belanja online, ada fenomena baru yang cukup menarik perhatian, terutama di kalangan Gen Z: kebiasaan checkout barang dari e-commerce sebagai bentuk “healing.” Kegiatan belanja online kini lebih dari sekadar memenuhi kebutuhan material, melainkan juga sebagai bentuk pelarian emosional dari tekanan hidup sehari-hari. Namun, di balik kesenangan dan kepuasan instan yang ditawarkan, fenomena ini juga tak lepas dari sisi gelap yang dikenal sebagai doom spending—sebuah kebiasaan belanja impulsif yang muncul dari rasa cemas atau stres.
Di tengah keadaan makin merebaknyaKenapa Checkout Bisa Menjadi Healing?
Ketika bicara soal healing, sering kali yang terbayang adalah hal-hal seperti meditasi, yoga, atau liburan. Namun, Gen Z—yang tumbuh dalam dunia yang penuh dengan digitalisasi dan tekanan sosial—telah menemukan cara alternatif untuk meredakan stres mereka, yakni dengan belanja online. Checkout menjadi semacam ritual kecil yang memberikan perasaan lega dan kontrol setelah menjalani hari yang penuh tekanan.
Proses menambahkan barang ke keranjang, memilih metode pembayaran, dan akhirnya menyelesaikan transaksi memberikan perasaan "kemenangan" kecil yang membantu mengurangi ketegangan mental. Ini seperti memberi hadiah pada diri sendiri setelah berjuang menghadapi tekanan kerja, sosial media, atau bahkan tantangan personal. Namun, ada sisi lain yang tidak bisa diabaikan: kepuasan ini sering kali bersifat sementara dan bisa memicu kebiasaan doom spending.
Baca juga: Mengapa "Bucin" Jadi Fenomena di Kalangan Milenial dan Gen Z
Doom Spending: Kesenangan Instan yang Menjebak
Doom spending adalah fenomena di mana seseorang menghabiskan uang secara impulsif dan berlebihan sebagai respons terhadap kecemasan atau ketidakpastian. Fenomena ini semakin nyata di tengah pandemi dan berbagai krisis global yang membuat banyak orang merasa kehilangan kontrol atas situasi di sekitar mereka. Alih-alih mencari solusi jangka panjang untuk mengatasi stres, banyak yang malah beralih ke belanja online untuk meredakan kegelisahan mereka. Pada saat itulah checkout yang awalnya terasa seperti "healing" bisa berubah menjadi kebiasaan yang merugikan.
Gen Z, yang sangat terhubung dengan dunia digital dan media sosial, rentan terhadap perilaku ini. Dengan kemudahan akses belanja online dan rangsangan dari konten-konten media sosial—seperti unboxing video, review produk, atau rekomendasi dari influencer—kebiasaan belanja impulsif bisa menjadi lingkaran yang sulit dihentikan. Alih-alih benar-benar membantu mengatasi perasaan stres, doom spending justru memperparah kecemasan, terutama ketika menyangkut masalah finansial.
Bagaimana Checkout Bisa Menjadi Pelarian?
Bagi banyak orang, termasuk Gen Z, checkout memberikan perasaan kontrol dalam situasi yang mungkin terasa di luar kendali. Misalnya, ketika kamu merasa tidak berdaya menghadapi masalah pekerjaan, tekanan sosial, atau bahkan berita negatif yang terus-menerus muncul di timeline media sosial, belanja online bisa memberikan semacam rasa kepuasan instan. Kamu bisa memilih barang yang diinginkan, menyelesaikan pembelian, dan menunggu paket datang. Dalam proses ini, ada perasaan mengendalikan sesuatu, walau hanya sesaat.
Namun, seperti banyak kebiasaan instan lainnya, sensasi ini tidak bertahan lama. Ketika barang yang dibeli sudah tiba, kebahagiaan itu cepat hilang, dan siklus keinginan untuk mencari "kesenangan" lain bisa kembali berulang. Di sinilah doom spending mulai mengambil alih—belanja bukan lagi sebagai kebutuhan atau cara sehat untuk memanjakan diri, melainkan pelarian dari perasaan cemas yang terus menerus.