Oleh MUCH. KHOIRI
Universitas Negeri Surabaya (Unesa) baru saja menggelar Asia Creative Writing Conference (ACWC) pada Jumat-Sabtu 21-22 Maret 2014. Di samping dibuka sejumlah sesi paralel, ada tiga sesi plenary, yang salah satunya menampilkan Prof.Emeritus Budi Darma (Indonesia) dan Muhammad Saiful Islam (Saudi Arabia). Pada sesi ini saya bertugas sebagai moderator.
Di sini saya tidak membeberkan siapa Budi Darma dan capaian-capaian akademik dan kreatif yang telah diukirnya. Tinggal klik Google, semua informasi tersedia di sana. Saya juga tidak mengangkat Brother Saiful—begitu saya memanggilnya; akan ada forum tersendiri untuk membahasnya.
Ada satu hal yang sangat menarik, yakni 5 novel bimbingan Budi Darma. Lima novel ini sekarang saya pegang dan akan saya baca di tengah kesibukan lain. “Untuk sementara, novel-novel ini boleh Pak Khoiri baca,” begitulah dhawuh Pak Budi seusai presentasi dan diskusi. Seperti biasa, kata-kata beliau itu mengimplisitkan (begitu halusnya beliau kalau menyuruh orang) bahwa saya sebaiknya membacanya.
Malam menjelang presentasi beliau berkirim email ke saya, menerangkan tentang lima novel itu. Katanya, beliau pernah diundang oleh ASAS 50 Singapura untuk tinggal tiga bulan di sana, disponsori oleh Darul Andalus Singapura dan NAC (National Arts Council of the Republic of Singapore). Mereka meminta beliau untuk mengadakan workshop penulisan novel bagi 15 peserta (disebutnya International Residence Program) seminggu dua-tiga kali selama tiga bulan. Setelah tiga bulan berlalu, beliau pulang ke Surabaya, dan selama tiga bulan berikutnya beliau ke Singapura per bulan, selama 2-3 hari. Secara kasar, waktu tutoring berlangsung 6 bulan.
Hasil bimbingan atau tutoring beliau adalah lima novel dalam bahasa Melayu Singapura, yang layak diterbitkan oleh ASAS 50 dengan sponsor dua badan di atas. Novel tersebut adalah:
1. Rintihan Kalbu ( The Groaning Heart) oleh Syahirah Nabilah Salleh
2. Seking (The Island of Seking) oleh Mohd. Pitchay Gani Mohd. Abdul Aziz
3. Ular Menjalar (The Crawling Snake) oleh Othman Salam
4. Keluhan Sepi (Silent Complaints) oleh Shaheda Salim
5. Obsesi & Omini (Obsession & Omini) oleh Shahirah Samsudin.
Segera saya mencicipi (dengan membaca cepat bagian-bagian penting) novel-novel itu. Syukurlah saya masih bisa mengikuti bahasa Melayu Singapura; jadi saya masih bisa menangkap cepat kesan terhadapnya. Terlebih, di kover belakang novel ada endorsement atau catatan sinopsis. Menjelang makan siang, saya sudah menangkap kesan bahwa novel Seking dan Rintihan Kalbu termasuk novel yang kuat. Terutama Seking, ia menyuarakan kesejarahan bangsa Melayu Singapura.
Tentu saja saya akan menuntaskan membaca novel-novel tersebut. Namun, bukan itu yang terpenting. Yang penting adalah, pertama, gagasan badan literasi tersebut untuk mengadakan workshop penulisan novel. Ini benar-benar membuat iri. Mereka mengumpulkan penulis (mapan dan baru) untuk menggelar kegiatan penulisan kreatif, dengan hasil yang terukur, berupa karya yang diterbitkan. Kapankah kita melakukannya?
Ini sebuah upaya kultural yang disengaja untuk menggalakkan penciptaan dan penerbitan karya-karya sastra. Dari novel-novel yang ada, saya tangkap perlunya kesadaran untuk menggali dan mengungkapkan potensi kultural dan sejarah bangsa Melayu Singapura (yang saat ini menjadi minoritas di negeri sendiri) ke dalam sastra. Ada politik representasi yang diperjuangkan, dan hal ini menjadi tonggak sejarah yang penting.
Kedua, hadirnya Budi Darma dalam pembimbingan selama (kasarnya) 6 bulan itu. Ini semakin membuktikan siapa Budi Darma dalam dunia sastra ASEAN. Jika berbicara di podium seminar di negeri-negri ASEAN, sering sekali. Menjadi dosen tamu di universitas-universitas mereka, juga pernah kita dengar. Jadi, menjadi tutor penulisan novel, mungkin baru—dan kian mengokohkan kedudukannya di mata sastrawan se-kawasan.
Ketiga, ada ironi. Orang Singapura saja mengimpor Budi Darma untuk mentutor para penulis/novelis mereka—dan sangat boleh jadi program ini berkelanjutan, yang berarti mereka akan menghasilkan novel-novel berikutnya. Ironisnya, mengapa orang Indonesia justru tidak memanfaatkan beliau untuk melakukan hal yang sama? Beliau, seperti penulis-penulis lain di negeri ini, merupakan aset yang seharusnya bisa dioptimalkan perannya untuk mendorong penciptaan dan penerbitan karya sastra yang bermutu.
Semua itu layak dijadikan bahan refleksi. Saya bermimpi, akan ada upaya-upaya yang terencana dan konstruktif untuk mengandangkan (dengan tutoring atau pembimbingan) para penulis Indonesia, di suatu program yang terkoordinasi baik, untuk menghasilkan karya-karya yang terbaik. Bisa dibayangkan, berapa buku yang akan dihasilkan lewat program semacam ini.
Selain itu, perlu disertakan di dalam program itu, sebuah program penerjemahan karya-karya sastra Indonesia ke dalam bahasa asing—baik karya-karya yang sudah ada, maupun karya yang dikerjakan di dalam program tutoring tersebut. Upaya ini dimaksudkan agar karya sastra kita semakin didengarkan dalam kancah internasional.
Lebih dari semua itu, prestasi penulisan karya sastra sebuah bangsa tidak akan pernah terwujud jika tidak dimulai atau diperkuat dengan upaya-upaya nyata dan terukur. Sebuah badan literasi Singapura telah memulainya, dan kita mungkin dibangunkan kembali. Nah, kapan kita akan menjalankannya (kembali)?***
Catatan: Artikel ini dimuat di harian Duta Masyarakat, Minggu 30/3/2014.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H