Seorang warga negara Indonesia untuk dapat menjadi seorang anggota DPR harus melalui proses Pemilu terlebih dahulu. Pemilu menjadi prosedur bagi para calon DPR yang harus dilalui agar dapat menduduki jabatan DPR baik tingkat pusat maupun daerah. Proses Pemilu yang terjadi di Indonesia saat ini memiliki permasalahan yang sebenarnya telah terjadi sejak masa awal reformasi terjadi. Permasalahan tersebut adalah urusan pendanaan pemilu bagi partai politik di Indonesia.
Indonesia adalah negara demokrasi yang menganut proposional terbuka dalam pemilihan legislatifnya. Efek samping dari sistem ini dapat menimbulkan konsumsi dana yang besar dalam penyelenggaraannya. Diperparah, ketika Indonesia memiliki budaya politik uang yang sudah hadir sejak dahulu. Masalah ini akhirnya berdampak kepada calon DPR dan juga partai politik itu sendiri. Mereka pada akhirnya membutuhkan dana yang besar agar dapat memenangkan Pemilu dan terpaksa mencari dana tersebut dengan berbagai cara.
Sebenarnya, partai politik mendapatkan suntikan dana dari pemerintah demi terselenggaranya Pemilu yang lancar dan Partai Politik masih dapat eksis. Pendanaan Partai Politik dapat berasal dari 3 sumber dana yakni :
- iuran anggota partai : iuran ini dibayarkan oleh anggota secara berkala. sumber pendapatan Partai Politik tidak dibatasi secara tegas oleh peraturan perundang-undangan mengenai jumlah besaran yang harus diberikan oleh seorang anggota kepada Partai Politiknya termasuk batas besaran maksimalnya
- Pendanaan dari Pemerintah : Partai Politik ini adalah Organisasi Publik dan dalam undang -- undang, Partai Politik berhak mendapatkan suntikan dana dari pemerintah. Jika merujuk pada pemilu tahun 2019 partai politik mendapatkan seribu rupiah per suara.
- Sumbangan yang sah menurut hukum : sumbangan ini tercatat dan transparan yang diawasi oleh pemerintah. Untuk sumbangan non anggota partai secara individu memiliki jumlah maksimal donasi 1 milyar rupiah sedangkan perusahaan maksimalh 7,5 Milyar rupiah.
- Biaya pencalonan untuk menjadi anggota legislatif tidak lah murah. Menurut Litbang Kemendagri biaya yang diperlukan untuk menjadi DPR RI (pemilu 2014) dapat menghabiskan dana 2 milyar lebih. Bahkan caleg[1] yang mengeluarkan dana 2 milyar ini gagal mendapatkan kursinya di Senayan atau dapat dikatakan gagal menjadi anggota DPR RI. Â Sedangkan, biaya yang diberikan pemerintah untuk Partai Politik untuk Pemilu 2019 sebesar Rp 1.000 per suara dan PDIP dengan perolehan terbesar sekitar Rp 27 Miliyar. Setiap partai politik pada pemilu 2019 rata -- rata mencalonkan 7 peserta calon DPR RI. Ini masih belum untuk DPRD tingkat 1, tingkat 2, dan juga presiden.Â
- Â
- Calon DPR yang mengikuti Pemilu ini membutuhkan dana tambahan agar dapat terpilih. Ketika biaya pemilu menjadi semakin mahal, para partai politik dan caleg akan mencari sumber dana agar dapat memenuhi kebutuhan pemilunya. Oligarki dan kelompok berkepentingan menjadi jawaban bagi partai politik dan calon DPR. Ini berbeda dengan sumbangan yang sah. Dana -- dana ini tersalurkan secara underground[2]. Tidak ada batasan jumlah nominalnya dalam penyaluran dana ini. Nominal angka mengikuti transaksi/kesepakatan antara pihak yang bersangkutan.Â
- Â
- Seperti yang kita ketahui, DPR mewakili kepentingan dan keinginan masyarakat dan partai politik pun sama. Jika dilihat pada visi dan misi di website -- website resmi partai politik berisi poin -- poin yang berusaha mewujudkan kepentingan masyarakat. Tapi seperti yang kita tahu, untuk bertahan/eksis dan tetap berkuasa partai politik membutuhkan dana. Dana yang didapat dari pemerintah pun masihlah kurang. Ketika partai politik sudah terinfeksi oligarki dan kelompok -- kelompok kepentingan maka kepentingan oligarki menjadi sama dengan kepentingan partai politik.
- Â
- Dalam kondisi ini anggota DPR juga akan mengalami kebimbangan. DPR dihadapkan pada pilihan untuk menuruti partai politik atau mendengarkan suara rakyat. Jika mendengarkan suara rakyat memiliki resiko dipecat oleh partai dari keanggotaan, ini juga dapat berdampak kepada jabatannya di DPR. Jika keanggotan DPR dilepas status keanggotaan dari partainya maka jabatan anggota DPRnya pun juga akan terancam dicabut. Disini dapat terlihat bahwa ketimpangan resiko antara anggota DPR sebagai wakil rakyat dengan anggota DPR sebagai anggota partai. Jika merumuskan UU (Undang -- Undang) tidak sesuai kehendak rakyat ancaman kehilangan jabatannya tidak sebesar menolak permintaan partai.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI