Firman Allah SWT yang kali pertama diturunkan, "Bacalah..."(QS. al-'Alaq [96]: 1) adalah indikasi kuat urgensitas literasi. Secara eksplisit, ayat ini memang mengandung titah membaca. Namun secara implisit, juga mengandung titah menulis. Pada ayat berikutnya, Allah SWT melanjutkan, "Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, yang mengajar (manusia) dengan (perantaraan) qalam." (QS. al-'Alaq [96]: 3-4) Secara etimologis, qalam bermakna pena. Ini menunjukkan, goresan pena merupakan setali dua ikat dengan membaca. Atau jika disederhanakan, keduanya menjadi istilah literasi.
Rasulullah SAW membacakan ayat-ayat al-Qur'an di hadapan para sahabat. Di samping juga memerintahkan mereka untuk menulis ayat-ayat al-Qur'an yang diwahyukan oleh Allah SWT. Lebih lanjut, Rasulullah SAW juga memerintahkan untuk menulis sabda beliau sendiri (baca: hadis). Kendati pada masa awal masih dilarang menulis apa-apa yang disampaikan Rasulullah SAW selain al-Qur'an, namun itu bukan larangan paten, sehingga yang boleh ditulis hanyalah al-Qur'an. Hal itu lebih pada penjagaan autentitas al-Qur'an. Khawatir ada kesimpangsiuran mengenai status al-Qur'an atau Hadis.
Konon, orang kali pertama yang diilhami intuisi literasi oleh Allah SWT adalah Nabi Idris AS, di samping juga memiliki keahlian seni desain pakaian. Pada dekade berikutnya, reportase (kegiatan peliputan) kali pertama dilakukan oleh Nabi Nuh AS, dengan mengutus reporter burung merpati, untuk meninjau wilayah yang sudah tidak tergenang air.
Ketika Islam pernah menggapai abad kejayaan (750 sd. 1258), penggeraknya tidak lain adalah literasi. Khalifah al-Ma'mun ar-Rasyid (berkuasa 813-833) saat itu menerapkan kebijakan agar tiap kampung dibangun perpustakaan, lengkap dengan ribuan literasi. Penjual literasi disubsidi dari uang negara, agar harganya tak lebih mahal dari sepotong roti.Â
Para penggiat literasi juga diberikan kompensasi yang tinggi, agar mereka bisa fokus berdiskusi tanpa harus 'dihantui' nafkah untuk anak dan istri. Tak tanggung-tanggung, kompensasi yang mereka terima adalah emas seberat timbangan buah karya mereka---termasuk sampul buku. Sehingga, tradisi literasi begitu hebat, masyarakat setelah sibuk bekerja di pasar misalnya, masih sempat berdiskusi.
Pada masa al-Ma'mun, Bait al-Hikmah---perpustakaan yang dibangun ayahnya, Harun ar-Rasyid yang awalnya berfungsi sebagai perpustakaan dan pusat penerjemahan---dilengkapi dengan observatorium. Pada masa itu tak ada pusat studi di belahan dunia mana pun yang mampu menandingi dan menyaingi kehebatan Bait al-Hikmah. Di Bait al-Hikmah, segala macam ilmu pengetahuan dikaji, diteliti dan dikembangkan oleh para ilmuwan. Studi yang berkembang pesat di lembaga itu antara lain; matematika, astronomi, kedokteran, zoologi, serta geografi.
Berkat kebijakan ini, lahirlah 'sarjana' brilian seperti Abu Yusuf Ya'qub bin Ishaq al-Kindi (801-873), filsuf Arab pertama yang banyak menerjemahkan karya-karya Aristoteles. Kemudian Muhammad bin Musa al-Khawarizmi (775-835), matematikawan terkemuka, penemu angka nol dan al-Jabar. Al-Khawarizmi menulis karya monumental kitab al-Jabr waal-Muqbalah; beliau telah menciptakan pemakaian secans dan tangens dalam penyelidikan trigonometri dan astronomi.
Begitulah sepenggal kisah literasi yang mendampingi lahirnya suatu peradaban. Mengingat peran literasi yang signifikan itu, dalam sejarah, sebelum literasi diterbitkan, pastilah melalui banyak pertimbangan dan tahapan-tahapan. Agar kelak setelah terbit, ia tak sekadar ada, tapi juga menjadi 'mutiara', dan siapa saja yang bisa masuk menjelajah ke dalamnya, akan menemukan mutiara terpendam yang tak ternilai itu.
Bukti gemilangnya dampak literasi bagi kemajuan (peradaban) suatu bangsa, kini bisa kita saksikan sendiri di negara-negara maju. Nyaris semua negara maju memberi subsidi besar pada literasi, sebutlah misalnya di sejumlah negara Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang, sehingga tak sedikit orang yang terbiasa mengisi waktu kosong atau waktu luangnya dengan membaca, mulai suratkabar, majalah, novel, buku non-fiksi, dst. Itu semua terjadi, apapun alasannya, juga berkat pemerintahnya yang sadar bahwa literasi perlu disubsidi.
Besar harapan dari penulis, ke depan Pemerintah juga terinspirasi sistem yang diberlakukan negara-negara maju---sebagaimana juga pernah diberlakukan oleh Khalifah al-Ma'mun---untuk memberikan subsidi untuk seluruh kegiatan literasi, mulai dari produksi, distribusi, dst. dalam upaya menghidupkan dan mengembangkan budaya literasi. Tentu saja, Pemerintah harus tidak lupa dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 158/PMK.010/2015 yang diterbitkan pada 12 Agustus 2015; bahwa industri literasi dikenai wajib pajak ganda, yaitu PPN literasi 10 % dan PPH royalti penulis 15 %.
Di samping itu, memang tak bisa dipungkiri, pada dekade terakhir, bangsa besar ini hanya mengalami kebudayaan lisan, lalu melompat pada kebudayaan audio-visual, dan sekarang begitu kaget dengan kebudayaan cyber (gadget). Kebudayaan literasi (baca-tulis) terlewati, dan sedihnya, terlupakan. Maka, sudah saatnya kita bangkit dari mati suri kita; yang tidak peduli dengan literasi. Kita memang mustahil mengubah dunia dengan---mengandalkan---literasi, namun setidaknya, kita ubah dunia kita untuk selalu menghiasi hari-hari dengan literasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H