[caption id="attachment_348358" align="aligncenter" width="448" caption="http://www.cirebontrust.com/dijadikan-modus-tindak-kejahatan-polisi-himbau-masyarakat-waspadai-gendam.html"][/caption]
Oleh MUCH. KHOIRI
SEBUAH SPANDUK atau banner melintang di pintu masuk terminal Bungurasih, Surabaya. Bunyinya: Hindari Calo, Waspadai Gendam, Awas Copet. Singkat dan padat bunyinya, namun maknanya efektif dan patut diperhatian. Terlebih, latar tulisan yang mencolok, membuat tulisan itu menyedot perhatian (eye catching).
Ditilik dari bentuknya, semua itu merupakan teks fungsional pendek, yakni teks yang memuat informasi tertentu bagi masyarakat dengan maksud untuk pemberitahuan (notice), peringatan halus (caution), atau peringatan keras (warning). Ia lazim berupa teks singkat dan mudah dipahami, penulisannya menggunakan huruf kapital, dan kerap disertai gambar.
Melihat bunyi spanduk tersebut, tampaklah ia bukan lagi sebuah pemberitahuan (notice). Setidaknya, ia sebuah peringatan halus—bahkan mengarah ke peringatan keras. Maksudnya, pesan yang disampaikan sangat penting untuk diperhatikan; sebab, jika tidak diindahkan, dan jika terjadi sesuatu, akibatnya berisiko cukup tinggi dan fatal.
Hindari calo. Peringatan ini, jika dirasakan seksama, bukan sekadar peringatan halus, bukan pula sebuah saran, melainkan sebuah perintah atau larangan. Publik penumpang mendapat perintah dari manajemen terminal bus untuk tidak mendekati para calo. Calo wajib dihindari. Para calo agaknya telah dinilai “merugikan”, entah berdasar amatan mereka sendiri, maupun masukan dari penumpang.
[caption id="attachment_348359" align="aligncenter" width="448" caption="http://bharatanews.com/berita-3026-di-mapolres-solo-jukir-merangkap-calo-sim.html"]
Kenaikan intensitas ini menyimpan pertanyaan, mengapa demikian. Amat boleh jadi, sebelumnya telah terjadi akumulasi fakta atau aduan penumpang akibat ulah calo. Kalau pas hari-hari libur besar (Hari Raya Idul Fitri, misalnya), ulah calo kerap menggemaskan. Nah, dalam upaya menyelamatkan penumpang dari ulah penipuan, manajemen terminal meminta penumpang untuk tidak mencari calo, melainkan langsung ke petugas loket tiket atau ke awak bus.
Waspadai gendam. Gendam tak jauh beda dengan hipnotis. Ulah para penggendam lazimnya bisa membuat korban lupa diri, sehingga ia melakukan apapun yang dihipnotiskan oleh penggendam. Korban barulah ingat siapa dirinya setelah ia mendapati kerugian tertentu padanya. Tak jarang penggendam membuat korban mengalami kerugian lebih besar lagi.
Pesan peringatan ini tentu penting diperhatikan. Jangan pernah percaya kepada orang asing atau orang yang baru saja dikenal—terutama dengan ungkapan-ungkapan manis yang sifatnya persuasif. Para penggendam, dengan melihat tajam ke mata korban, bisa melancarkan aksinya—mempengaruhi dan mengendalikan kondisi bathin korban. Ya, jika kondisi korban lemah, ia bisa dikendalikan oleh penggendam—untuk mencopoti perhiasan, menyerahkan uang, memberikan barang berharga, atau mentransfer uang di bank.
Awas copet. Sama “siluman”nya dengan gendam, aksi copet juga wajib diwaspadai. Peringatan manajemen terminal itu pastilah berdasar pengalaman-pengalaman sebelumnya, bukan berangkat dari titik kosong. Telah terjadi banyak aksi pencopetan di tempat-tempat keramaian seperti di terminal ini. Sebuah fakta yang sangat nyata, jaringan copet berkeliaran di mana-mana.
[caption id="attachment_348360" align="aligncenter" width="448" caption="http://www.duajurai.com/hukum/kisah-konyol-para-pencopet-yang-gagal-nyopet-3/"]
Namun, jangan heran, para copet lazimnya tidak bergerak sendiri. Mereka telah terjalin dalam mafia percopetan, yang organisasinya tidaklah lemah. Tak jarang mereka melakukan aksi copetnya secara berkelompok, dengan trik-trik yang tak disadari oleh (calon) korban. Sebagai sebuah jaringan mafia, jangan lupa, mereka juga melakukan rekrutmen dan pelatihan mencopet. Tak heran, jika seorang pencopet tertangkap, ia akan ditebus (untuk dibebaskan) oleh bos mafioso-nya.
Karena itu, pihak manajemen terminal tidak melawan frontal para mafia copet yang ada. Itu akan menimbulkan konflik tajam, karena mafia copet bisa nekat senekat-nekatnya melawan jika kenyamanan “profesi” mereka terusik. Mencopet bagi mereka adalah hidup atau mati—karena memang menjadi sumber penghasilan. Itulah mengapa pihak manajemen hanya memberikan peringatan saja kepada penumpang. Upaya preventif lebih penting, kira-kira begitu prinsipnya.
Ketiga teks fungsional pendek tersebut, tentu, amat berharga bagi penumpang atau masyarakat yang datang di terminal. Bagi mereka hal ini menjadi pengingat (reminder) yang harus diindahkan. Sebaliknya, bagi calo, penggendam, dan copet, teks itu merupakan “tengara kiamat” bagi perjalanan “karir” mereka. Jangan bicara moral di sini, terutama untuk penggendam dan copet, karena mereka telah menyimpan moral ke dalam saku.
Kita memang hidup di zaman yang masih semrawut—kondisi di mana masih banyak yang harus dibenahi, di mana penegakan hukum bisa berjalan sebagaimana dimaksudkan oleh hukum itu sendiri. Peringatan manajemen terminal tersebut merupakan “juru bicara” (mouthpiece) pihak manajemen guna mengkomunikasikan kepedulian kepada masyarakat di terminal, khususnya para penumpang.
Jadi, tidak ada pilihan lain. Masyarakat atau penumpang harus menerima pesan banner tersebut sebagai pengingat yang wajib dihayati sepenuh hati. Yang penting lagi, mudah-mudahan semua dijauhkan dari aksi-aksi nekat para calo, para penggendam, dan para copet yang bergentayangan setiap waktu.*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H