[caption id="attachment_361627" align="aligncenter" width="360" caption="Sumber ilustrasi: http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/hikmah/10/02/12/103861-keteladanan-pemimpin"][/caption]
Oleh MUCH. KHOIRI
Bahwa budaya literasi kita rendah, tidaklah dapat dimungkiri. Bahwa keberadaan buku pengayaan untuk siswa-siswa kita juga masih jauh dari impian. Bahkan Taufiq Ismail pernah menyebutnya tragedi nol buku. Secara spesifik, budaya membaca dan menulis kita amat memprihatinkan, padahal keduanya penyangga literasi, dan amat penting dalam pembangunan bangsa ini.
Sementara, membaca itu jendela dunia, membaca itu mencerdaskan, dan membaca itu membekali pembacanya untuk menguasai berbagai hal. Syarat mutlak untuk mengetahui sesuatu adalah iqra, membaca—baik teks maupun konteks. Untuk menulis pun, orang wajib banyak membaca!
Itulah justifikasi bahwa kesadaran berliterasi (baru literasi membaca pun) masyarakat kita masih rendah. Dalam buku Boom Literasi: Menjawab Tragedi Nol Buku (Prasetyo dkk, 2014) terungkap: rendahnya kebiasaan membaca di sekolahpernah dicap Taufik Ismail sebagai tragedi nol buku. Jika tragedi itu tidak segera mendapat jawaban nyata, ancaman ‘kiamat’ literasi menghantui.Malah, mungkin bangsa ini akan kehilangan ghirah peradabannya. Belum lagi literasi menulis, apa tah lagi.
Itulah mengapa, membangkitkan (kembali) budaya literasi sangat penting adanya. Dua kata kunci penting dalam membudayakan budaya literasi adalah keteladanan dan rekayasa. Keteladanan bersifat individual, sedangkan rekayasa bersifat sosial dan pemberdayaan. Keteladanan tumbuh berkat kesadaran, yang jika dikelola oleh individu yang mampu melahirkan rekayasa, pembudayaan literasi akan membuahkan hasil optimal.
Bagaimana keteladanan bekerja? Keteladanan itu sebetulnya bersumber dari proses mendidik diri, sebelum kemudian seseorang mendidik orang lain. Sementara itu, tak dimungkiri, mendidik orang lain agar menjadi apa yang kita inginkan, tidaklah mudah alias sangat sulit. Lebih sulit lagi adalah mendidik diri sendiri agar mampu mendidik orang lain untuk menjadi apa yang kita inginkan.
Untuk membuat orang lain memiliki pengetahuan, sikap, dan perilaku sejalan dengan apa yang kita inginkan, kita harus memiliki pengetahuan, sikap, dan perilaku yang patut dididikkan. Implikasinya, kita harus bisa dijadikan cermin atau suri tauladan yang pantas.
Dalam hal ini seorang kiai, pendeta, pedanda, atau tokoh religi lain harus sudah ahli dalam kitab suci yang merupakan pedoman dan pegangan untuk berdakwah. Dia juga mengamalkan dzikir, semedi, sembahyang atau ritual lain dengan sebenar-benarnya. Lalu, perilaku kesehariannya mencerminkan kesalehan kalbu dan jiwanya.
Jika ada kiai, pendeta, pedanda, atau tokoh religi lain tidak lagi mengamalkan dzikir, semedi, sembahyang atau ritual lain; dan perilaku kesehariannya tidak lagi mencerminkan kesalehan kalbu dan jiwanya; maka gugurlah predikatnya sebagai kiai, pendeta, pedanda, atau tokoh religi lain.
Mendidik diri untuk keteladanan adalah memperdalam pengetahuan dan memperluas wawasan mengenai sesuai yang kita didikkan kepada orang lain. Mendidik diri untuk keteladanan juga membangun sikap dan perilaku agar patut diteladani; karena itu, ia harus menghayatinya lebih dulu sebelum menerapkannya pada orang lain.
Untuk ilustrasi lain, bagi Aristoteles, kebajikan adalah praktik, bukan sekadar perasaan atau keyakinan. Dalam bukunya The Power of Doing More, Heru Susanto (2008:175) menulis: “Kebajikan diekspresikan melalui tindakan, bukan kata-kata. Buka apa yang Anda harapkan, Anda inginkan, atau maksudkan, hanya apa yang Anda lakukan yang akan menunjukkan karakter sejati....Dan kebajikan hanya bisa dipraktikkan bukan dikatakan. Jadi anak-anak akan melihat praktik, yang dikerjakan orangtuanya daripada yang sekadar diucapkannya. Maka anak yang kita didik kebajikan akan melihat kesesuaian antara yang kiat ucapkan dan lakukan.”
Ilustrasi itu mengisyaratkan, kita harus mempraktikkan kebajikan, bukan hanya mengatakannya atau memerintahkannya. Kalau hanya omong, itu mah gampang! Jika kita berhasil mendidik diri, tidaklah sulit bagi kita untuk mendidik orang lain. Orang lain akan mendengarkan apa yang kita katakan, dan mencontoh atau terinspirasi apa yang kita lakukan. Bahkan, amat mungkin dia berkembang lebih baik dari pada harapan kita.
Demikian pun budaya literasi, termasuk budaya membaca atau menulis. Misalnya, dosen/guru yang suka membaca atau menulis tak akan berkesulitan menugasi maha(siswa) untuk membaca dan menulis. Dia bukan omong kosong, asbun (asal bunyi), karena dia juga membaca dan menulis. Dengan begitu, apa yang dia ajarkan dan didikkan kepada maha(siswa) memiliki daya pengaruh yang kuat, signifikan, dan mengesankan.
Bayangkan, bagaimana pandangan maha(siswa) yang ditugasi membaca dan menulis oleh dosen/guru yang hampir tak pernah (terbukti) membaca dan menulis? Di depan sang dosen/guru mungkin saja maha(siswa) itu tampak takdzim dan oke-oke saja. Namun, amat mungkin, mereka ngrasani begini, “Ah, teori melulu. Mana buktinya?”
Rasan-rasan semacam itu representasi kekurangpercayaan maha(siswa) terhadap sang dosen/guru. Maha(siswa) belum merasa yakin bahwa sang dosen/guru juga mau membaca dan mampu menulis, sesuatu yang selalu diperintahkan kepada maha(siswa) untuk melakukannya. Seharusnya dia menunjukkan bahwa dia kredibel dan membangun kedekatan dengan maha(siswa). Guna membuktikan keandalanya, dia seharusnya juga membaca dan menulis.
Begitulah, mendidik diri untuk keteladanan juga “membudayakan” diri dalam apa yang kita tularkan kepada orang lain. Kita harus membudayakan diri dengan mengaji, shalat, bersedekah, dan sebagainya sebelum kita mendidik anak-anak untuk membudayakan hak serupa. Demikian pula kita harus berbudaya literasi (termasuk membaca dan menulis) dulu sebelum mengajak orang lain untuk berbudaya literasi (termasuk membaca dan menulis).
Tak ayal, konsep keteladanan agaknya wajib diterapkan dalam pendidikan keluarga. Jika tiada keteladanan, impian untuk hadirnya keluarga kuat nyaris mustahil. Orangtua adalah salah satu cermin anak-anak, baik ucapan, sikap maupun perilakunya. Di luar rumah mereka akan menambah referensi untuk menguatkan peneladanan dari orangtuanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H