[caption id="attachment_327880" align="aligncenter" width="381" caption="Dari kiri ke kanan: A.Hakam Sholahuddin, moderator, Eko Prasetyo, dan saya sendiri. Mas Eko mendapat giliran presentasi."][/caption]
Oleh MUCH. KHOIRI
Bedah buku Boom Literasi: Menjawab Tragedi Nol Buku (2014) di Fakultas Ekonomi dan Bisnis IAIN Tulungagung (7/10) terasa bergizi. Kegairahan timbul dalam acara bedah buku ketiga kalinya terhadap buku itu. Terlebih, bedah buku dibumbui diskusi berkisar tentang writerpreneurship—cocok dengan bidang ilmu mahasiswa di fakultas itu.
Saya sendiri bahagia menjadi narasumber dalam bedah buku ini, bersama dengan Eko Prasetyo, alumni Unesa dan penulis muda sangat produktif, yang kini sedang studi lanjut (S2). Bersama kami ada narsum lain, seorang jurnalis dan sekaligus dosen luar biasa di kampus itu—yakni Abdul Hakam Sholahuddin, M.M. Nama terakhir ini yang membedah dan menguliti buku Boom Literasi.
Dalam sambutannya, Dekan menegaskan, bedah buku kali ini berbeda dibandingkan sebelumnya. Lazimnya, bedah buku itu digelar terhadap buku yang khas dengan fakultas ekonomi dan bisnis. Kali ini, bedah buku mengambil tema literasi, namun tetap dalam bingkai keilmuan mahasiswa. Literasi penting diperhatikan.
“Diharapkan, mahasiswa terinspirasi untuk membangun dan berkembang dalam bidang writerpreneurship. Ke depan bidang ini sangat layak untuk ditekuni,” tegas Pak Dekan. Tentu saja, mahasiswa harus (belajar) menulis, dan memasarkan tulisannya—atau bergerak dalam simpul-simpul pelatihan dan penerbitan karya.
Mengapa bergizi? Suasana aula IAIN Tulungagung terasa bergairah. Setelah kami diberi kesempatan untuk berbicara masing-masing 15 menit, tanggapan bermunculan dari sejumlah peserta. Pertanyaannya juga beragam, dan sangat menantang, serta menarik untuk ditanggapi langsung.
Di antara tanggapan yang muncul ialah bagaimana mengatasi kemacetan menulis, termasuk akibat kesibukan yang padat? Bagaimana kiat-kiat agar istikomah (konsisten) dalam menulis setiap hari? Bagaimana kiat-kiat menulis bagi pemula, agar lekas menguasai keterampilan menulis? Apakah menulis itu perlu bakat? Bagaimana mengambangkan bakat menulis yang efektif? Bagaimana menerbitkan buku bagi pemula?
Terkait dengan kemacetan menulis, sebenarnya hal itu bisa diantisipasi sejak awal. Ibarat orang akan bepergian, dia harus mengantisipasi apa saja yang akan dilakukan selama bepergian. Menulis juga demikian, dia juga harus membuat sketsa atau outline (kerangka) gagasan yang akan dituangkan menjadi tulisan. (Jika sudah berpengalaman, membuat outline cukuplah di dalam pikiran saja.) Menulislah berdasarkan outline itu. Lalu, tekunlah menulis di sana—jangan mudah tergoda oleh kegiatan lain.
Jika kemacetan mungkin diakibatkan kesibukan kerja atau belajar atau kegiatan lain, kita harus cerdas untuk manajemen waktu. Harus dipilih waktu mana yang paling nyaman untuk menulis. Prof. Imam Suprayoga, rektor UIN Malang, menulis setelah subuh, setiap hari. Dukut Imam Widodo, penulis milyarder pemilik DukutPublishing Soerabaia itu, menulis mulai pukul 03:00 hingga subuh dan/atau plus setelah subuh.
