[caption id="attachment_348034" align="alignnone" width="640" caption="Dari kiri-ke-kanan: Tengsoe Tjahjono, Tjahjono Widarmanto, Much. Khoiri, Alek Subairi, Rakhmad Giryadi"][/caption]
Oleh MUCH. KHOIRI
MENTARI sedang berkemas memasuki waktu ashar—tatkala saya mampir ke food court kampus Ketintang Unesa. Ada dorongan begitu kuat mengapa saya harus memarkir mobil tak jauh dari lokasi ini. Ternyata, telah menunggu ngopi di sana, duduk melingkar, sedang gayeng membahas sesuatu adalah para penyair Kalimas.
Alangkah bahagianya saya di siang setengah sore ini. Saya bersua (kembali) dengan para sastrawan Kalimas—sekadar sebutan saya untuk sastrawan yang sekaligus awak majalah sastra Kalimas. Kali ini ada penyair Tengsoe Tjahjono, Tjahjono Widarmanto, Alek Subairi, dan Rakhmad Giryadi. Saya kebetulan juga bagian dari mereka, ikut menjadi awak Kalimas.
Untuk Tjahjono Widarmanto, Alek Subairi, dan Rakhmad Giryadi, kerinduan tumbuh karena sudah sebulan lebih kami tidak bersua, karena telah tenggelam dalam urusan masing-masing. Padahal, kami harus segera menyiapkan penerbitan majalah Kalimas untuk edisi berikutnya. Kehadiran Kalimas sudah dirindukan pembaca fanatiknya.
Sementara, khusus untuk Tengsoe Tjahjono, saya benar-benar tidak pernah bertemu darat dalam lebih dari enam bulan belakangan ini. Penyair yang juga dosen FBS Unesa ini sedang menjadi dosen tamu di sebuah perguruan tinggi di Negeri China. Di musim liburan ini dia berpeluang pulang-kampung, untuk mengobati kerinduan kampung-halaman dan sahabat-sahabatnya.
Sebelum persuaan ini, Tengsoe telah diundang menjadi narasumber di acara ‘Pesta Puisi Musim Rambutan’ di rumah Budaya Kalimasada, Blitar. Bersama puluhan penyair Tengsoe berbagi oleh-olehnya dari negeri kungfu itu, dengan camilan penuh rambutan, di rumah budaya penyair Bagus Putuparto dan Endang Kalimasada. Tentu saja, kami, yang semarkas ini, ingin berbagi lebih banyak dengan yang bersangkutan.
Seperti biasanya, Tengsoe mengajak berdiskusi—persis gayanya dengan tahun 1990-an, ketika saya pernah menjadi Redpel alias Redaktur Pelaksana untuk majalah kebudayaan Kalimas—dulu masih majalah kebudayaan, kini majalah sastra. Dia termasuk lebih senior daripada saya; sementara Tjahjono Widarmanto lebih muda—demikian pula Rakhmad Giryadi dan Alek Subairi. Nama-nama terakhir inilah yang menjadi sebagian tulang punggung majalah sastra Kalimas dewasa ini. Biarlah Tengsoe, saya, dan teman-teman lain menjadi sesepuh, tetua, atau entah apa namanya.
Selain kangen-kangenan, kami membahas persiapan penerbitan majalah Kalimas edisi terdekat. Bagi-bagi tugas pun dijalankan, dan semua bagian tugas dihadapkan pada target waktu alias deadline. Pada DL yang ditentukan, naskah sudah harus siap untuk diproses. Beginilah enaknya bekerja dengan para penulis untuk urusan mengumpulkan tugas menulis—tak perlu repot-repot menunggu terlalu lama. Ibaratnya, set set wet.
Produktif
Yang selalu saya sukai dari persuaan para penulis—termasuk sastrawan, atau penyair dalam konteks ini—adalah potensi mereka yang besar. Saya percaya, sebagai penulis, mereka pastilah kaya bacaan dan luas wawasan. Teman-teman penulis tertentu, bahkan, kadang seperti buku berjalan. Karena itu, selama duduk bersama mereka, banyak hal yang bisa nyambung dimanfaatkan sebagai topik bahasan.
Dalam tingkat wacana lisan, mereka menguasai berbagai masalah, termasuk politik, sosial, budaya, hankam, dan sebagainya. Wawasan mereka luas dan dalam, tampak dari detail-detail yang disampaikan. Andaikata mereka diminta bicara politik, pada taraf konten, mereka pastilah bisa. Namun, akibat konsistensi mereka di dunia sastra, maka mereka tidak mau menulis politik kecuali substansinya, mereka emoh menulis polah selebritis kecuali endapan budaya mereka.
Bisa dipastikan, persuaan dengan para penyair (penulis) itu merupakan persuaan yang produktif. Amat boleh jadi bahwa di antara kami mengembangkan ide berkat persuaan untuk dijadikan artikel atau bagian bukunya. Jika tidak sekarang, setidaknya sudah ada prototipe gagasan, yang bakal digarap pada kali lain—entah pekan ini, bulan depan, dan seterusnya.
Kami telah mempraktikkan hal ini. Tahun 1985-an saya bergabung dalam komunitas “Seton”—sebuah komuntas sastra kampus di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Unesa (saat itu IKIP Surabaya), yang dihelat setiap hari Sabtu. Saya bergabung di sana, meski saya mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris saat itu. Persuaan kami dalam setiap hari Sabtu itu kerap membuat kami menulis dan menerbitkan artikel masing-masing ke surat kabar.
Kini kami bersua kembali. Kami harus merapatkan barisan. Majalah sastra Kalimas harus segera diterbitkan—dan rencana besar kami harus disiapkan implementasinya. Setidaknya, sore ini, kami harus sudah selesai menemukan format konsep dasarnya—sebelum kawan Tjahjono Widarmanto berangkat ke Jember petang ini, atau sebelum akhir Februari Tengsoe kembali menunaikan tugasnya di Negeri China. Rakhmad Giryadi dan Alek Subairi juga akan kembali ke habitatnya. Sungguh, tanpa mereka, sepertinya ada sesuatu yang hilang.*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H