[caption id="attachment_326797" align="alignnone" width="604" caption="Pesan dan tanda tangan saya untuk seorang pembaca yang kini getol belajar menulis."][/caption]
Oleh MUCH. KHOIRI
Laiknya selebritis, penulis yang sedang bedah buku atau membeli buku kerap dimintai tanda tangan. Lebih dari itu, penulis lalu menulis nama atau panggilan si pembeli buku dan memberikan pesan tertentu, kemudian membubuhkan tanda-tangan di bawah—beserta tanggalnya.
Hal yang sama terjadi ketika si pembeli membeli buku itu online. Karena tidak mungkin bersua secara langsung, si pembeli akan inbox pesan di fesbuk, email, sms, atau bbm untuk memesan sebuah pesan dan tanda tangan penulis. Tentu saja, komplit dengan tanggalnya.
Penulisan nama (panggilan), pesan dan tanda tangan itu memang memiliki makna tersendiri. Ada kebanggaan tersendiri, dan inspirasi pun ikut mengalir. Seakan ada kekuatan tambahan untuk mengikuti jejak penulis, atau membuat impian (dream) baru yang harus diwujudkan.
Satria Dharma, ketua umum Ikatan Guru Indonesia, menghadiahi saya buku Satria Dharma: For the Love of Reading and Writing (2011), dan di sampul dalamnya tertulis: “Untuk saudaraku M. Khoiri, ttd, 2 Des 2011.” Dr. Suyatno, ka-Humas Unesa, juga menulis “Buat Mas Khoiri, ttd.” tatkala memberikan buku Prosa Moral Hitam dan Putih (2012). Demikian pun Sirikit Syah, penulis dan direktur Sirikit School of Writing, memberikan bukunya Membincang Pers, Kepala Negara, dan Etika Media I (2014), dia juga menghadiahi pesan begini: “Untuk sobat Khoiri, seiring sejalan tebar inspirasi, ttd, 2014.”
[caption id="attachment_326796" align="alignnone" width="619" caption="Bermakna: Pesan dan tanda tangan Sirikit Syah untuk saya."]
![141220532437480346](https://assets.kompasiana.com/statics/files/141220532437480346.jpg?t=o&v=700?t=o&v=770)
Pesan dan tanda tangan semacam itu meninggalkan kesan mendalam. Meski sudah belasan kali saya mendapat buku dengan pesan dan tanda tangan penulis (terlebih karena ikut dalam bedah buku), tetap saja makna yang sama saya rasakan seperti belasan tahun silam. Pesan dan tanda tangan Suripan Sadi Hutomo, misalnya, masih mendegupkan jantung kalau kini saya membuka bukunya.
The Power of Inspiration
Agaknya kesan yang sama juga terjadi pada teman-teman yang telah memperoleh buku saya Jejak Budaya Meretas Peradaban (2014). Memang setiap buku yang mereka pesan saya tulis nama (panggilan), pesan motivatif, tanda tangan dan tanggal. Kebanyakan mereka telah meminta saya melakukan hal itu. Hal yang sama juga pernah terjadi untuk buku-buku saya sebelumnya.
Sungguh, saya memang sengaja memberikan pesan pada kover dalam. Pesan motivatif itu, misalnya, “Dewi, menulis itu menyehatkan dan membebaskan. Semoga terinspirasi, ttd, 29.9.14.” Untuk penulis dari Malang, saya menulis “Mas Hayat, menulis itu wajib, sama wajibnya dengan membaca, ttd, 29.9.14.” Ternyata, reaksinya muncul di lapak fesbuk, secara khusus mereka menyampaikan terima kasih karena telah terinspirasi berat.
[caption id="attachment_326799" align="aligncenter" width="532" caption="Pesan dan tandatangan untuk sahabat dosen penulis dari Malang."]
![14122057741146588704](https://assets.kompasiana.com/statics/files/14122057741146588704.jpg?t=o&v=700?t=o&v=770)
Tentu saja, selama dua bulan ini saya telah melakukan hal ini, hampir setiap hari, entah satu, lima, tujuh, sepuluh atau lebih buku saya kirimkan kepada pemesan buku saya. Di sana saya selipkan pesan motivatif yang berbeda. Entah sudah berapa pesan yang telah saya berikan kepada mereka, karena saya sering spontan menuliskannya.
Berikut ini contoh-contoh pesan motivatif yang sempat saya ingat:
1.Semoga bisa menyambung retasan jejak kecil ini.
2.Tulisan ini hanya berbagi dengan cara sederhana. Anda pasti bisa menulis hal yang sama.
3.Mari membaca alam dan manusia, dan mari menulis tentang hikmah yang kita petik.
4.Semoga buku ini menyentuh pemicu inspirasi Anda.
5.Semoga buku ini memberikan inspirasi.
6.Menulis itu menyehatkan. Jadi, ayo menulis setiap hari.
7.Manulis itu mudah kalau dibiasakan setiap hari.
8.Kalau pikiran/hati galau, menulislah. Maka jadilah tulisan itu dan ringanlah pikiran/hati.
9.Mau jariyah ilmu? Maka, menulislah dengan niat baik.
10.Dengan menulis, kita berbagi dengan sesama.
11.Menulis itu laksana melukis manis di kanvas kehidupan.
12.Warnai hidup ini dengan menulis.
13.Menulis (qalam) adalah saudara kembar membaca (iqra). Maka, mari lakukan keduanya.
14.Menulis perlu ketekunan dan kesabaran. Semoga sukses.
15.Ingin dikenang? Menulis adalah jalan yang indah ke sana.Saya kira itulah yang dinamakan kekuatan inspirasi (the power of inspiration) yang ditebarkan penulis kepada pembaca dan sesama penulis. Dari berbagai tanggapan teman-teman yang telah menerima kiriman buku saya, saya merasakan kebahagiaan tak terhingga.
Begitulah, kita akan bahagia tatkala tulisan kita tidak hanya menambah wawasan orang lain, melainkan juga menggugahnya untuk melahirkan tulisannya sendiri.***
Surabaya, 1 Oktober 2014.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI