Oleh MUCH. KHOIRI
Belum lama ini Prof. Dr. Anita Lie, seorang kolega (tepatnya seorang guru besar) dari sebuah perguruan tinggi swasta di Surabaya memberitahu, bahwa jika saya mengirimkan pesan penting dan panjang, sebaiknya saya mengirimkannya lewat email saja—jangan lewat inbox fesbuk.
Mengapa demikian, tanya saya. Saat itu dia dalam perjalanan menuju kampusnya. Dia menjawab, setiba di kampus dia akan memeriksa emailnya—tanpa harus membuka fesbuknya. Soalnya, ada etika disiplin, bahwa dosen dan karyawan dilarang fesbukan atau ber-medsos di kampus, selama jam kerja. Email masih diizinkan penggunaannya.
Sepintas, pengakuan kolega ini sederhana, namun sejatinya itu mengandung makna yang penting. Pertama, larangan bermedsos di kampus selama jam kerja. Ini sebuah kebijakan yang tegas dan patut diapresiasi ketika begitu banyak institusi—termasuk institusi pemerintah (negeri)—yang di dalamnya banyak karyawan melakukan medsos-ria selama jam kerja.
Kalau tak percaya, silakan adakan kunjungan atau inspeksi mendadak (sidak) ke kantor-kantor (pemerintah, bahkan). Hampir pasti, Anda akan temukan karyawan yang main fesbukan atau bermedsos lain—website, blog, twitter, bbm, dan sebagainya. Jika mereka sedang mengerjakan tugas, tak urung mereka juga membuka lapak medsos. Kilahnya, tatkala jenuh dan capek dengan tugas, tinggal klik lapak medsos yang ada.
Dengan memberikan larangan pada karyawan bermedsos selama jam kerja, itu merupakan langkah penting untuk meluruskan pemahaman bahwa kerja ya kerja (work), jangan dicampur dengan istirahat dan nyantai (leisure). Lazimnya karyawan-karyawan kita mencampuradukkan antara kerja dan leisure—dan akibatnya produktivitas kerja terganggu.
Makna kedua, pelarangan bermedsos itu sebenarnya menegakkan etika dan disiplin. Mereka seharusnya sadar bahwa disiplin harus ditegakkan, sebab disiplin merupakan salah satu unsur penting untuk suksesnya people menagement. Sudah jelas, bermedsos selama jam kerja adalah sejatinya pelanggaran disiplin—bahkan melakukan korupsi waktu dan tenaga. Bukankah menajemen karyawan sangat menentukan kesuksesan produktivitas?
Makna ketiga, ingatlah, kolega saya itu seorang guru besar. Sebagai guru besar, kalau mau, dia bisa “memanfaatkan” privilege (hak istimewa) yang dimilikinya untuk meminta-tolong pejabat kampus agar diperkenankan membuka medsos. Namun, tidak, dia tidak mau mengambil langkah salah ini. Dia tetap patuh pada aturan yang ditetapkan. Dia juga wajib menghindari penggunaan medsos di kampus selama jam kerja.
Kepatuhan dia terhadap peraturan yang ada menunjukkan betapa dia telah menjadi seorang literat (melek budaya) yang utuh dan mapan. Dia tidak hanya pintar dan lihai dalam berwacana, melainkan juga hebat dalam mengamalkan praktik-praktik yang baik dan mulia. Dia tidak sekadar omong kosong. Justru, sebaliknya, dia satunya kata dan perbuatan.
Makna keempat, mungkin itulah yang hendak dia tularkan, yakni keteladanan. Dia mematuhi peraturan, meski dia seorang guru besar. Itu semua dalam rangka memberikan keteladanan. Dia harus memberi teladan bahwa seorang profesor pun juga wajib mentaati peraturan—tidak ada perkecualian, tidak ada hak istimewa yang disalahgunakan.
Keteladanan, memang, jauh lebih penting daripada sekedar petuah, himbauan, larangan dan sebagainya. Action speaks more loudly than words. Tindakan berbicara lebih lantang ketimbang sekadar kata-kata. Bagi sang guru besar, memberikan teladan harus didahulukan, sebelum kemudian dia sendiri ikut mengkampanyekan pelarangan bermedsos di kampus selama jam-jam kerja atau jam belajar.
Pertanyaannya, apakah kita telah berada di posisinya? Apakah kita juga meminta orang lain mengirimkan pesan lewat email saja—dan bukan lewat fesbuk—saat ada larangan bermedsos di tempat kerja selama jam kerja? Apakah kita benar-benar tak ingin mencuri-curi lapak fesbuk sepanjang jam kerja (nyaris) seharian utuh?
Jika kita belum berada di posisi itu, ada baiknya kita merenung sekarang. Masihkah kita termasuk pegawai atau dosen yang profesional dan loyal terhadap segala peraturan di institusi kita? Atau, masihkah kita tetap mau menjalankan tugas, tapi sekaligus menyelinginyaa dengan bermedsos? Sungguh, jawaban kita secara jujur menunjukkan siapa diri kita dan seberapa kualitas dan integritas kita.***
Gresik, 6/12/2014
Sumber ilustrasi: http://bali.tribunnews.com/2014/11/17/banyak-perusahaan-australia-mengecek-akun-medsos-pelamar-kerja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H