Setelah selesai mengaji aku bergegas menemui beliau. Aku berjalan sambil membawa kopi untuk beliau. "Assalamualaikum", kataku. "Waalaikumsalam oh arif yah, sini masuk", jawab beliau sambil menaruh kitab kuningnya di lemari. Aku duduk dengan sopan di depan beliau. "Mau mengaji apa", tanya beliau. "Terserah tadz, yang penting aku bisa pandai seperti ustadz. Beliau hanya tersenyum. "Apa motivasi kamu untuk mendalami fikih?" Tanya beliau dengan serius. "Aku pengen pintar agama tadz". Jawabku seadanya. "Orang mencari ilmu yang penting niatnya mas, dan niat tersebut harus diorientasikan kepada Allah tidak boleh mencampurkannya dengan unsur duniawi." Saya Cuma mengangguk. "Dimanapun pondoknya sama tergantung niatnya pada saat di pondok". Jelas ustad yang aku juluki kamus berjalan itu.
Dunia pesantren bangga ada sosok orang yang begitu pandai terlebih bangsa kita ini sebagai bangsa yang memiliki warisan pendidikan islam yang sangat unik yakni pondok pesantren amatlah beruntung telah melahirkan cendekiawan --cendekiawan muslim dari kalangan pesantren.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H