Mohon tunggu...
Much. Khoiri
Much. Khoiri Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Penulis dan Dosen Sastra (Inggris), Creative Writing, Kajian Budaya dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa). Trainer dan Perintis 'Jaringan Literasi Indonesia' (Jalindo). Alumnus International Writing Program di University of Iowa (USA, 1993); dan Summer Institute in American Studies di Chinese University of Hong Kong (1996). Kini menjadi Kepala UPT Pusat Bahasa Unesa. Anggota redaksi jurnal sastra 'Kalimas'. Karya-karya fiksi dan nonfiksi pernah dimuat di aneka media cetak, jurnal, dan online—dalam dan luar negeri. Buku-bukunya antara lain: "36 Kompasianer Merajut Indonesia" (ed. Thamrin Sonata & Much. Khoiri, Oktober 2013); "Pena Alumni: Membangun Unesa melalui Budaya Literasi" (2013); antologi "Boom Literasi: Menjawab Tragedi Nol Buku" (2014), buku mandiri "Jejak Budaya Meretas Peradaban" (2014) dan "Muchlas Samani: Aksi dan Inspirasi" (2014). Eseinya masuk ke antologi "Pancasila Rumah Kita Bersama" (ed. Thamrin Sonata, 2014) dan papernya masuk buku prosiding "Membangun Budaya Literasi" (2014). Menjadi penulis dan editor buku "Unesa Emas Bermartabat" (2014). Buku paling baru "Rahasia TOP Menulis" (Elex Media Komputindo, Des 2014).\r\n\r\nBlognya: http://mycreativeforum.blogspot.com\r\ndan www.kompasiana.com/much-khoiri.\r\n\r\nMelayani KONSULTASI dan PELATIHAN menulis karya ilmiah, karya kreatif, dan karya jurnalistik. \r\n\r\nAlamat: Jln. Granit Kumala 4.2 No. 39 Perumnas Kota Baru Driyorejo (KBD) Gresik 61177. \r\nEmail: much_choiri@yahoo.com. \r\nKontak: 081331450689\r\nTagline: "Meretas Literasi Lintas Generasi"

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Di Hong Kong: Soal Rasa, Lidah Tak Bisa Bohong

6 Februari 2015   06:26 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:44 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_349562" align="alignnone" width="640" caption="Foto Lawas: Dalam perjalanan ke Lamma Island, Hong Kong (1996) "][/caption]

Oleh MUCH. KHOIRI

Gegar budaya makan kedua saya alami saat saya mengikuti Summer Institute in American Studies yang dihelat di Chinese University of Hong Kong pada Juli-Agustus 1996. Bagi saya, tinggal sekitar dua bulan di negeri eks-dominion Inggris itu memahatkan kisah tersendiri tentang makan(an).

Yang terlintas sebelum masuk negeri itu adalah masyarakat beretnis Tionghoa, dan sering dikonotasikan dengan kebiasaan mereka mengonsumsi daging babi. Sebagai muslim, ibaratnya saya sudah pasang kuda-kuda, bahwa saya mesti berhati-hati dalam memilih makanan. Dalam keyakinan saya, babi dan segala produksinya haram untuk dimakan.

Itulah sebabnya, tatkala pertama kali saya—bersama dua perwakilan Indonesia yang lain—datang di apartemen kampus CUHK, saya langsung survei makanan di resto kampus. Dari belasan meter saja aroma masakan sudah menusuk hidung. Bau “kelewat sedap”-nya begitu tajam. Sedapnya bawang putih (garlic).

Saya baca daftar menu makanan dan minuman. Hampir semua menu yang ditawarkan, salah satu resepnya adalah bawang putih; dan tak meninggalkan campuran daging atau minyak babi. Bukan itu saja. Di meja makan masih tersedia nampan kecil yang memuat tiga tube garam lembut, bubuk merica, dan bubuk bawang putih—untuk persiapan kalau pelanggar ingin menambahkannya ke makanan pesanannya.

Bawang putih, kalau hanya secuil, sebutlah untuk pelengkap sambal terasi, tentu lidah saya bergoyang-goyang. Namun, jika saya harus menyantap makanan dengan bumbu bawang putih porsi banyak, plus persediaan di meja makan, tentu bisa membuat perut mual. Saya tidak bisa meniru pelanggan lain di sana yang dengan antusias menaburkan bubuk bawang putih (garlik), garam dan merica pada sup atau mie yang masih kedul-kedul, untuk kemudian disantapnya.

