[caption id="attachment_349359" align="alignnone" width="640" caption="Sumber: http://sekolahdiluar.blogspot.com/"][/caption]
Oleh MUCH. KHOIRI
DALAM urusan makan, pernahkah Anda mengalami keterkejutan atau ‘gegar budaya’ (culture shock) dengan menu makanan dan budaya makan di suatu tempat baru? Ada benturan atau gesekan tertentu antara budaya makan yang mensanubari dengan saya selama ini dan budaya makan di tempat transaksional baru. Saya pernah mengalami gegar budaya makan ini.
Pertama terjadi saat saya dan isteri saling menyesuaikan menu makanan semasa pengantin baru di tahun 1992-an. Terus terang, kami tidak termasuk pasangan yang sukses dalam pacaran—sehingga tidak semua hal bisa saling kami pahami satu sama lain. Kami masih harus menyelami misteri masing-masing seiring bergulirnya waktu. Salah satu hal yang mendasar adalah soal makan dan makanan. Jangan keburu tersenyum dulu, mungkin Anda juga mengalaminya.
Pengantin baru, ah, alangkah manisnya. Hampir tiada satu pun yang diucapkan, disikapkan, dan dilakukan yang tak sedap dan manis di hadapan kami. Semuanya terasa nikmat, indah, dan nyocoki ati. Tentang makanan, juga demikian. Apapun yang disiapkan isteri terasa nikmat, dan tiada kesalahan di dalamnya. Seandainya ada kekurangan sana-sini, kami sebagai pasangan baru selalu saling memaklumi.
Namun, sejalan waktu, honeymoon is over. Hidup bukan hanya bulan madu, namun sebuah kenyataan yang terisi kemanisan, kemasaman, atau kepahitan. Pasangan bukan berarti menyamakan bentuk dan suara dua insan, melainkan mengharmoniskan irama permainan keduanya. Jangankan semuanya, lha bentuk jempol tangan kanan dan tangan kiri sendiri saja tidak sama.
Kembali soal rasa, saya dan isteri mengalami gegar budaya yang sebenarnya cukup kentara—bahkan cenderung kontradiktif. Saya asli Madiun, sedangkan isteri asli Pasuruan. Dala urusan seleran makan, kami memiliki perbedaan besar satu sama lain. Ini benar-benar representasi dua budaya yang telah berabad-abad dijunjung oleh masyarakat masing-masing.
Bayangkan, di antara persamaan di antara kami, dalam urusan makanan, saya representasi orang Madiun. Saya suka makanan yang bersantan, pedas, dan asin; sedangkan minuman utama saya: kopi hitam manis. (Terlebih, saya juga nyambi menulis, minum kopi suatu keharusan—saat itu sebagai pengiring kebiasan buruk saya: merokok.) Jadi, andaikata tersedia nasi punel, tempe goreng, dan sayur lodeh terong lombok hijau, saya pasti akan lekoh menyantapnya hingga suap terakhir. Demikian pun dengan nasi pecel khas Madiun—tidak ada istilah bosan.
Sementara, isteri suka makanan yang non-santan, sayur bening, semi manis, dan tidak pedas. Minumannya, cukup teh hangat. Jika ada menu makanan dengan nasi punel, sayur bayam bening, bothok, plus ikan laut—atau dengan sayur tahu semur—maka ia akan sangat menikmatinya. Andaikata diminta makan nasi pecel atau nasi sayur lodeh yang pedas, ia pasti hanya mencicip sedikit saja.
Itulah mengapa, khusus pada hari Sabtu dan Minggu, kerap pula kami memasak sayur dan lauk a-la daerah masing-masing. (Untunglah, kami sama-sama mantan mahasiswa indekost, sehingga urusan masak kami cukup lihai beraksi.) Saya memasak sayur dan lauk a-la Madiun, isteri memasak a-la Pasuruan—tentu dengan porsi secukupnya saja. Pada saat begitu, meja makan kami terisi dua paket menu yang berbeda—dan kami saling incip hanya sedikit saja.
Di luar hari Sabtu atau Minggu, saya tentu mengikuti sajian isteri. Namun, tak jarang pula—biasanya sekali atau duakali dalam sepekan—kami makan ke luar (outing), lazimnya ke warung-warung tenda di lapangan Karah Surabaya. Konyolnya, pesanan kami hampir selalu berbeda. Satu berkiblat Madiun, lainnya ke Pasuruan.
Gegar budaya dalam hal makanan ini terjadi di bulan-bulan awal pernikahan kami. Tentu saja kami menjalaninya bukan sebagai pemertajaman perbedaan, melainkan lebih memahami bahwa perbedaan itu ada dan harus saling diterima apa adanya. Kami dipersatukan, memang, bukan untuk saling meniadakan praktik-praktik budaya kami, melainkan untuk saling melengkapi dan menyempurnakan—agar irama melodi kami terdengar lebih merdu.
Seiring waktu, doa kami sakinah mawaddah warahmah terkabul. Rasa sayang jauh mengedepan daripada sekedar cinta-kasih. Semakin dalam rasa sayang, semakin hilanglah sekat tuntutan perbedaan yang menajam. Kami merasa saling menjadi bagian dari lainnya.
Akhirnya kami mengalami penyesuaian budaya(cultural adjustment), khususnya tentang makan dan makanan. Buktinya, lodehnya tak lagi terlalu asin dan pedas a-la Madiun, semurnya juga tak terlalu manis a-la Pasuruan. Lidah kami seakan sudah menjadi satu—saling melepas idealitas tuntutan selera makan, saling menerima perbedaan rasa menu. Inilah win-win solution.
Nah, jika Anda punya pengalaman serupa, jangan hanya pasang senyuman. Segera ambil bolpoin, bikin catatan poin-poin pengalaman itu, buka laptop, dan tuangkan semuanya di sana. Jangan berhenti mengetik hingga Anda mencapai 6000 karakter. Kalau sudah selesai, barulah Anda boleh tersenyum dan berbinar-binar. Senangnya tuh di sini.**
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H