[caption id="attachment_328458" align="aligncenter" width="448" caption="Inilah suasan nangkring (bedah buku) para kompasianer (10/10) yang berlangsung gayeng dan menyehatkan."][/caption]
oleh MUCH. KHOIRI
Di luar sana matahari telah hampir luruh, sisa-sisa udara yang memanggang masih terasa. Sekarang saya sedang di dalam ruang diskusi, nangkring, cangkrukan literasi atau entah apa namanya, di gedung milik Kompas di Palmerah Barat ini. Agenda utamanya bedah buku dan diskusi buku Pancasila Rumah Kita Bersama (ed. Thamrin Sonata, 2014)—plus buku saya Jejak Budaya Meretas Peradaban (2014).
Dasar para penulis, belum dimulai pun, diskusi sudah gayeng. Budaya baca masyarakat kita, yang begitu rendah, tak luput dari perbincangan. Tergerusnya local wisdom oleh kebijakan politik yang serampangan dan instan, juga masuk obrolan. Bagaimana mengembangkan Kompasiana masuk kampus, pun menghangat. Bahkan, Jokowi pun masuk dalam daftar bahan sharing yang mengasyikkan.
Intinya tentu bicara tentang buku Pancasila Rumah Kita Bersama. Moderatornya, Mas Raja, terpaksa harus bekerja keras untuk mengendalikan jalannya diskusi. Lha memang semua orang di ruangan itu para penulis yang cerdas-cerdas, yang kemampuan wicaranya juga mengagumkan. Jadi, Pancasila seakan ditaruh di atas meja, lalu dilihat bareng-bareng, dan dikomentari secara bergantian. Tak ayal, ada warna pelangi gagasan yang berseliweran di dalam ruangan.
Thamrin Sonata, Isson Khairul, Thamrin Dahlan, Maria Margaretha, Ben B. Nur, Mercy, Agung, Bayu Nurwicaksana, dan masih beberapa lagi, termasuk saya, menyemarakkan suasa, dan mencoba memberi makna pada Pancasila dengan cara masing-masing—kerap diistilahkan ‘secara subjektif’. Polaritas gagasan berkisar mulai pesimisme penerapan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dewasa ini, hingga urgennya mensosialisasikan kembali nilai-nilai Pancasila kepada masyarakat.
Yang penting dicatat, diskusi diharapkan bisa ditindaklanjuti dengan menyuarakan hasil diskusi ke pihak-pihak berkompeten, terutama anggota MPR. Impian yang indah dan besar, memang, namun jika benar itu akan dilakukan, tak pelak peserta diskusi harus merumuskan apa yang ingin direkomendasikan. Bagaimana pun, hal itu akan menjadi sebuah gerakan (moral), sesuatu yang dikaitkan dengan sosialisasi (kembali) sebuah produk politik yang disebut Pancasila.
Di ujung diskusi, secara singkat, saya diberi kesempatan membeber tentang buku saya Jejak Budaya Meretas Peradaban. Saya hanya menggambarkan bagaimana saya menulis buku ini, tema budaya apa saja yang mengisi buku ini, dan sebagainya—termasuk bagaimana kiat dan strategi saya memasarkannya. Ya, kebetulan, buku Jejak Budaya saya cetak dengan dana sendiri—sehingga saya harus berdiri sebagai writerpreneur. (Tentu, saya sekaligus minta doa agar buku saya berikutnya tentang rahasia menulis bisa terbit di akhir tahun 2014 ini).
Sungguh, ini merupakan persuasan penulis yang menyehatkan, lahir-bathin, akal dan jiwa. Dari sharing selama lebih dua jam itu, pertukarn gagasan telah berlangsung, memaksa setiap orang untuk menggelitik relung-relung akal dan jiwa masing-masing, mendialogkan dengan dirinya sendiri, dan meng-exercise diri apa yang segera dihasilkannya menjadi sebuah tulisan. Ada dinamisasi di dalam diri orang yang bersua dengan penulis. Kadang-kadang malah terasa sebagai sebuah keajaiban.
Kata orang bijak, otak yang senantiasa digunakan akan menyehatkan si empunya otak itu—karena neuron-neuron (sel-sel) otak aktif bergerak menjalankan fungsinya. Jika terus digunakan, orang akan terhindar dari kematian sel-sel, dan karena itu mampu mengunakan otaknya dengan baik. Inilah rahasia penting dari kemanfaatan penggunaan otak dinamis. Dan hal ini dialami di antaranya oleh para penulis.
Hal demikian tampak jelas dalam diskusi buku kali ini. Meski sudah ada nara sumber yang didapuk di dalam diskusi ini, semua orang berkesempataan untuk mengutarakan gagasannya—mengingat jumlah peserta tak lebih 30 orang. Semua orang menggunakan hak bicaranya, semua orang menjalani (kata Mas Isson) “sharing session”—bukan perkuliahan atau pengajaran yang mengimplisitkan dikotomi status antara dosen dan mahasiswa.
Jumlah peserta diskusi bukan tolok ukur sukses atau gagalnya sebuah diskusi. Yang penting adalah kualitas diskusi. Kali ini juga demikian. Diskusi di gedung kompasiana ini, memang, diikuti oleh tak lebih 30 orang. Tapi, jangan lupa, seluruh pesertanya adalah penulis. Kata orang bijak, lebih baik mengundang seorang penulis untuk acara kita dibandingkankan mengundang orang non-penulis dengan jumlah 10 kalinya.
Persuaan dengan sesama penulis itu menyehatkan, bukan hanya menyehatkan fisik, melainkan juga mental, pikrian, dan jiwa. Ia menggerakkan setiap inci tubuh kita untuk mengisinya dengan energi positif, sehingga secara fisiologis orang akan tetap sehat. Dengan demikian, agar tidak cepat pikun, bersualah dengan penulis, dan menulislah.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H