bahtsul masail. Saat itu aku dan kawan-kawanku kaget dan tercengang mendengar peserta bahtsul masail yang berada di pojok dengan peci putih dan baju dobel persis seperti orang yang lagi kedinginan. Aku sangat heran, bahkan seringkali aku bertanya-tanya bagaimana bisa ada orang seperti itu? Bagaimana dulu belajarnya saat di pondok?.
Wah, "seandainya aku bisa mengaji bersama beliau dan mencari tahu kunci sukses membaca kitab kuning dan ahli dalam bidang fikih." Itu harapan yang terlintas dalam benakku. Beliau sungguh hebat dan sangat memegang teguh pendiriannya, jawaban beliau saat itu banyak menuai kritikan karena kontroversinya. Forumpun sangat ramai dan semua peserta ingin meminta untuk melakukan pembelaan atas jawaban yang dilontarkan beliau. Sampai akhirnya Dewan pentashih sebagai mediator forum mengakhiri
Tahun ajaran baru tiba, aku mulai memulai aktifitas kebiasaanku dan melakukan kewajibanku sebagai santri yaitu mengaji. tepatnya malam senin khissoh ke dua yaitu pelajaran shorof. Aku duduk di pojok bersama kawan-kawanku sambil lalaran nadzom alfiyahku. Disela-sela mendendangkan alfiyahku aku melihat sosok orang yang aku herankan selama inimasuk di kelasku. Aku dan kawan-kawanku kaget bercampur senang melihatnya. Apalagi beliau menyatakan bahwa saat itu sampai seterusnyayang akan mengampu pelajaranshorof adalah beliau, ustad salim hidayatullah namanya. Beliau berasal dari kabupaten banjar provinsi jawa barat yang telah menimba ilmu sekaligus mengabdi menjadi mustahiq (dewan guru) di pondok pesantren lirboyo kediri selama kurang lebih 15 tahun.
Ustad mahdi adalah Salah satu temanku yang menjadi ustad dan satu kamar sama beliau seringkali bercerita tentang ust salim hidayatulloh, dia sangat kagum kepada beliau. Kami tak henti-hentinya kalau membicarakan kehebatan keilmuannya terutama tentang fikih (hukum islam) dan alat (grametika arab).aku dan temanku memberi julukan beliau dengan sebutan "kamus berjalan" karena beliau begitu piawai dalam memberikan pemahaman nahwu (grametika arab) terlebih beliau hafal beribu-ribu kosa kata arab. Misalnya ketika ditanya tentang lafadz tertentu. beliau langsung menjawabnya dengan lantang dan jelas. Si kamus berjalan itu adalah ustad yang ada di sini yang ilmunya paling lengkap. Tandasnya temanku.
''saya selalu melihat kalau di kamar kamus berjalan pasti sudah di depan kitab kuning. Dia telaten dan ulet membaca dan meurojaah kitabnya. Kopi dan rokok yang setia menemaninya. Tidak habis pikir saya dan teman ustad yang lain saja bosan kalau di kamar terus, apalagi harus melek hanya dengan kitab kuning semalam suntuk. Bila sudah membaca kitab kuning tidak ada yang berani untuk mengganggunya.
Gus irfan salah satu menantu pengasuh pondok pesantren ku juga bercerita tentang si kamus berjalan, tapi tidak sebanyak cerita temanku. " Pondok pesantren ini akan maju bila dia terus di sini. Dia sangat pandai mengaji. kata gus irfan di sela-sela pembicaraanya dengan Ibu-Nya di Buntet Cirebon. Di samping menguasai ilmu alat, ilmu fikihnya sangat unik. Seringkali mengkritisi teks-teks fikih dengan memunculkan masalah-masalah baru yang sering terjadi di masyarakat. Pokoknya ketika dia sudah bicara tentang hukum islam, dia selalu mengembangkan masalah yang kekinian dan melalui studi komparasi hukum ulama-ulama terdahulu.
Pernah dia marah kepada santri gara-gara musyawarah atau diskusi santri di kelas tidak hidup sama sekali, diskusi hanya saling tanya jawab selesai. Dia ingin santri harus kritis dan tidak boleh menerima jawaban yang belum jelas alias masih mengambang. Kata teman sepondoknya dia sangat istiqomah dalam belajar.
Kata ustad mahdi "apa benar gus si kamus berjalan juga sering diundang untuk mengisi kajian hukum islam?" Tanya saya lirih. Gus irfan mengiyakan dengan tegas. Banyak santri yang kurang peka terhadap kehadiran dia. Santri disuruh menghafalkan bait nadzom saja malas. Artinya santri al-hidayah sekarang belum siap menyambut kedatangan dia. Saya sudah paham betul santri di sini. Tandas gus irfan.
Gus irfan berdiri dan pergi ke belakang dengan muka serius. Mungkin beliau sangat kecewa selama ini. Baru kemudian melanjutkan ceritanya. "Dari sekian santri yang tinggal di pondok pesantren belum ada yang seperti dia; kritis dan istiqomah dalam belajar".
Aku sendiri merasa menyesal , ketika tidak bisa memanfaatkan kehadiran beliau
Waktu giliranku setoran nadzom bait alfiyah. Coba seterusnya aku maju di depan beliau. Jantung aku berdebar kencang. "Ayo bunyi". Mintanya. "Iya tadz" jawabku singkat. Aku mulai membaca nadzom ku yang telah aku hafalkan selama ini. Setelah selesai. Aku memberanikan diri untuk meminta mengaji dengan khusus bersama beliau. "Mohon maaf tadz aku ingin mengaji fikih dengan ustad, apakah boleh?" Beliau tersenyum dan menjawab "apa kamu siap istiqomah"? "Insya allah tadz". Jawabku dengan penuh yakin. "Ya sudah kalau begitu mulai besok datang ke kamarku habis mengaji di kelas," jawab beliau. Aku menjawabnya "iya tadz". Dengan hati riang.