Oleh MUCH. KHOIRIÂ
SEPUTAR gebyar tahun baru 2016 sebuah akrobat kecil terjadi dalam diri saya. Hingga 31 Desember 2015 tengah hari, sebenarnya fokus saya masih pada menulis buku, yang judulnya tak perlu saya sebutkan di sini. Sore hingga petang saya mendampingi keluarga jalan-jalan di mal Sutos, makan di Kampoeng Surabaya, dan menonton film Negeri Van Oranje—sepaket wisata budaya yang pas untuk menyegarkan dan mencerahkan diri. Terlebih, dentum musik yang malamnya akan mengiringi Raisha masih terdengar saat kami beranjak meninggalkan Sutos. Dalam sikon semacam ini fokus saya masih pada buku yang sedang saya kerjakan.
Akrobat itu—ah, ternyata tidak kecil—terjadi tatkala, menjelang tengah malam, saya mulai menghadap laptop guna mencari sebuah informasi di Google search. Entah kekuatan apa yang menggerakkan, tiba-tiba jari-jari saya mengetik nama saya: Much. Khoiri. Maka, terpampanglah di layar laptop itu beberapa alamat laman website yang memajang nama saya, tulisan saya, atau tulisan orang lain tentang saya. Terpana, saya coba buka satu-persatu dengan penasaran. Lalu, saya buka layar berikutnya dan selanjutnya—hingga saya temukan banyak tautan di sana. Saya begitu excited karenanya sehingga saya tidak peduli dengan kembang api yang berpendaran atau suara terompet tahun baru yang bersahutan di luar sana. “Dahsyat! Ini harus dijadikan sebuah buku,” pikir saya spontan.
Dan saat itulah jungkir-balik itu menghantam dan menguji saya. Saya sisihkan proyek buku saya dari pikiran dan jiwa saya, dan saya berpaling pada gagasan baru yang sedang memberontak. Gagasan itu ialah menghimpun tulisan-tulisan orang lain tentang saya dan buku-buku saya, terutama Jejak Budaya Meretas Peradaban (2014), Rahasia TOP Menulis (2014), dan Pagi Pegawai Petang Pengarang (2015). Tulisan-tulisan itu berupa resensi, catatan, opini, berita, atau tinjauan biografis tentang saya. Maka, mulailah saya mengunduh semua tulisan yang ada.
Ternyata, total jenderalnya, ada puluhan artikel yang bisa saya peroleh, saya temukan, bukan saya pesan. Ada yang dari blog Kompasiana.com, ada yang dari website lembaga, ada yang dari blog pribadi, dan ada pula yang dari suratkabar online. Semuanya membuat saya sangat antusias dan semakin membulatkan tekad saya. Tekad saya, do it with passion or not at all, lakukan dengan sepenuh gairah atau tidak sama sekali. Menyusun buku perlu memenuhi prinsip semacam ini: Do it with passion or not at all.
Kemudian, hasil unduhan saya pilah dan pilih untuk merancang sebuah buku. Yang tak relevan saya sisihkan, yang relevan saya pasang—dan untuk melengkapinya saya temukan tulisan lain atau arsip unduhan jauh-jauh hari. Akhirnya, dengan perjuangan yang menggairahkan, saya pilah buku bertajuk Much. Khoiri dalam 38 Wacana ini menjadi empat bagian: tentang Jejak Budaya Meretas Peradaban, tentang Rahasia TOP Menulis, tentang Pagi Pegawai Petang Pengarang, dan tinjauan biografis/apresiasi. Yang dimaksud “wacana” di sini mengacu ke jenis atau genre tulisan semisal resensi, catatan, opini, berita, atau tinjauan biografis. “Tinggal membuat prakata, menemukan pakar untuk kata pengantar, dan membuat epilog,” begitu pikir saya.
Tentu, dengan tulus saya sangat berterima kasih kepada para penulis (mayoritas: kompasianer) yang artikelnya saya temukan dan  sekaligus menggairahkan:
1.      David Sudarko
2.     Eko Prasetyo
3.     Ferdianadi
4.     Isson Khairul