Oleh MUCH. KHOIRI
Pada bedah buku ‘Rahasia TOP Menulis’ (RTM) di TB Gramedia Matraman Jakarta, 28 Maret 2015 kemarin, secara tak sengaja saya menyebut bahwa “centang biru” tidak begitu penting bagi saya, sebab yang terpenting menulis yang baik untuk berbagi. Para hadirin, yang mayoritas kompasianer, termasuk manajer kompasiana Kang Pepih Nugraha, tampak tersenyum.
Senyum mereka penuh makna, tentu saja. Tampaknya ada yang membenarkan ungkapan saya, namun sebagian tampak ingin mengatakan bahwa centang biru sedang diperebutkan—setidaknya diharapkan. Apapun yang berkelebat dalam alam pikiran mereka, saya hanya tahu sedikit bahwa tanda itu, konon, diberikan secara bertahap oleh admin kompasiana kepada kompasianer yang tulisan-tulisannya memberikan manfaat bagi banyak orang.
Entah seberapa banyak manfaat itu, termasuk bagaimana mengukurnya, saya tidak tahu. Apakah penentuan juga didasarkan pada kualitas tulisan (baik gagasan, format, dan penggunaan bahasa), saya pun tak mengerti. Itu wewenang admin untuk memformulasikan kriteria-kriteria dan menerapkannya untuk ribuan kompasianer yang hampir setiap hari menayangkan tulisan mereka. Apa sih hak saya untuk mengintervensi admin dalam hal ini?
Dalam pemahaman saya, centang biru lebih diakui daripada centang hijau—apalagi yang tidak bercentang. Buktinya, ada teman yang bercentang hijau ingin segera mendapat centang biru. Meski demikian, pengakuan (recognition) yang diberikan admin, yang konon bertahap, bukanlah tujuan atau target saya menulis di kompasiana. Pengakuan bisa dari mana saja, termasuk dari kompasianer lain, pembaca di dunia maya serta pembaca buku-buku saya. Di kompasiana saya menulis yang baik untuk berbagi.
Ibaratnya begini. Saya lebih suka mengejar karir daripada mengejar gaji, sehingga saya akan melakukan yang terbaik agar kualitas pekerjaan saya menyebabkan karir saya meningkat. Jika karir saya meningkat hingga pada titik tertentu, otomatis gaji saya mengikutinya. Karir yang baik akan berbanding lurus dengan gaji. Berkarir dengan hati, maka gaji akan hanya sebuah konsekwensi.
Dalam menulis (termasuk di kompasiana), juga demikian adanya. Saya mengejar “karir menulis” saya dengan menulis yang baik, syukur-syukur bisa menjadi teladan bagi mahasiswa saya di kampus. Saya menulis dengan hati dan passion. Karena itu, ketika beberapa teman kompasianer bertanya mengapa saya masih bercentang hijau (meski telah menerbitkan dua buku dari sebagian karya di kompasiana), saya hanya tersenyum.
Mengapa saya tersenyum dalam hal ini? Sekali lagi, saya menulis bukan untuk memperebutkan centang biru, yang nota bene recognition dari admin. Terlebih, saya tidak mengenal admin—siapa beliau-beliau, saya belum pernah berjumpa. Andaikata saya berniat berebut, tentu saja saya akan mendesak admin untuk menayangkan seluruh kriteria yang jelas untuk dapatnya merebut centang biru. Dengan kriteria jelas, andaikata ada, saya pastilah akan berjuang mati-matian untuk mendapatkannya. Namun, sekali lagi, berebut centang biru bukanlah target saya.
Yang lebih penting bagi saya adalah menulis dan memoles kualitas tulisan, setiap hari. Dengan begitu, kompasiana menjadi salah satu media penting bagi saya (selain blog pribadi saya) untuk berbagi pengetahuan dan gagasan dengan pembaca. Tulisan-tulisan yang saya tayangkan harus cukup layak untuk diterbitkan di media cetak atau dikumpulkan ke dalam bentuk buku, dan komentar sesama kompasianer bermanfaat untuk menyempurnakannya.
Target jenjang karir menulis yang diacu adalah menerbitkan buku—termasuk dari tulisan-tulisan yang saya unggah di kompasiana dan blog pribadi. Buku akan lebih awet dan handy sehingga tetap mengingatkan pembaca untuk melihatnya sewaktu-waktu. Buku saya ‘Rahasia TOP Menulis’ (Elex Media Komputindo, 2014) adalah salah satu buku contohnya.
Konsekwensinya, saya bersyukur, buku RTM itu sudah terpajang di rak-rak TB Gramedia, Gunung Agung, Togamas, dan Uranus, serta Amazon.com. Ia juga telah diresensi oleh 9 (sembilan) penulis—dan dibedah di 5 (lima) tempat penting termasuk Gramedia Matraman Jakarta. Ibarat berkarir, inilah gaji sebagai konsekwensinya. Sungguh menggembirakan.
Bukan itu saja, saya mendapat ucapan selamat, apreasiasi dan motivasi dari berbagai penjuru negeri setelah mereka membaca buku RTM—atau buku-buku saya yang lain. Semua ini, termasuk resensi dan bedah buku, adalah pengakuan dalam bentuk lain. Maka, dalam diri saya pesankan, jangan pernah ingin berhasrat untuk centang biru, karena nikmatmu dan rezekimu telah kauterima dari mana-mana tanpa disangka-sangka.**