Mohon tunggu...
Muchamad Iqbal Arief
Muchamad Iqbal Arief Mohon Tunggu... Freelancer - Independent Content Writer

Halo, saya Iqbal Arief. Sebagai penulis aktif di Kompasiana, saya senang berbagi wawasan dan informasi menarik dengan para pembaca. Minat saya cukup luas, meliputi berbagai topik penting seperti marketing, finansial, prinsip hidup, dan bisnis. Melalui tulisan-tulisan saya, saya berharap dapat memberikan perspektif baru dan pengetahuan yang bermanfaat bagi Anda. Mari bergabung dalam perjalanan intelektual saya di Kompasiana, di mana kita bisa bersama-sama menemukan inspirasi dan wawasan baru dalam berbagai aspek kehidupan dan karier. Selamat membaca!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dilema Toxic Positivity, Memotivasi atau Menutupi Masalah Sebenarnya?

27 September 2024   08:10 Diperbarui: 27 September 2024   08:13 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
multicultural friends with different facial expressions looking at camera isolated on white (Dok. Lightfieldstudio)

 

Kamu pasti pernah mengalami situasi di mana saat kamu sedang merasa terpuruk, orang-orang di sekitarmu berkata, "Tetap positif!" atau "Semua akan baik-baik saja." Di saat itu, mungkin kamu hanya butuh didengarkan, tapi kalimat-kalimat penuh harapan itu justru membuatmu merasa tertekan. Apakah kalimat tersebut benar-benar membantu atau hanya menutupi masalah yang sebenarnya?

Kondisi seperti ini disebut 'toxic positivity', di mana kamu diminta untuk selalu terlihat baik-baik saja, tidak peduli seberat apa pun situasi yang kamu hadapi. Optimisme memang penting, tapi jika terlalu dipaksakan, ia bisa membuat kita mengabaikan emosi negatif yang sebenarnya wajar dan manusiawi. Bukannya membuat kamu bangkit, toxic positivity justru bisa memperparah kondisi emosionalmu.

Apa Itu Toxic Positivity?

Toxic positivity adalah bentuk dukungan yang terlalu memaksa seseorang untuk berpikir positif, tanpa memperhatikan perasaan negatif yang sedang dialami. Kamu mungkin pernah mendapatkan komentar seperti, "Jangan terlalu dipikirkan, pasti semua akan baik-baik saja," ketika kamu sedang merasa sedih, marah, atau cemas. Meski niatnya baik, komentar semacam ini sering kali membuat perasaanmu jadi tak tervalidasi.

Pernahkah kamu merasa begitu? Saat kamu hanya ingin didengarkan, tapi malah diberi nasihat untuk "berpikir positif." Bukannya merasa lega, kamu malah merasa lebih tertekan karena merasa seolah-olah tidak boleh memiliki perasaan negatif. Inilah salah satu bahaya toxic positivity.

Baca juga: Mengapa "Bucin" Jadi Fenomena di Kalangan Milenial dan Gen Z

Kenapa Toxic Positivity Bisa Berbahaya?

  1. Menekan Emosi yang Wajar

    Saat kamu diminta untuk terus berpikir positif, kamu mungkin merasa harus menyembunyikan emosi yang sebenarnya. Padahal, perasaan negatif seperti sedih, marah, atau kecewa itu normal dan bagian dari proses penyembuhan. Menekan emosi ini bisa berujung pada akumulasi stres, kecemasan, bahkan depresi.

  2. Meremehkan Pengalaman Pribadi

    HALAMAN :
    1. 1
    2. 2
    3. 3
    Mohon tunggu...

    Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
    Lihat Humaniora Selengkapnya
    Beri Komentar
    Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

    Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun