[caption id="attachment_341093" align="alignnone" width="640" caption="Suasana penyerahan penghargaan kepada pengajar literasi"][/caption]
Oleh MUCH. KHOIRI
Penghargaan yang diterima pada momentum yang tepat memoleskan makna keistimewaan tersendiri. Menerima penghargaan sebagai pengajar literasi pada saat kampus saya, Unesa (Universitas Negeri Surabaya), memantapkan diri sebagai pusat literasi—sungguh terasa istimewa.
Demikianlah, Sirikit Syah, M. Anwar Djaelani, Eko Prasetyo, Hujuala Rika Ayu, dan saya sendiri menerima anugerah berupa penghargaan sebagai pengajar literasi. Penghargaan disampaikan oleh direktur PPPG Unesa Prof. Dr. Luthfiyah Nurlaela, M.Pd—dalam acara Talk Show literasi bertema “Gerakan Literasi Pendidikan menuju Indonesia Maju” yang dihelat di gedung Wiyata Mandala Unesa, 13 Desember 2014--yang dihadiri rektor Prof. Dr. Warsono MS, PR1 Dr. Yuni Sri Rahayu M.Si, dan PR4 Prof. Dr. Djodjok Soepardjo M.Litt.
Dalam sertifikat penghargaan tertulis kata “dedikasinya”—ya, piagam penghargaan diserahkan kepada kami atas “dedikasi” kami sebagai pengajar kelas literasi di PPPG Unesa tahun 2014. Dedikasi itu pengabdian, dan itu kami curahkan kepada kelas-kelas literasi kami, yakni para sarjana SM3T yang dididik untuk menjadi guru. Sebuah dedikasi kecil namun terasa bermakna, karena “murid” kami adalah calon guru yang akan menularkan ilmu mereka kepada murid mereka kelak.
Sebenarnya, kelas literasi itu merupakan gagasan konkret yang diwujudkan oleh direktur PPPG Unesa. Setelah dicanangkannya PPPG sebagai penggerak literasi Unesa pada Juni 2014, kelas literasi pun dibuka. Gagasannya simpel, guru harus terampil membaca, juga terampil menulis. Untuk mengajar membaca dan menulis, calon guru harus terampil membaca dan menulis. Diharapkan, keteladanan mereka akan mengimbas pada murid mereka.
Maka, kelas pun dibagi menjadi dua, yakni kelas fiksi dan kelas nonfiksi. Kami Sirikit Syah, M. Anwar Djaelani, Eko Prasetyo, Hujuala Rika Ayu, dan saya sendiri mengajar kelas cerpen dan kelas artikel/opini secara bergiliran, per dua pekan sekali. Waktu dua pekan dimanfaatkan peserta untuk mematangkan tugas-tugas yang diberikan, di samping kesibukan mereka sendiri dalam perkuliahan.
Sejak awal kami sudah menargetkan kepada kelas-kelas kami untuk menulis buku. Artinya, mereka sudah tahu bahwa karya-karya mereka yang dihasilkan selama mengikuti kelas literasi akan diterbitkan ke dalam buku. Tawaran inilah yang membuat seluruh peserta bersemangat untuk berkarya—tak peduli apakah karya (awal) mereka mendapat pengakuan atau tidak.
Namun, begitulah, sebagaimana dalam pergulatan hidup, berlakulah frase Herbert Spencer the survival of the fittest – sebuah frase yang bersumber dari teori evolusi, yang menggambarkan mekanisme ‘seleksi alami’ (natural selection). Siapa yang hebat dalam beradaptasi dengan lingkungan baru, tantangan baru, dialah yang bertahan. Demikianlah, puluhan peserta kelas literasi, dengan berbagai alasan, akhirnya terseleksi alam hanya menjadi belasan peserta saja.
Namun, kelas opini tetaplah dijalankan, dengan koordinator pengajar M. Anwar Djaelani, dan kelas cerpen (dan puisi) berproses dengan koordinator Sirikit Syah. Akhirnya, karya-karya mereka kami sunting dan kami terbitkan menjadi sebuah buku—yang berjudul Merajut Karya di Kelas Literasi (Kumpulan Opini, Cerpen, dan Puisi) (PPPG Unesa—SarbiKita, 2014).
[caption id="attachment_341094" align="alignnone" width="448" caption="Inilah buku buah pena peserta kelas literasi yang kami bimbing dan dampingi."]
Yang menggembiarakan, tentu, bukan karena kami mengajar literasi. Saya sendiri sudah sejak 1991 menjadi dosen menulis (akademik dan kreatif), jadi mengajar matakuliah itu sudah menjadi menu harian. Lalu, apa? Buku yang diterbitkan. Itulah yang membuahkan kegembiraan. Buku karya mahasiswa yang berada dalam arahan, bimbingan, dan pendampingan kami akhirnya terwujud. Ini sesuatu banget! (*Ini menambah daftar buku yang diterbitkan oleh mahasiswa kelas menulis kreatif saya.)
Jadi, selain penghargaan dari para pejabat Unesa, saya merasakan keistimewaan dengan hadirnya buku tulisan peserta kelas literasi. Ucapan selamat boleh hilang, sertifikat juga boleh ketlingsut (terselit entah di mana), honor mengajar boleh habis tak tersisa, namun buku itu akan mengabadi. Tulisan-tulisan di dalamnya seakan mengabarkan bahwa kami pernah bersama mereka.
Surabaya, 13 Desember 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H