Untuk konsisten menulis (setiap hari), kita harus menegaskan pentingnya (bahkan wajibnya) kegiatan menulis. Dalam Islam, menulis (qalam) itu sama wajibnya dengan membaca (iqra). Karena wajib, ia harus ditunaikan, dan tidak boleh diabaikan begitu saja. Jika belum bisa menulis baik, tentu harus belajar menulis terus, setiap hari. Kewajiban itu selalu pahit di awalnya, namun akan manis ketika kebiasaan telah menyatu dengan diri kita.
Di samping itu, perlu dibuat semboyan atau motto yang menguatkan diri untuk menulis. Setiap penulis perlu memiliki ini, agar semangat menulis tetap membara. Mungkin saja kita bersemboyan “Menulis Setiap Hari”, “Menulis sampai Mati”, atau “Menulis atau Mati”. Ungkapan terakhir inilah yang saya terapkan dalam tahun-tahun terakhir ini. Jika tidak mau menulis, lebih baik matilah saja—sebab, jika tidak menulis, apa gunanya hidup ini?
“Menulis juga harus (sedikit) dipaksa,” kata Pak Hakam Sholahuddin. Nara sumber dari Jawa Pos Group ini menggambarkan, setiap hari ia dipaksa untuk membuat tulisan reportase tiga buah. Jika belum dapat tiga, jurnalis harus mencari dan menulisnya. Menulis bagi jurnalis ya karena dipaksa untuk menulis. Dengan sendirinya, menulis merupakan kewajiban yang tak boleh ditinggalkan. Wajib hukumnya.
Adapun untuk penulis pemula, perlukah bakat? Setiap orang memiliki bakat dalam setiap hal, namun manakah yang dikembangkan, itulah yang benar-benar akan hidup! Jadi, jangan bicara bakat dalam menulis, karena “Menulis itu lebih berupa keterampilan, “ tegas Eko Prasetyo. “Karena menulis itu keterampilan, maka menulis bisa dipelajari dan dilatihkan. Hanya dengan latihan menulis, orang akan mampu menjadi penulis.”
“Penulis pemula bisa bisa melatih diri dengan mengandalkan otak kanan, yang tidak suka aturan-aturan teknis. Mengalir saja menulis apa yang kita rasakan, kita alami, kita bayangkan....Masalah bentuk akhirnya ya dibenahi nanti,” sambung saya mengilustrasikan. Malah, saya tunjukkan, buku saya Jejak Budaya Meretas Peradaban (2014) juga merupakan rekaman dan refleksi jejak pemikiran dan pengalaman budaya saya.
Sekarang, bagaimana penulis pemula menerbitkan karya? Sekarang ini era media sosial yang canggih. Orang boleh memanfaatkan berbagai media sosial untuk menerbitkan karya-karyanya. Fesbuk, blog, dan website tentu saja layak dimanfaatkan. Tak sedikit penulis buku yang berangkat dari menerbitkan karyanya di blog atau website mereka. Setidaknya, menulis di medsos itu untuk menjajaki kemampuan diri, dan membiasakan (menerbitkan) karya, agar mengukur kelayakannya di mata publik.
Pada gilirannya, jika berminat menulis buku, dan jika “belum berani sendiri”, ya menulislah secara keroyokan, dan mintalah penulis senior untuk mengedit atau memberi pengantar dan endorsement.  Penulis senior itu akan membuat kita “lebih berani” (alias percaya diri) untuk menerbitkan karya. Syukur-syukur kalau kita bisa ikut keroyokan bersama penulis senior itu di dalam sebuah buku. Ini akan lebih maknyus.
Demikianlah, bedah buku yang dilandasi tema writerpreneurship berlangsung seru, hingga waktu terasa berputar lebih cepat. Ingin rasanya kami memperpanjang diskusi, serta menuntaskan tanggapan dan unek-unek peserta terkait dengan writerpreneurship. Saya berharap, momentum lain dapat mempertemukan kami kembali. Mudah-mudahan.**
Tulungagung-Gresik, 7 Oktober 2014.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H