Hampir 74 tahun negara yang bernama INDONESIA ini merdeka,kemudian pemerintah membuat semboyan "Menuju Manusia Unggul" dalam memperingati HUT RI pada tahun ini. Sebagai sebuah negara yang besar,Indonesia memang memiliki banyak potensi dalam membangun sebuah negara yang berkemajuan.
Indonesia sangat kaya.Itu bukanlah suatu kalimat yang kebetulan.Indonesia memiliki 17 ribu lebih pulau,dengan dikelilingi lautan dan keberagaman yang begitu luas.Laut yang kemudian mempersatukan bangsa Indonesia dengan semangat gotong royong.Â
Dengan garis pantai hampir menyentuh 55 ribu kilo meter kemudian menjadikan Indonesia sebagai negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia.Allah Swt,Tuhan Yang Maha Esa memberi karunia kepada bangsa Indonesia dengan hamparan besar dan bebas yang bisa dinikmati oleh segenap bangsa Indonesia.
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, budaya gotong royong itulah yang menjadi semangat bangsa meski kini mulai sedikit memudar.Keniscayaan itu seharusnya menjadi pemantik untuk mentransformasikan hal tersebut menjadi sebuah modal untuk kemajuan bangsa di tengah berbagai tantangan dan ketidakpastian global.
Pengantar : Alam Demokrasi,Anugerah Bangsa Indonesia
Salah satu konsekuensi lahirnya demokrasi adalah hadirnya keterbukaan dan kebebasan untuk berpendapat.Bebas dalam berpendapat menjadikan seolah-olah kita sebebas-bebasnya bertutur sesuai isi hati kita.
Padahal bebas dalam arti ini bukanlah bebas sebebas-bebasnya. Siapapun memang boleh berujar apa saja,tetapi harus berdasar fakta dan data serta sesuai konstitusi yang berlaku -- apalagi bila ujaran tersebut disampaikan kepada publik.Â
Demokrasi juga harus mengutamakan tatanan dan aturan yang ada. Tetapi sekali lagi,demokrasi telah membawa pengaruh dan anugerah besar bagi bangsa terlebih setelah era reformasi seperti sekarang ini.
Bahwa telah menjadi keniscayaan bahwa kabar dusta dan isu kian santer terhembus belakangan ini,terutama sebelum dan setelah kontestasi pemilu 2019.Pada dasarnya -- berita dusta,berita fitnah,perang pikiran "kosong", ujaran makian dan celaan dsb sejatinya mengurangi hakekat kita sebagai manusia yang beradab.
Nilai Pancasila yang sebenarnya sudah sangat luhur menjadi alam pikiran justru kadang dan kadung diabaikan,demokrasi yang sejatinya sebagai anugerah malah merembet ke arah ancaman pengikis persatuan bangsa.
Sejatinya, bukan demokrasinya yang salah. Seperti sebuah manggis yang busuk -- bukan buah manggisnya yang salah,tetapi pedagangnya yang tidak bisa menjaga buah dalam kondisi yang baik.Kalau begini jadinya,yang repot bukan pedagangnya saja,tetapi juga merembet ke konsumennya !
Membiarkan arus bias kognitif yang salah, bukanlah sebuah pilihan yang tepat.Sudah saatnya kita memerangi bersama hal ini,kita tak boleh membiarkan apapun yang mengancam persatuan bangsa dan kesatuan bangsa.Sudah saatnya bangsa ini kembali ke khittah nya sebagai sebuah bangsa yang beradab dan berbudi luhur.
Semuanya itu memang harus kita akui akibat pemilu 2019 yang memang dihiasi oleh berbagai opini dsb.Kontestasi dan konstelasi sejatinya memang telah berakhir dengan ditetapkannya Paslon Jokowi-Amin sebagai pemenang.Namun,harus kita akui bahwa "perang" opini tsb belum juga berakhir.
Maka tugas rumah yang maha besar yang harus diselesaikan oleh Paslon terpilih ini adalah meredam dan merangkul semua golongan,maka patut dalam hal ini kita dukung pernyataan presiden terpilih bahwa dirinya akan menjadi presiden untuk seluruh rakyat Indonesia.
Ada sejumlah topik hangat yang memang santer dihembuskan belakangan ini.Mari kita bedah dan analisis soal topik-topik tersebut,mari kita menyimaknya secara jernih -- soal keyakinan saya serahkan kepada masing-masing individu sebagai bagian dari hak individu untuk memilih :
Klaim Soal Indonesia Dikuasai Asing dan Aseng
Sepanjang sejarah,arus investasi langsung dari asing terbilang sangat kecil yakni hanya sekitar 5 persen dari total investasi fisik/pembentukan midak tiap tahunnya.Kalau kita bandingkan dengan negara-negara tetangga kita, jumlah/arus tersebut masih sangat kecil dibandingkan negara-negara tetangga Indonesia. Kita contohkan Malaysia yang bahkan arus investasi langsung asing berkali-kali lipat lebih besar daripada negara kita.
