[caption id="attachment_335773" align="alignnone" width="576" caption="Suasana Taman Laut 17 Pulau Riung yang menakjubkan. Sumber ilustrasi di bawah artikel."][/caption]
Oleh MUCH. KHOIRI
Satu-persatu impian saya untuk mengunjungi dan menyinggahi sudut-sudut negeri ini menjadi kenyataan. Dalam hitungan hari, saya akan menikmati bumi kabupaten Ngada, sebuah kabupaten di pulau Flores, NTT. Tugaslah yang akan membawa saya ke sana—tepatnya, kali ini, tugas monitoring dan evaluasi (monev) pelaksanaan Kurikulum 2013.
Biasanya, selama ini, di sela-sela tugas kantor, saya selalu menyempatkan diri “membaca” (mengamati, menghayati) pernik-pernik budaya masyarakat setempat. Sebagai dosen Kajian Budaya, hal-hal semacam ini selalu saja memikat hati. Maka, setiba di wilayah Ngada nanti, pembacaan saya atas kabupaten ini pastilah saya hayati sepenuh hati.
Flores, ya berarti saya harus terbang dari Surabaya, melanglang angkasa dan akhirnya menuju Ende, di bandara H. Hasan Aroeboesman. Entah dengan jemputan atau mobil sewa, saya akan menyusuri jalan darat (ke arah barat) menuju kota kabupaten Ngada. Jaraknya sekitar 120 kilometer, mudah-mudahan 2,5 sampai 3 jam saya membelah jalan bumi asing ini.
Perjalanan sekitar 3 jam, mungkin, menjemukan. Namun, itu akan terasa indah jika digunakan untuk merekam keindahan alam yang ada. Tak lupa saya akan membawa kamera, guna membantu rekaman otak saya. Suhu udaranya pastilah juga membuat saya penasaran, apakah seperti udara yang menyengat di Surabaya dan sekitarnya. Sapuan anginnya, sudah pasti.
Tentu, akan sangat menarik jika bersua langsung dengan keberagaman masyarakat Ngada. Saya dengar, ada tiga etnik besar di sana: Nagakeo, Bajawa, dan Riung. Konon, masing-masing etnik ini memiliki kebudayaan masing-masing, yang masih tetap dipertahankan hingga kini. Saya akan amati keunikan rumah adat, bahasa, pakaian adat, tarian, dan sebagainya. Perlu kejelian tersendiri, agaknya.
Selain itu, saya berharap, bahasa Indonesia bisa saya gunakan untuk berkomunikasi saat bertugas nanti, karena bahasa utama di sana adalah bahasa Ngada. Saya harus mengadakan monev di dua SMP negeri dan satu SMP swasta—harus ber-FGD dengan kepala sekolah, guru mapel, guru BK/konselor, komite sekolah/orangtua, dan siswa. Jika bahasa Indonesia tidak berlaku, tugas saya akan berantakan belaka. Terkecuali, saya belajar bahasa Ngada...atau tinggal beberapa waktu di sana, sekalian menjadi etnografer. “Emangnya dana-nya mbahmu?” (bathin pembaca).
Tentu, kawan, saya belum pernah hidup di Ngada. Meski demikian pun, hasrat saya untuk memasuki rumah adat begitu menggelegak, mengingat ia berperan penting dalam pola kemasyarakatan. Konon, seorang Ngada bagian dari suatu rumah adat, berarti berasal dari satu marga. Ukiran menjadi lambang marga. Keunikan ini membuat daerah Ngada dimasukkan Unesco ke dalam daftar tentatif World Heritage.
Penasaran saya akan bertambah setelah mendengar bahwa terdapat dua desa yang paling banyak dikunjungi wisatawan asing, yakni Bena dan Wogo. Di desa-desa ini, selain ada rumah adat di sana, ada peninggalan megalithik, air terjun ogi. Kekayaan alam tradisional ini, agaknya, menyimpan kekayaan kearifan lokal yang menarik digali.
Bukan itu saja. Di kabupaten Ngada juga terdapat Taman Laut Nasional 17 Pulau Riung. Di situ terdapat antara lain mawar laut, aneka jenis terumbu karang, Pulau Pasir Putih, kelelawar bakau di pulau Ontoloe, Mbou (kadal raksasa, binatang purbakala, yang masih hidup alamiah di habitatnya hingga kini). Selain itu adalah permandian air panas alam Mengeruda, Danau Wawomudha yang air kawahnya berwarna merah, Air terjun Ogi, Wae Roa, eko wisata Lekolodo dan Pantai pasir putih Waewaru. Obyek wisata budaya yang sangat terkenal ialah Kampung Tradisional Bena, Bela, Gurusina serta Kampung Tua dan Batu Megalith di Wogo.
Mengingat waktu yang terbatas, mungkin saya tidak akan menjelajahi 9 kecamatan di kabupaten Ngada ini—Aimere, Bajawa, Golewa, Riung Barat, Riung, Soa, Wolomeze, Bajawa Utara, Jerebuu, melainkan hanya kecamatan yang saya lintasi sambil menuju SMP-SMP yang saya monev. Namun, saya yakin, perjalanan akan menarik, karena dalam hal berbahasa, antara kecamatan satu dan lainya bahasanya berbeda-beda. Rumit tapi menantang untuk ditelisik dan diamati.
Sebagai tambahan, saya tak perlu khawatir tentang kerinduan saya pada ikan, karena, selain lobster, rumput laut dan mutiara, kabupaten Ngada menyimpan kekayaan laut yang berlimpah, yakni ikan. Saya yakin, ikan di daerah ini masih sama alamiahnya dengan yang ada di laut Gorontalo utara—di mana rumah makan dibangun di tepi laut dan Anda bisa melihat dasar laut sedalam beberapa meter. Ikan-ikan menari di dalamnya tampak jelas dari beranda belakang rumah makan itu.
Alangkah indahnya bila semua itu bisa saya nikmati di sela-sela tugas utama saya di sana nanti. Saya akan membuat catatan-catatan dan rekaman yang komplit tentang daerah dan masyarakat ini. Saya sadar, jika pencatatan atau perekaman tidak saya lakukan, pastilah saya akan lupa atau melupakannya. Saya sadar pula, jika semua itu saya tulis, tulisan saya akan mengabadi.
Dalam hal ini, sembari menyiapkan segala sesuatu terkait dengan tugas monev, dalam diam saya mengucapkan terima kasih kepada Direktorat Pembinaan SMP Kemendikbud, Unesa, dan para pejabat kabupaten Ngada. Atas bantuan mereka, kini dengan hati ceria saya bisa berteriak, “Ngada, Saya Akan Datang.” []
Gresik, 15/11/2014
Sumber ilustrasi: http://content.rajakamar.com/ini-dia-8-keajaiban-ntt/. Terima kasih.