Kamu pasti sudah sering mendengar tentang kesetaraan gender, bukan? Isu ini kian menjadi topik perbincangan yang tak lekang oleh waktu, terutama di era modern seperti sekarang. Di Indonesia, kita juga mulai melihat perubahan yang signifikan dalam hal pemberdayaan perempuan. Tapi, satu hal yang sering luput dari perhatian: apakah upaya kesetaraan gender ini justru berakhir menjadi eksklusivitas bagi perempuan?
Saat kita bicara soal kesetaraan gender, yang idealnya kita bahas adalah hak yang setara antara laki-laki dan perempuan. Namun, dalam praktiknya, ada beberapa upaya yang terlihat lebih menonjolkan sisi perempuan. Misalnya, banyak program pemberdayaan yang difokuskan hanya pada perempuan, seperti beasiswa khusus perempuan, pelatihan bisnis khusus perempuan, kebijakan kuota perempuan di tempat kerja, hingga pemberian spot ladies parking di pusat perbelanjaan. Ini memang langkah penting untuk mendukung perempuan, terutama dalam menyeimbangkan ketertinggalan yang sudah terjadi selama bertahun-tahun.
Namun, di sisi lain, apa yang terjadi pada laki-laki dalam konteks ini? Apakah mereka juga merasakan perlakuan yang adil dalam hal kesetaraan gender? Ada kalanya, laki-laki merasa tersisih atau bahkan kurang diperhatikan ketika fokus utama diberikan hanya kepada perempuan. Hal ini membuat beberapa dari mereka berpikir bahwa kesetaraan gender seolah menjadi sesuatu yang hanya “eksklusif” bagi perempuan.
Baca juga: Porn Emergency di Korea Selatan
Tentu saja, ini bukan berarti bahwa kita tidak boleh memberikan perhatian khusus pada perempuan. Ada sejarah panjang diskriminasi dan ketidakadilan yang dihadapi perempuan, dan upaya untuk memperbaiki ketidaksetaraan itu sangatlah penting. Tapi, penting juga untuk memastikan bahwa perjuangan kesetaraan gender ini tetap inklusif. Kesetaraan gender bukan tentang mengutamakan satu kelompok di atas kelompok lain, melainkan bagaimana kita bisa menciptakan lingkungan di mana setiap individu, baik laki-laki maupun perempuan, bisa mendapatkan kesempatan yang setara.
Sebagai masyarakat modern, kita harus mulai melihat isu ini secara lebih luas. Kesetaraan gender bukan hanya tentang memperjuangkan hak perempuan, tetapi juga tentang bagaimana kita merangkul seluruh aspek kehidupan. Di sini, laki-laki juga perlu diberikan ruang untuk berbicara tentang peran mereka dalam memperjuangkan kesetaraan. Peran laki-laki dalam keluarga, karier, dan masyarakat juga perlu diperhatikan. Misalnya, bagaimana budaya patriarki juga bisa menekan laki-laki dalam hal tanggung jawab atau ekspresi emosional, yang kerap kali terabaikan dalam diskusi kesetaraan.
Selain itu, kita juga perlu menyadari bahwa kesetaraan gender adalah tentang kolaborasi. Laki-laki dan perempuan seharusnya berjalan beriringan dalam memperjuangkan keseimbangan ini. Membuat program yang hanya memfokuskan pada satu gender mungkin memberikan dampak positif dalam jangka pendek, tetapi di jangka panjang, kita perlu berpikir lebih inklusif. Bagaimana jika kita membuat program pemberdayaan yang mendorong laki-laki dan perempuan untuk saling bekerja sama, saling memahami, dan tumbuh bersama?
Baca juga: 5 Dosa Tukang Fotokopi yang Bikin Kamu Geleng-Geleng Kepala
Dengan begitu, kesetaraan gender tidak lagi menjadi eksklusivitas bagi perempuan, melainkan menjadi konsep yang benar-benar diterapkan untuk semua. Ini bukan tentang siapa yang lebih membutuhkan perhatian, tetapi bagaimana kita bisa saling mendukung untuk mencapai tujuan bersama.
Pada akhirnya, perjuangan kesetaraan gender adalah perjalanan panjang yang membutuhkan partisipasi semua orang. Penting bagi kita untuk tidak hanya fokus pada “apa yang kurang” bagi perempuan, tetapi juga untuk melihat bagaimana kita bisa menciptakan harmoni dan keseimbangan di seluruh aspek kehidupan, baik untuk laki-laki maupun perempuan.