Peranan Investasi asing di RI memang relatif kecil dan di bawah rerata Asia,apalagi dibandingkan dengan negara-negara tetangga di ASEAN.Indonesia nyaris tidak pernah mengandalkan modal langsung asing untuk memacu pertumbuhan ekonomi.
Sejak merdeka,bangsa ini masih sangat berpegang teguh terhadap pasal 33 ayat (3) UUD 1945.Perusahaan yang bergerak di sektor migas misalnya,mereka hanya sebatas sebagai kontraktor.Mereka membawa modal untuk melakukan eksploitasi dan eksplorasi.
Jika mereka gagal mendapat migas,kerugian ditanggung mereka sendiri,pemerintah dalam hal ini negara tidak memiliki tanggung jawab alias bebas dari resiko tersebut.
Bagaimana jika mereka mendapat migas? mereka memperoleh imbalan dengan sistem bagi hasil.Tapi lain cerita bila konsesi habis,biasanya negara langsung mengambil alih.Itu terjadi di beberapa lahan migas yang dalam kondisi konsesi habis kemudian PT Pertamina selaku BUMN yang mengurus migas langsung mengambil alih lahan tersebut.Contoh sederhana kita bisa lihat di beberapa lahan migas seperti Blok Rokan dan Blok Mahakam.
Lalu soal ekspor-impor.Adanya kegiatan tsb merupakan keniscayaan akibat perdagangan internasional sebagai hakekat dari saling membutuhkan.Kita tidak bisa kemudian menghentikan impor dan hanya selalu ekspor,saya sangat yakin bahwa negara ini pasti juga membutuhkan negara lain akibat suatu hal yang mungkin tidak didapat di negara ini.
Kemudian jika kita melarang impor alias melarang negara lain untuk memasukkan barangnya ke negara kita,mana mungkin negara lain itu juga mau menerima barang kita? yang ada kita malah merusak perdagangan internasional dan efek dominonya kita bisa saja menghambat hubungan internasional yang ada.
Secara kodrat,kita merupakan sebuah negara dengan bentangan terbuka yang dilintasi pula oleh 2 samudera dan 2 benua.Adalah sebuah ironi seandainya kita menutup diri dengan bangsa lain.Kita malah jadi bangsa yang tertinggal,coba kemudian kita lihat bagaimana negara Mongolia yang lokasinya tertutup seperti itu alias terpencil justru berusaha membuka diri.Bayangan seram soal asing dan aseng pun terlintas.
Kita memang boleh khawatir.Tetapi sekali lagi -- bila kekhawatiran tsb lantas kita menutup diri di era seperti sekarang ini maka percayalah kita takkan mendaoat keuntungan apa-apa selain daripada kemudharatan.
Kemudian soal isu TKA yang mengambil lahan pekerjaan WNI di dalam negeri juga disinyalir tidak berdasar bukti yang konkret.Faktanya,jumlah TKA yang bekerja di Indonesia hanya sekitar 100 ribu alias 0,1 persen dari total pekerja di Indonesia.
Saya memang tidak menyanggah bila mungkin ada saja yang illegal,tetapi sekali lagi -- aturan main kita sangat jelas.UU kita dengan tegas melarang TKA masuk ke Indonesia tanpa izin dan harus melalui prosedur tertentu untuk bisa masuk ke wilayah NKRI.
Kita bandingkan jumlah TKA dengan jumlah TKI kita yang bekerja di luar negeri.Jumlahnya bahkan mencapai 40 kali lipat dengan jumlah 3,65 juta orang Indonesia yang berjuang dan bekerja di luar negeri.
Pada tahun 2018 mereka mengirimkan 11 miliar dolar AS ke sanak keluarganya di Indonesia.Sebaliknya,remitansi TKA sebesar 3,4 miliar dolar AS.Artinya,kita masih menikmati surplus sekitar 7 miliar dolar AS.Data pada akhirnya menunjukkan bahwa keterbukaan sangat penting dan lebih membawa maslahat ketimbang mudarat bagi perekonomian. []
Lalu,bagaimana dengan topik hangat lainnya ? kita bahas di bagian selanjutnya yah :)Â
Sebelum itu,mari kita mengakhiri pembahasan ini dengan bersama-sama mengucap ALHAMDULILLAH dan kembali menyeruput kopi hangat yang sudah disajikan :)
Tabik,
Muchamad Dani Andrean
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H