[caption id="attachment_340474" align="aligncenter" width="298" caption="Kover buku Theea Domo alias Titin Sulistiawati"][/caption]
Oleh MUCH. KHOIRI
Hanya dengan menyimak sepintas kover buku ini, dengan tampilan foto diri yang tersamar, nama dan judul buku, pembaca bisa menangkap kesan sensasi tersendiri. Judul yang melekat pada nama dan foto yang terpajang, berkisah tentang tema buku secara umum. Terlebih, ada tag-line judul yang woro-woro pada pembaca tentang substansi buku ini.
Untuk pembuatan kover, beserta warna dan pernik-perniknya, apresiasi diperuntukkan untuk kru Peniti Media, yang telah memotret suasana bathin kumpulan tulisan ini pada lembar kover pertama. Juga tagline-nya yang menarik: Titin Sulistiawati, Perjalanan Hati, cintaku bukan pada cinta yang bertabur manisnya warna tapi cintaku, cinta yang tak lekang oleh waktu untuk tetap mencinta.
Benar, buku yang ditulis oleh pemilik nama pena Theea Domo ini berkisah tentang cinta. Liku-liku cinta, romantika kasih. Ungkapan-ungkapan cinta yang mendominasi buku ini, kerinduan, bahkan pengkhianatan, curhat pada Tuhan, kepasrahan, serta cinta kepada siswa difabel. Semua ditorehkan ke dalam puisi maupun cerpen.
Ada semacam sensasi yang dipancarkan, sebuah sensasi ungkapan hati yang terkesan pengejawantahan dari pengalaman diri. Ya, pengalaman mencintai, merindukan, dan sebagainya. Seakan pembaca diajak untuk ikut merasakan sensasi suara hati yang di sampaikan. Perhatikan puisi “Bersamamu Selalu Bie” (hlm.3) ini:
Bermimpi tentangmu Bie...
Melewati batas ketidakmungkinan kita
Menapak alur yang tidak mesti
Menjelajahi ruang dan waktu cinta kita
Mengejar mimpi yang tak berskenario
Merangkai janji-janji yang tak tertulis
Tersenyum dan menatap indahnya cerita cinta kita
Tertawa dan mengukir kasih kita
Berpagut satu lalu lemah tak berdaya
Seperti terbang bersama awan, Bie...
Aku selalu bersamamu...
Perhatikan pula puisi “Senja Merindu” (hlm.29) berikut ini.
Aku rindu di pelukanmu,
Dan bersandar di dadamu
Menatapmu dengan penuh cinta
Lalu dengan lembut kau kecup lembut keningku.
Tak ingin terlelap,
Selalu mengisi hari denganmu,
Sampai larut tiba
Tak mengusik kebersamaan kita.
Adakah kau merasakan rindu yang sama?
Ya begitulah sebagian wajah buku ini. Sekali lagi, ungkapan hati begitu mencolok menghiasi. Pembaca diajak berbagi tentang sebuah buncah-buncah perasaan, gejolak yang meradang, kegelisahan, dan sebagainya. Bahkan, pembaca seakan diberi penawaran tentang kisah panjang curhatan hati.
Lebih dari itu, pembaca juga bisa menyimak bagaimana speaker dalam beberapa puisi menyampaikan surat protes pada Tuhan, juga curhat pada Tuhan karena hanya Tuhan yang “tidak ember”, dan bahkan memanjatkan tuntutan pada Tuhan. Tak terlewatkan, penulis juga menyelipkan ungkapan cintanya terkait dengan siswa difabel.
Demikian pun isi sepuluh cerpen yang juga dikemas bersama puluhan puisi dalam buku ini. Untuk dua atau tiga cerpen, bahkan, temanya mirip dengan puisi-puisi di depannya, agaknya sebagai pengembangan, agar ungkapan hati lebih mendalam dan meluas. Sementara itu, cintanya kepada emaknya, tercermin kuat di dalam “Tin, Tolong Mandikan Emak, Emak Kangen Kamu Mandikan” (hlm.127).
Begitulah, saya mencatat, tulisan-tulisan Titin—guru non-PNS SLB Ayahbunda dengan beberapa penghargaan ini--, pada hakikatnya, merupakan ekspresi jiwa yang, disengaja atau tidak, mampu melarutkan pembaca untuk ikut menghayatinya. Bahkan, dengan sudut pandang keakuan yang dipilihnya, Titin, seakan ingin berkomunikasi dan berbagi secara langsung tentang apa yang dipikirkan dan dirasakannya, tak peduli akan kungkungan struktur pengucapan yang menuntutnya.
Jika pembaca sedang ingin menyelami tentang cinta, buku ini cukup pantas untuk dibaca. Enak dihayati, dirasakan, dan diselami—juga dengan cinta. Kali ini, selamat membaca, dengan cinta.***
Surabaya, 10 Desember 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H