[caption id="attachment_344618" align="aligncenter" width="448" caption="Indahnya kebersaman mencanangkan resolusi jelang tahun baru 2015"][/caption]
Oleh MUCH. KHOIRI
Di ujung diskusi menulis menjelang malam tahun baru kemarin, host diskusi Dr. Suyatno, M.Pd menanyakan awak humas Unesa untuk menyatakan apa resolusi menulis mereka. Awak humas, yang juga staff host itu, satu-persatu melontarkan resolusinya.
Sekitar 25 mahasiswa jurnalis kampus itu bergiliran bicara. Ada yang ingin berhasil menulis artikel yang bagus, ada yang memuatkan artikel di media massa. Ada yang ingin lihai meliput berita, ada pula yang ingin mahir memotret. Ada yang ingin menyusun buku keroyokan, ada pula yang ingin menulis buku solo. Ada yang ingin desainnya memenangi lomba, ada yang ingin mengalir saja. Dan seterusnya.
Setelah hening sejenak, ada yang nyeletuk. “Ini resolusi kami, mana resolusi Bapak?” Pertanyaan ini ditujukan bukan hanya kepada host diskusi, namun juga ke tiga nara-sumber—Prof. Djodjok Soepardjo, Dr. Djuli Djatiprambudi, dan saya sendiri. Waktu merambat terus, dan tengah malam hampir tiba, saat itu.
Pak Yatno, kepala Humas yang piawai menulis itu, menegaskan, beliau akan menerbitkan dua atau tiga buku di tahun 2015. Salah satunya adalah buku puisi, menyusul buku puisi terbarunya Pusaran Tiga Sudut (Satukata, 2014). Buku lain yang akan diterbitkan adalah tentang kepramukaan dan bahasa. Judul-judulnya masih rahasia. Hadirin dibuat penasaran.
Lalu, giliran pun dilontarkan ke saya. Saya tegaskan, dalam tahun 2015 saya akan tetap mendasari diri dengan motto “Menulis atau Mati!”. Saya yakin, kekuatan motto ini pas bagi saya. Tahun 2014 kemarin saya menulis buku solo dua judul Jejak Budaya Meretas Peradaban (Jalindo-Satukata, 2014) dan Rahasia TOP Menulis (Elex Media Komputindo, Des 2014). Keajaiban lain, saya menggarap tujuh buku keroyokan alias antologi—tiga diantaranya jadi penulis dan editornya, selebihnya jadi penulis.
Dengan motto yang melekati sanubari, saya juga masih harus menulis setiap hari—seperti tahun 2014 kemarin. Targetnya, saya harus menyelesaikan 4 naskah buku hingga akhir Agustus 2015. Kalau tahun 2014 saya terbitkan 2 buku solo, tahun ini harus 3-4 buku, berarti ada peningkatan. Saya berani menantang diri sendiri, karena pada menit ini saya sedang menggarap buku terbaru saya—yang pada 15 Januari 2015 akan selesai (insyaallah). Satu calon buku lagi sudah 50 persen, dan 2 calon buku lain sudah masuk jadwal penggarapan.
Di samping itu, motto menulis saya itu saya amalkan dengan bantuan doa. Ora et labora. Bekerja dengan (iringan) doa. Memang, saya terbatas dalam segala hal, namun Tuhan tak berbatas. Dengan doa ada kekuatan tak terhingga yang insyaallah saya terima. Selama bersama iringan doa, bekerja menulis akan terasa enteng dan tuntas.
Jangan “ingin” tapi “harus”
Terhadap pernyataan para awak humas, saya sampaikan, impian itu jangan hanya dilabeli dengan “ingin”, tapi “harus” bisa, dan sebutkan ukurannya. Misalnya, “Saya harus bisa memuatkan lima buah tulisan di koran.”  Misalnya lagi, “Aku harus bisa menerbitkan dua buku, satu mandiri satu keroyokan.” Misalnya pula, “Saya harus bisa menulis artikel 5000 karakter dalam 60 menit.” (*Ini statemen impian saya tahun 2013 dan 2014—dan baru lulus tahun 2014.)
Apa rahasianya? Ada dua kata kunci. Pertama, kata “harus” itu menegaskan kewajiban, tidak boleh abai, kudu tercapai. Impian memang wajib diperlakukan begitu: beri kata bantu modalitas “harus”. Selain mewajibkan, kata itu mengandung tantangan dengan kerja keras. Jika tidak tercapai, orang akan menangis, atau malu—kemudian tawakkal.
Kedua, dengan menyebut target ukuran, resolusi akan terukur. Ibarat orang berjalan, tujuannya kelihatan jelas. Target “lima buah tulisan”, misalnya, itu terukur sekali. Dengan kerja keras, prioritas bisa dicanangkan, kapan masing-masing tulisan harus ditulis serius dan dimuatkan di koran. Tanpa target demikian, impian hanya tinggal keinginan yang menguap.
Begitulah, kami terikat dan mengikatkan diri pada resolusi menulis masing-masing. Pak Djodjok berharap, resolusi seluruh hadirin benar-benar terwujud di tahun 2015, demi kemajuan warga kampus dan peradaban bangsa ini. Di paling ujung diskusi, harapan itu disimpul oleh Mas Djuli dengan doa bersama yang dipimpinnya. Semoga Tuhan meridhai. Aamiin.*
Surabaya, 02/01/2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H