Rumah adalah tempat melepas penat. Ia salah satu kebutuhan dasar manusia, setelah sandang dan pangan. Ia disebut papan karena tempat untuk mapan. Atau menetap. Bisa juga tinggal. Ia tempat bermula dan tempat kembali. Oleh kerena itu, banyak yang membangun rumahnya senyaman mungkin, bagai surga. Kata orang arab, Baiti Jannati. Rumahku adalah Surgaku. Jika seseorang harus terusir dari rumahnya, maka itu bagaikan tercerabut dari surganya. Surga yang ia ciptakan sendiri bersama keluarga dan lingkungannya. Begitulah kira-kira perasaan pengungsi. Pencari suaka. Atau dibeberapa tempat disebut manusia kapal.
Beberapa minggu lalu, kisah pengungsi kembali lagi menjadi berita. Sebanyak 241 pencari suaka dari beberapa negara konflik mendesak UNHCR untuk memberi kepastian terkait kondisi mereka. Para pengungsi tersebut 'berdemo' dengan membuat rumah-rumah tenda di trotoar depan kantor UNHCR di jalan kebon sirih Jakarta. Berhari-hari menginap di sana. Namun hingga saat ini, belum ada pertanda apa-apa dari UNHCR. Saya tidak tahu, apakah memang rumit urusan pengunsi ini. Untungnya pemerintah daerah siap memfasiliasi mereka pindah ke Islamic Center, untuk menjaga ketertiban dan keamanan. Para pengungsi ini adalah korban dari konflik yang melanda negara-negara mereka, untuk hijrah mencari tempat yang aman bagi masa depan mereka.
Betapa ketentraman itu mahal sekali harganya. Asas ketentraman lingkungan adalah bagaimana menjalin hubungan baik dengan tetangga. Maka Nabi Muhammad Saw. mengajarkan kita, bagaimana adab berhubungan dengan tentangga kanan dan kiri. Bahkan, memberi aturan-aturan yang jelas dan menempatkan tetangga dalam posisi penting. Bahkan nabi menyebut dalam hadist Aisyah r.a., dari Nabi Muhammad Saw. bersabda, "Tidak henti-hentinya Jibril memberikan wasiat kepadaku tentang tetangga sehingga aku menduga bahwa ia akan memberikan warisan kepadanya." Bahkan di hadist lain, Nabi menyebut menghormati tentangga adalah syarat penyempurna iman.
Ada kisah sedih ada pula kisah bahagia. Tak sedikit sebenarnya pengungsi yang sukses di tanah rantau. Dalam kisah hijrahnya nabi Muhammad Saw. misalnya, kita mengenal Abdurrahman bin Auf yang sukses berbisnis sesuai jiwanya. Ia hanya minta ditunjukkan pasar, tak lama kemudian ia menjadi orang terkaya di Madinah. Senada dengan kisah Abdurrahman bin Auf, beberapa pengungsi era kini mampu bertahan hidup bahkan sukses secara ekonomi. Sebut saja kisah Daniele Henkel, pengungsi Aljazair yang sukses bisnis kecantikan di Kanada. Atau Abdullah Bashir pengungsi Suriah yang sukses menjadi pengusaha manisan di Mesir. Mereka, menjadi inspirasi bagi banyak pengungsi untuk juga bisa sukses di negeri perantauan.
Namun yang menarik, saat ditanyakan apa mimpi terbesar Bashir sang pengusaha manisan di masa yang akan datang, ia menjawab singkat. Saya ingin kembali ke rumah. Ke Suriah. Karena mungkin bagi Bashir, ia begitu indah dan tak tergantikan. Ia adalah surga, meski tak ada harta di sana.