Setiap kali perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW tiba, ada satu tradisi unik yang terus bertahan di Yogyakarta, yakni Grebeg Maulid. Sebagai bagian dari masyarakat yang memiliki darah Yogyakarta, saya merasa ada keterikatan khusus dengan tradisi ini. Tidak hanya menjadi momen penghormatan kepada Nabi Muhammad, tetapi Grebeg Maulid juga mencerminkan kebersamaan, kebudayaan, dan spiritualitas yang kaya. Tradisi ini bukan sekadar perayaan agama—ini adalah wujud dari sejarah dan nilai-nilai luhur yang masih kita jaga bersama.
Dalam acara Grebeg Maulid, yang juga merupakan puncak dari rangkaian Sekaten, kamu akan melihat sebuah gunungan besar diarak dari dalam Keraton Yogyakarta. Gunungan ini, yang terbuat dari hasil bumi seperti buah, sayuran, dan makanan lainnya, melambangkan kemakmuran dan berkah dari alam yang diberikan kepada kita. Sultan memberikan gunungan ini sebagai simbol rasa syukur kepada Allah, sekaligus pesan bahwa kemakmuran datang dari kerja keras dan kedekatan kita dengan alam.
Baca juga: Sejarah dan Misteri Gunung Api Purba Nglanggeran: Warisan Geologi Jutaan Tahun
Masyarakat kemudian akan berebut untuk mendapatkan bagian dari gunungan ini, karena dipercaya membawa berkah bagi siapa pun yang mendapatkannya. Tradisi ini bukan hanya soal mendapatkan sesuatu secara fisik, tetapi juga tentang kepercayaan dan rasa syukur yang mendalam—dua hal yang terus relevan hingga saat ini.
Sejarah dan Makna Filosofis Grebeg Maulid
Grebeg Maulid berakar pada zaman ketika Kesultanan Yogyakarta masih memainkan peran besar dalam menyebarkan agama Islam melalui budaya. Melalui perayaan seperti Grebeg, Sultan berharap masyarakat dapat lebih mudah menerima ajaran Islam dalam bentuk yang lebih dekat dengan tradisi lokal. Ini adalah bukti bagaimana budaya dan agama dapat berjalan selaras.
Gunungan dalam Grebeg Maulid bukan sekadar tumpukan hasil bumi, tapi juga simbolisasi kesejahteraan dan keberkahan yang bisa kita peroleh dari alam. Bagi kamu yang mungkin belum pernah menyaksikannya secara langsung, gunungan ini berbentuk seperti kerucut besar dan terdiri dari berbagai hasil bumi yang disusun dengan penuh seni. Setelah diarak dan tiba di Masjid Gede Kauman, masyarakat dengan antusias akan berebut bagian dari gunungan, membawa pulang sedikit berkah sebagai pengingat akan kebaikan Tuhan.
Harmoni antara Tradisi dan Modernitas
Sebagai keturunan Yogyakarta, saya sering kali merasa bahwa Grebeg Maulid adalah salah satu cara di mana kita bisa menyaksikan interaksi antara tradisi lama dan dunia modern. Misalnya, tabuhan gamelan yang mengiringi prosesi Grebeg bukan hanya sekadar hiburan, tetapi memiliki nilai spiritual dan dakwah. Gamelan yang dikenal dengan nama gamelan Sekaten ini telah ada sejak zaman Wali Songo dan berfungsi sebagai media dakwah Islam.
Di dunia yang semakin modern, tradisi seperti Grebeg Maulid seolah menjadi pengingat bahwa akar budaya kita tetap kuat meski zaman terus berubah. Di sini, tradisi bukanlah sekadar ritual tahunan, tetapi juga refleksi akan nilai-nilai kebersamaan, keberkahan, dan spiritualitas. Jika kamu mengikuti Grebeg Maulid, kamu akan merasakan bagaimana momen ini mengikat masyarakat dari berbagai latar belakang untuk merayakan sesuatu yang lebih besar dari diri kita sendiri.