Judul buku : Guru Plus (Edukasi Tanpa Sisi)
Penulis : Maria Margaretha
Penerbit : Peniti Media
Cetakan : I, 2014
Tebal : 105 hlm
ISBN : 978-979-95712-8-1
Oleh MUCH. KHOIRI
Guru yang menunaikan tugas mengajar dan mendidik dengan baik, itulah guru yang baik. Sementara, guru baik yang memiliki prestasi-prestasi ekstra di luar tugas utamanya sebagai guru, itulah guru plus. Jika ada guru yang baik menulis buku, bolehlah disebut seorang guru plus.
Sebutan “guru plus” inilah yang pantas disandangkan pada penulis buku ini. Saya sepakat dengan manajer kompasiana, Kang Pepih Nugraha, dalam endorsement-nya: “Jarang buku ditulis untuk memotret perjuangan guru dalam mengabadikan profesinya. Buku ini menjadi lebih dekat dengan sosok guru dan perjuangannya itu karena ditulis oleh pelakunya sendiri.”
Penulis buku ini adalah seorang guru, sekaligus kompasianer, Maria Margaretha. Maria merajut hasil amatan, pengalaman, dan permenungannya tentang praktik dan kebijakan pendidikan menjadi sebuah buku. Tulis editornya, Thamrin Sonata, “Ia hanya sedang memotret dengan caranya. Menuliskan apa yang dialami, dirasakan, dan dilihat di sekitarnya di era teknologi informasi yang deras.”
Inilah nilai plus yang Maria miliki. Sebagai guru, ia keluar dari zona nyaman atau hanya berkutat dalam bingkai dunia mengajar-mendidik—lalu menuliskan pemikiran dan praktik yang dialami dan diamatinya. Agaknya ia sadar, apa yang diucapkan akan hilang, apa yang dilakukan akan musnah, apa yang dipikirkan juga akan lenyap—kecuali ditulis, terlebih dalam sebuah buku.
“Buku Plus” bisa bertindak sebagai pengabadi jejak dan pemikiran Maria, jauh lebih tangguh dibanding hanya ditulis di lapak blog misalnya. Buku bisa dibaca hari ini, esok, bulan depan, atau kapan pun hasrat membaca timbul. Jika tidak sekarang, mungkin generasi selanjutnya yang akan membacanya.
Berbagai topik ditulis Maria dalam buku ini. Ia membandingkan guru dulu dan sekarang, antara mengajar dan mendidik, membaca terpaksa dan suka membaca. Ia juga memotret missing link pendidikan, sekolah dan bimbel, sekolah gratis (?), kurikulum sekolah, pendidikan guru, dan sebagainya.
Lewat buku ini, Maria juga mengetuk pintu hati orangtua, agar kembali berperan dalam mendidik anak, mengingat banyak orangtua yang lepas tangan. “Pendidikan anak, memang bukan hanya tanggungjawab guru. Pendidikan anak adalah tanggungjawab orangtua juga... Guru sekolah hanya 5-6 jam. Waktu anak selebihnya, siapa atau apa yang mewarnai?” (hlm.26).
Dunia pendidikan agaknya sedang kehausan sosok yang pantas diteladani. Ketidakpantasan dalam tata pergaulan dan tayangan TV yang kerap kurang mendidik mencekoki mereka setiap saat. Dalam hal ini, Maria merasa perlu untuk mengungkap betapa guru harus tampil yang terbaik untuk menjadi teladan bagi murid-muridnya.
“Seorang guru merupakan sosok yang mempunyai pengaruh dalam kehidupan. Kitab suci menuliskan, karena peran guru demikian penting, dikatakan agar yang menjadi guru benar-benar berhati-hati dalam kehidupannya. Ia adalah sosok yang seharusnya menjadi teladan (jadi Pak Guru, jangan merokok kalau tak mau muridnya merokok. Jangan suka telat jika tak mau muridnya telatan.” (hlm. 11).
Yang menarik, buku ini juga menggugah kembali pentingnya pendidikan budi pekerti. Sayangnya, pembahasan tentang budi pekerti, dalam beberapa bagian, yang sebagian diambil dari skripsi, agaknya perlu ditata ulang dengan format artikel yang cair dan gurih untuk dinikmati.
Meski demikian, buku ini sebuah keberanian intelektual yang patut diapresiasi. Prof. Arief Rachman dalam buku ini menegaskan bahwa “Guru menulis...itu suatu kekuatan intelektual.” Dengan menulis, guru juga melakukan pembelajaran, sekaligus memberikan materi dan informasi pembelajaran bagi guru yang lain.
Karena itulah, jika ada gerakan guru menulis (sebagaimana impian grup menulis yang saya bina di fesbuk ‘Gerakan Guru Menulis Buku’), Maria-lah salah satu pegiat kompasianer yang berdiri pada deretan depan. Di sana masih banyak guru yang harus dibangkitkan kesadarannya untuk menulis. Dan perjuangan untuk mencapai impian demikian adalah perlu.***
Surabaya, 14/9/2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H