[caption id="attachment_340294" align="aligncenter" width="384" caption="Kover buku Pak Tjiptadinata "][/caption]
Oleh MUCH. KHOIRI
Baru-baru ini datanglah sebuah paket buku dari Mas Thamrin Sonata. Salah satu buku bertajuk Beranda Rasa(Peniti Media, 2014) merupakan buah tangan kompasianer sepuh produktif, Tjiptadinata Effendi. Karena ada kiriman buku dari penerbit lain (biasanya untuk minta di-resensi), barulah malam ini saya membaca, singgah, dan belajar di Beranda Rasa ini.
Ya, buku yang bersampul empat warna dengan latar sketsa Pak Tjip—begitu saya biasa menyapanya—ini benar-benar sebuah beranda yang pas untuk belajar. Yakni, belajar berbagai pernik-pernik kehidupan yang telah dituturkan laksana air mengalir oleh Pak Tjip. Enak diikuti dan perlu.
Buku setebal 117 halaman ini memuat puluhan artikel Pak Tjip yang sejatinya juga pernah ditayangkan di kompasiana. Di bagian pertama, pembaca diajak untuk belajar menyelami catatan hati seorang Pak Tjip, laki-laki penuh semangat, yang hidupnya bersama keluarga sangat penuh romantika, perjuangan, dan (kini) kesuksesan.
Pembaca diajak untuk menyimak tuturan Pak Tjip ketika dia berada di dalam tahanan, juga dibawa untuk memahami tentang kearifan hidup, bahwa hidup adalah pengabdian tanpa akhir. Pak Tjip bahkan menyebut “universitas kehidupan” yang di dalamnya manusia selalu harus belajar dan belajar. Dalam hidup, tak selayaknya manusia sombong, tak perlu merasa hebat, karena ketika dia merasa hebat, saat itulah awal kejatuhannya. Itulah di antara substansi bagian awal.
Bagian kedua, pembaca bisa belajar bagaimana kiprah Pak Tjip di lapak kompasiana, termasuk bagaimana pengakuannya tentang makna kompasiana bagi dirinya dan pembaca lain. Baginya, kompasiana merupakan universitas terbuka multidimensi yang gratis. Lebih dari 730 artikel telah ditayangkan di sana, sehingga hikmahnya: Pak Tjip dikenal di kalangan diplomat.
Pembaca juga bisa belajar bagaimana mewariskan tulisan untuk masyarakat. Sebab, hakikatnya, menulis itu berbagi gagasan, perasaan, pengalaman, dan sebagainya—dan itu bisa menular kepada khalayak. Semua itu amat mungkin menjadi motivasi bagi orang lain. Karena itu, Pak Tjip mengakui, menulis di kompasiana merupakan kebahagiaan tersendiri.
Bukan itu saja. Pak Tjip juga menawarkan hikmah motivasi dan inspirasi di bagian ketiga buku ini. Dia mengisahkan seseorang dengan kaki tangan buntung, namun tetap berusaha untuk berjuang dan mempertahankan hidup, tidak menyerah dan bahkan berprestasi. Menurutnya, kita harus selalu tampil dengan aura positif, salah satu kunci sukses—termasuk jangan mengambil keputusan terburu-buru, jangan percayakan mimpi pada orang lain, dan sebagainya.
Yang menarik dari buku ini adalah bagian epilognya. Di sini disuguhkan sebuah catatan wanita yang diberi payung cinta, yang tak lain tak bukan adalah isteri Pak Tjip, yakni Roselina Tjiptadinata. Pembaca bisa menyelami penuturan yang jujur wanita yang diwajibkan selalu bersama suami—bahkan berpakaian pun sesuai pesanan suami—tentang liku-liku rumahtangganya bersama Pak Tjip. Sebuah perjuangan yang wajib dipetik hikmahnya bagi siapapun yang mengharapkan keabadian cinta dengan pasangan, yang pada 2 Januari 2015 nanti mereka merayakan pernikahan emas (alias berusia 50 tahun). Luar biasa.
Hanya satu catatan kecil untuk buku ini. Endorsement yang komprehensif sudah komplit, mulai Kang Pepih Nugraha, Jeng Lizz, Pak Thamrin Dahlan, dan Pak Rahmad Agus Koto. Namun, sayangnya, buku ini akan lebih bagus jika ada kata pengantar penulis atau editor. Sebuah pintu awal untuk menapaki beranda dan mengetuk pintu rumah dan belajar di dalamnya.
Surabaya, 8 Desember 2014.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI