[caption id="attachment_359286" align="aligncenter" width="400" caption="Sumber ilustrasi: http://www.tulisan.org/2015/01/inilah-cara-meningkatkan-minat-untuk.html"][/caption]
Oleh MUCH. KHOIRI
PERNAH saya menulis artikel dalam buku saya yang mengajak pembaca untuk menulis yang paling diketahui. Dengan mengetahui sebaik-baiknya tentang apa yang ditulis, orang akan mudah dan lancar dalam menuangkan gagasan. Kali ini saya akan mengupas apa yang masih ditanyakan peserta dalam beberapa kali pelatihan menulis. Yakni, menulis yang selaras minat dan pekerjaan.
Teman budiman, minat itu identik dengan hobi—sesuatu yang paling diketahui dari diri sendiri. Minat atau hobi selalu melekat pada dan dikembangkan oleh seseorang. Karena itu, ia merupakan sumber inspirasi untuk kegiatan-kegiatan produktif dan kreatif. Misalnya, banyak orang sukses bisnis kuliner karena mereka punya minat atau hobi memasak atau bikin kue.
Sementara, pekerjaan adalah kegiatan yang sangat akrab dengan pelakunya. Orang melakukannya setiap hari, bukan hanya saat di tempat kerja, kadang malah dibawa pulang (sebagai pekerjaan rumah). Karena itu, sama dengan posisi minat atau hobi, pekerjaan orang juga sangat potensial untuk dikembangkan menjadi tulisan.
Menulis tentang minat dan pekerjaan, tentu, bisa dilakukan. Bahannya sudah tersedia, ya melekat di dalam minat dan pekerjaan yang orang miliki. Bahkan, bahan itu begitu banyak dan melimpah, tinggal bagaimana menyikapi dan mengolahnya menjadi tulisan. Ibaratnya, jika mau memasak sayur sup, seluruh bahan sup sudah tersedia, tinggal memasaknya.
Pengarang Mesir Naguib Mahfouz pernah menulis: “Events at home, at work, in the street – these are the bases for a story.” Katanya, peristiwa-peristiwa yang terjadi di rumah, di tempat kerja, di jalan—semuanya merupakan dasar untuk sebuah cerita. Alangkah inspiratif ungkapan penulis peraih Nobel Sastra itu. Semua orang bisa memetik hikmah dan inspirasinya, bukan?
Jika bahan sudah melimpah, berarti tinggal teknik menulisnya. Tapi, saya sarankan, jangan kebanyakan memikirkan untuk belajar teknik menulis. Teknik akan berkembang dan menyempurna seiring dengan banyaknya latihan menulis. Rahasia top menulis adalah menulis, menulis, dan terus menulis. Menulis menuntut banyak latihan menulis—sedangkan teori teknik sekadar pelengkap saja.
Buktinya banyak. Bagi para guru, ada banyak guru yang selain menggeluti tugas utamanya sebagai guru, mereka juga meniti karir tambahan (avocation) sebagai penulis. Nama-nama seperti Abah Yoyok, Ardi Susanti, Hernawati Kusumaningrum, Triana Dewi, Icha Hariani Susanti, Darman D. Hoeri, Baharudin Iskandar, Fahrurraji Asmuni, Fransisca Ambar K. hanyalah sedikit contoh guru yang juga menekuni bidang menulis.
Dosen dan jurnalis tak perlu saya sebutkan di sini. Mengapa? Pada prinsipnya mereka memang akrab dengan dunia akademik dan tulis-menulis. Kalau ada dosen dan jurnalis menulis buku, itu mah memang wajar dan seharusnya. Malah aneh jika ditemukan bahwa dosen dan jurnalis tidak menulis—itu sama saja telah mengingkari tugasnya sebagai intelektual.
Contoh nyata lain, ada rohaniawan penulis, seperti Y.B. Mangunwijaya, Buya Hamka, Moedji Sutrisno, Gus Dur, atau Yusuf Mansur. Karena kekayaan jiwa, kedalaman rohani, dan kemapanan intelektualitas mereka, masing-masing telah mewariskan puluhan buku di bidangnya. Bahkan, Buya Hamka menulis lebih dai seratus buku semasa hidupnya.
Ada politisi penulis misalnya Soekarno, Mohammad Yamin, Abdul Moeis, Mas Mansoer, Chaidir Ritonga, atau Fadli Zon. Berapa buku yang mereka tulis, tak diragukan lagi. Juga ada seniman penulis, seperti Dewi Lestari/Deedee, Rakhmad Giryadi, Effendi Saleh, Agustav Triono, Arsyad Indradi, dan Diana Roosetindaro. Mereka juga meninggalkan warisan buku.
Lebih lanjut, selain ada tokoh olahraga seperti Indra Sjafrie, ada pula pengusaha penulis semisal Rhenald Kasali, Dahlan Iskan, Dukut Imam Widodo, Satria Dharma, dan Bagus Putu Parto. Ada juga karyawan swasta penulis seperti Andrea Hirata, Bambang Hirawan, Eddie M. Sumanto, Marie Roeslie, dan Sudarmono. Masih ada yang lain, tentunya.
Bahkan, kita bisa mengenal sejumlah BMI (Buruh Migran Indonesia) penulis—baik BMI Hong Kong, Taiwan, maupun Singapura—seperti Mega Vristian, Fera Nuraini, Rie Rie, Yany Wijaya Kusuma, Ida Permatasari, Tarini Sorrita, Denok K. Rokhmatika, Maria Bo Niok. Kita mengenal petani penulis seperti Salman Yoga S. dan Agus R. Subagyo. Bahkan kita pernah menyaksikan kisah tukang becak sebagai penulis, yakni Harry van Yogya.
O ya, jika Anda ingin tahu tentang hobi yang jadi tulisan, maka kunjungilah toko buku cukup besar. Anda akan temukan rak-rak yang memajang buku tentang masak-memasak, budidaya jamur atau ikan arwana, budidaya bunga, teknik merawat burung, teknik memanfaatkan kain perca, dan sebagainya. Semua berbicara tentang minat/hobi. Namun, pastilah masih banyak peluang yang bisa ditulis, karena hobi manusia memang begitu luas dan beragam.
Nah, kini saatnya teman-teman budiman menunjukkan sebuah aksi nyata: Membangun niat dan komitmen, menemukan potensi yang tersimpan (minat, hobi, dan pekerjaan), menyiapkan diri dan waktu, serta mulai menulis dan terus menulis—hingga tulisan yang diinginkan tuntas.*
Gresik, 5 April 2015.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H