[caption id="attachment_349563" align="aligncenter" width="448" caption="Sumber ilustrasi: https://mikacory.wordpress.com/2012/08/25/hong-kong-macau-day-4/"]

14231534111916308694
14231534111916308694
[/caption]

Tak pelak, saya menemui manajer resto itu. Saya memesan makanan secara khusus. Saya memesan nasi goreng, dengan syarat begini: Sebelum memasak, wajan harus dibersihkan dan dicuci—termasuk agar terhindar dari sisa minyak babi, misalnya. Saya tidak mau daging, kecuali ikan laut dan telor; dan minyak gorengnya khusus minyak tumbuhan (jagung). Intinya, saya ingin makan nasi goreng halal. Meski lebih mahal, pesanan saya juga saya bayar.

Sebagai salah satu dari 32 peserta dari bangsa-bangsa Asia, saya juga berkesempatan jalan-jalan di akhir pekan. To my surprise, ternyata restoran-restoran yang saya jumpai di sepanjang jalan, juga menebarkan aroma rasa garlik yang menyengat. Mie, dengan berbagai jenis, merupakan makanan utama yang tak lepas dari aroma garlik itu.

Itulah sebabnya, tak jarang, selama city tour di berbagai penjuru Hong Kong, termasuk ke Pulau Lamma (di wilayah selatan), saya lebih suka membekali diri dengan roti dan susu. Itu agar saya tidak tergoda makan di sembarang restoran—yang tak steril dari bahan makanan yang haram. Barulah, ketika masuk ke kampus, saya memesan nasi goreng, mie, atau makan lain—dengan syarat proses memasak sebagaimana saya singgung di atas.

Alternatif lain, saya memasak sendiri di kamar apartemen ketika ada waktu yang cukup, terutama di akhir pekan. Maklum, saat itu sehari-hari saya harus aktif dalam kuliah tentang Budaya Amerika—dengan segala pernik-perniknya—dan harus tampil presentasi tiga kali dalam sepekan. Hampir tiada waktu longgar—kalau tidak untuk membaca, ya membuat paper; dan hanya saat jenuh saja saya jalan-jalan ke kota.

Meski hanya tinggal sekitar dua bulan di Hong Kong, rasanya sangatlah lama, bahkan terasa lebih lama dibandingkan masa tinggal saya di Amerika Serikat pada 1993—ketika saya mengikuti International Writing Program di University of Iowa. Di Amerika saya tidak pernah berkesulitan tentang makanan, mengingat Negeri Paman Sam itu juga dihuni oleh migran-migran dari seluruh dunia—sehingga makanan begitu beragam. Di resto-resto kampus malah disediakan berbagai menu makanan halal.

Dua bulan di Hong Kong, saya benar-benar tersiksa, kalau sudah dihadapkan dengan urusan makan. Di antara kesibukan peserta yang begitu padat, tak jarang semua peserta diajak untuk acara makan. Pada saat inilah saya biasa ekstra hati-hati dengan suguhan menu yang dihidangkan. Jangan sampai saya menyantap makanan yang tak halal.

Saya tidak pernah sehati-hati ini. Di Surabaya, apalagi, saya tidak pernah menggubris apakah makanan yang disediakan di warung tenda atau restoran itu halal atau haram. Saya hanya menduga, hewan yang dagingnya untuk makanan yang dijual itu telah disembelih atas nama Tuhan. Aneh, memang, di negeri orang saya terlalu berhati-hati tentang kehalalan makanan—sementara di negeri sendiri saya sering cuek dan menduga semua daging itu halal.

Begitulah gegar budaya makan saya di Hong Kong, yang menyita perhatian saya untuk melakukan adaptasi atau penyesuaian dengan warga Hong Kong secara umum. Sungguh, jika itu tentang rasa, bolehlah saya menyesuaikan diri dalam waktu relatif pendek. Namun, urusan halal-haram makanan pastilah membuat saya kelimpungan, dan perlu waktu cukup untuk hidup dengan kondisi demikian.*

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun