Aku tidak tahu apa yang membuatku ragu. Aku sama sekali tidak bisa membenarkan perkataan orang-orang tentang doa. Katanya, doa itu bisa menari-nari dari lisan dan berlabuh di sebuah nisan. Katanya, doa itu bisa menembus pintu langit ke tujuh, dan menyampaikan permohonan kepada Tuhan. Katanya, doa itu bisa melebur semua kesalahan-kesalahan yang pernah diperbuat. Katanya, doa itu bisa menjelma pedang orang Islam. Katanya, doa itu bisa bisa membuat orang bisa melunasi hutang. Katanya doa itu bisa membuat hati kita sejuk dan damai.
Tapi sampai saat ini, aku masih belum bisa memercayai semua itu. Bagaimana mungkin? Lah wong buktinya sama sekali tidak kasat mata. Masih abstrak. Absurd. Dan sulit dipercaya. Buktinya, meski aku sering berdoa kepada Tuhan untuk melancarkan usahaku, agar bisa melunasi hutang, tapi sampai kini hutangku masih menumpuk. Dan bahkan semakin membukit. Aku selalu berdoa, agar Tuhan melenyapkan orang kafir, membuat semua umat manusia tekun beribadah, dan merukunkan semua umat manusia. Tapi kenyataannya, ah… aku tidak mengerti.
Sebenarnya, apa dan siapa yang salah? Aku benar-benar tidak mengerti. Ketidakpercayaan ini membikin hatiku panas dan gersang. Tidak pernah menemukan sebuah oase keindahan spiritual. Aku selalu berusaha melawan perasaan itu. Tapi tak pernah membuahkan hasil. Aku seperti sedang melawan arus air bah. Semakin aku melawan, aku semakin terpelanting jauh ke dalam jurang kebingungan. Ah, sampai kapan hati ini terus terusik dengan ketidakyakinan ini? Tuhan… aku tidak tahu, apakah bagi-Mu doaku ini akan terkabul, karena ketika aku berdoa ini sekalipun, hatiku tidak sepenuhnya yakin akan… ah, tidak usah diteruskan. Air kesedihan mulai menggenang dan membasahi di setiap bulu lentik mata ini.
***
Sepertiga malam akhir, aku juntaikan persendian tubuh ini di atas tikar sajadah. Berharap menemukan jawaban tentang pertanyaan-pertanyaan liarku selama ini. Aku sering dimarahi guru spiritualku. Bahkan dihujat habis-habisan. Aku hanya terdiam, meninggalkan anak panah kata yang telah membusur sedari tadi di kerongkonganku. Entah, apa yang membuatnya tidak menuruti perintah otakku. Tidak seperti biasanya, aku selalu bisa mengendalikan sekujur tubuhku dengan perintah otakku. Biasanya tidak sampai sepertiga sekon, anggota tubuhku sudah bisa aku kendalikan. Tapi tidak ketika ia menghujatku.
Entah karena mungkin ia terlalu karismatik, hingga membikin sekujur tubuhku segan bertingkah di hadapnya. Atau mungkin… ah, tapi yang sampai kini belum bisa aku percayai, mengapa otakku ini belum bisa mengambil keputusan seperti mereka. Menghormati guru yang sedang bebicara. Sebaliknya, malah tambah meluap-luap perasaan ingin menantang. Mungkin karena terlalu cerdas. Hingga meremehkan yang lain. Termasuk guruku. Atau memang karena hatiku yang telah membatu. Seperti beling diterpa hujan. Tetap melawan. Tapi, sekali lagi, aku tidak bisa mengendalikan organ tubuhku melalui perintah otakku. Lebih dari itu, sekujur tubuhku menjadi gemetar tak karuan. Pori-pori renikku mulai mengguyuri kulitku dengan peluh seni; ketakutan. Aku menyerah. Memilih diam. Dan menahan anak panah kata yang sudah membusur dan siap lepas menuju target sasaran.
Berkali-kali aku jatuh-luruhkan kepalaku, satu-satunya organ tubuh yang selama ini selalu menjadi kebanggaan, menyentuh tanah, terjungkal pantatku, organ tubuh yang biasa dianggap hina—dan kini berada di posisi lebih atas. Aku berharap, dengan posisi seperti ini bisa menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan nyeleneh-ku selama ini. Aku ingin hidup normal seperti yang lain; memercayai hukum alam yang telah digoreskan Tuhan. Tapi, sejauh aku mengharap, sejauh itu pula harapan itu semakin meliar.
***
Berbulan-bulan aku mencari jawaban liarku itu. Selama itu pula, aku sering dikucilkan ketika berbicara tentang kegundahan dan kebingungan yang menimpaku. Aku dianggap menyimpang dari rel; berpikiran liberal. Aku tambah bingung, yang harus aku percayai itu siapa, dan apa? Haruskah aku memercayai mereka, beserta keyakinan mereka? Lah wong selama ini ucapan-ucapan mereka belum pernah terbukti. Atau mungkin ada yang salah dalam diriku? Ah, tapi apakah Tuhan setega itu kepadaku? Yang aku tahu, Dia itu Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Pemberi, dan Maha Segala-galanya.
Sekarang, mungkin lebih baik aku berkomitmen untuk terus menjalani kegundahan ini. Aku yakin, suatu saat, jika aku terus berusaha, aku akan menemukan-Nya. Menemukan jawaban atas keisykalan-keisykalan yang selalu menghantuiku selama ini. Mungkin, ada yang salah dalam diriku. Sehingga membuat doaku masih tersangkut di atas atap rumahku. Guru spiritualku pernah menyampaikan, bahwa seorang yang masih belum bisa menjaga makan, minum, pakaian, dan hal lain yang berkenaan dengan dirinya, doanya tidak akan diterima di sisi-Nya. Mungkin inilah yang membuat doaku tidak pernah terkabul. Bukan salah Tuhan yang tidak pernah memberi. Tapi memang murni kesalahanku, yang tidak pernah mau menyadari.
***
Aku mulai menikmati perjalanan hatiku. Meski terkadang, walau sebentar, masih terbersit pertanyaan-pertanyaan liar dan nyeleneh yang sudah berusaha aku pendam. Dan, alhamdulillah, kini sudah mulai bisa menikmati indahnya keteduhan spiritual; memohon sebanyak-banyaknya kepada Tuhan. Tuhan Maha Pemberi. Tuhan Maha Penyayang. Dan, Tuhan Maha Segala-galanya. Aku ingin selalu menjatuh-luruhkan kepalaku menyentuh tanah, meski harus terjungkal pantatku.
Aku mulai yakin, seyakin-yakinnya, jika aku terus berdoa, dan menekuni ibadah, Tuhan akan mengabulkan segala permohonanku; memohon agar aku diberi ketenangan dunia dan akhirat. Memohon agar aku bisa menikmati keindahan dan kenikmatan surga. Memohon agar aku bisa selamat dari jilatan api neraka. Memohon agar bisa hidup bahagia, tanpa hutang dan dengan kekayaan yang melimpah. Dan, tentunya, aku ingin mempunyai istri cantik yang shalihah. Meski masih abstrak, paling tidak, aku sudah punya modal; berdoa.
***
Masalahku kini berubah. Aku sudah tidak lagi membangga-banggakan tarian doaku di sela-sela sujudku ketika menghadap-Nya. Semakin aku berdoa; memohon kepada-Nya, hatiku mulai menjuntai padi. Aku mulai merasa malu bermunajat kepada-Nya. Aku mulai menyadari, betapa cinta-Nya begitu besar kepadaku. Mulai memberikan kesempatan hidup, membikin hidupku menjadi lebih baik, hingga bagaimana aku merasakan kenikmatan beribadah dan berdoa. Dia begitu menyayangiku dengan tanpa pamrih. Tanpa balas budi. Dan tanpa kompensasi.
Tapi selama ini, aku sama sekali tidak membalas cinta-Nya. Aku terus menuntut sesuatu dari-Nya. Tanpa berpikir untuk memberikan sesuatu kepada-Nya. Paling tidak, aku bisa memberikan cintaku kepada-Nya. Tidak menduakan cinta-Nya dengan makhluk-Nya; tidak lagi berharap mempunyai harta melimpah dan istri cantik agar bisa bangga di hadapan manusia. Aku pikir, tidak ada untungnya aku mendapatkan semua itu. Sebentar lagi, aku pasti mati. Setelah itu, aku hanya dibungkus kain putih dan ditinggalkan di dalam liang lahad. Sendirian. Tanpa ada seorang pendamping. Hartaku sia-sia aku cari. Istriku juga akan menikah lagi; membuatku menduda di bawah batu nisan.
Aku sadar, selama ini aku telah mengotori cintaku kepada-Nya. Meski aku selalu mengaku di setiap sujudku ketika menghadap-Nya, bahwa aku hanya mencintai-Nya, tapi kenyataanya cintaku kepada-Nya masih terkalahkan oleh cintaku kepada makhluk-Nya. Aku masih bangga dengan sejagat pujian manusia, dan masih sakit hati dengan sejumput cercaan manusia. Meski aku selalu menunaikan ibadah, kenyataanya aku bukan semata-mata mengharap rida-Nya. Tapi karena surga semata, dan punya impian kelak akan meminang berjuta bidadari dengan setangkai bunga…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H