[caption id="attachment_355645" align="aligncenter" width="409" caption="Sumber ilustrasi: http://www.txcscopereview.com/2012/cscope-not-aligned-with-teks/"][/caption]
Oleh MUCH. KHOIRI
Budaya literasi sudah saatnya dibangkitkan (kembali)—baik literasi visual maupun literasi teks. Meski demikian, untuk saat ini, budaya literasi teks agaknya perlu lebih diutamakan, mengingat bahwa literasi visual, termasuk melimpahnya exposure budaya yang menjejali indera audio-visual kita, telah membuat literasi teks kita sempoyongan dan tak berdaya.
Setiap menit kita dan anak-anak kita disuguhi program-program media televisi dan medsos (media sosial) yang (tanpa disadari) telah menumpulkan—jika sudah ada—ketajaman budaya literasi teks kita. Jika kita dan anak-anak kita sudah suka membaca dan/atau menulis, kehadiran media TV dan medsos kerap menggerogoti kebiasaan mulia itu. Karena itu, melebihutamakan pembudayaan literasi teks perlu direnungkan untuk penerapannya. Setidaknya, sebuah “keseimbangan” eksistensi dan perkembangan antara keduanya haruslah tercapai, sebagai target awal.
Sejarah telah mengajarkan tentang hal ini. Sebagai contoh, Gadjah Mada, dalam dua periode menjabat Mahapatih kerajaan Majapahit, dapat dipastikan telah menjalankan gerakan literasinya—namun tentu lebih menitikberatkan literasi tindakan dan visual. Ada kitab Negarakertagama dan Serat Pararaton, memang, namun itu hanya karya-karya para pujangga yang sangat kecil jumlahnya dibandingkan jumlah penduduk Majapahit kala itu yang luas wilayahnya melebihi Indonesia masa kini.
Bayangkan, andaikata Gajah Mada sendiri (lewat keteladanan) menulis memoar, pasti lebih banyak fakta dan pengalaman yang dia abadikan—mulai masa kecilnya di desa Mada, meniti karir sebagai prajurit, menjadi komandan bhayangkara (pasukan elit kerajaan), hingga menjabat mahapatih (perdana menteri) untuk Tribhuana Tunggadewi (Kencana Wungu) dan Hayam Wuruk, dengan Sumpah Palapa-nya.
Untuk semua itu, Gajah Mada pastilah orang sakti. Mustahil di masa itu orang yang tak sakti bisa menjabat mahapatih, terlebih begitu “arogan” (lewat Sumpah Palapa) akan menaklukkan berbagai wilayah lain ke pangkuan Majapahit. Andaikata ada memoarnya, kita mungkin bisa menelisik bagaimana dia melatih kanuragan, menjaga kesaktian, melakukan ritual semedi, menjamas keris pusaka, dan sebagainya.
Lebih jauh, andaikata Gajah Mada menulis memoar, hal-hal yang sifatnya personal, sosial, dan politis bisa dikaji dan dipetik inspirasinya. Itu jauh lebih lengkap daripada penggal-penggal kisah hidupnya yang didistorsi ke dalam kalimat-kalimat buku sejarah, termasuk di dalam Nagarakretagama atau Serat Pararaton.Lewat memoarnya, andaikata ada, dia menyediakan bukti-bukti suplementer untuk fakta sejarah yang telah didistorsi itu.
Ya, andaikata Gajah Mada menulis memoar, kita bisa mengkaji impian-impiannya, strategi meraih impian, dan sikapnya saat impian diraih. Namun, begitulah, Gajah Mada juga manusia—sama dengan Plato, Aristoteles, dan para filsuf Athena (Yunani). Bedanya, filsuf-filsuf menuliskan apa yang dialami dan direnungkan, sedangkan Gajah Mada tidak. Karena tak ada buku memoar, kita tak bisa mendalami dan mengambil inspirasi dari pemikiran Gajah Mada. Hebatnya Gajah Mada tak bisa kita warisi lewat pengkajian literasi teks.**
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI