Mohon tunggu...
Mubas Sahmi Ilyas
Mubas Sahmi Ilyas Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mubas Sahmi Ilyas, alias Muhammad Abbas Busro lahir di Bangkalan, 09 Desember 1988 M. Ia adalah sastrawan muda pesantren. Pernah mengenyam pendidikan agama di PP. Al-Hasyimiyah (Sekarang Nurul Hasyim), Modung, Bangkalan, PP. Darul Falah, Bangsri, Jepara, dan PP. Sidogiri, Kraton, Pasuruan. Pernah aktif menjadi Pustakawan Perpustakaan Sidogiri (2007-2010), Ketua Omim (Organisasi Murid Intra Madrasah) Aliyah Madrasah Miftahul Ulum Pondok Pesantren Sidogiri (2012-2013), Wakil Kepala Badan Pers Pesantren Pondok Pesantren Sidogiri (2013-2014), Staf Redaksi Majalah MAKTABATUNA (2009-2010), Pimpinan Redaksi Buletin NASYITH (2011-2012), Redaktur Pelaksana Rubrik Sastra Majalah IJTIHAD (2011-2012), Pimpinan Umum dan Editor Majalah IJTIHAD (2012-2013), Redaktur Pelaksana Buletin Istidlal (2015-2016), Pemimpin Redaksi Buletin al-Ummah (2015-2016), dan Editor Buletin al-Ummah (2016-sekarang). Ia mengaku mulai terjun dalam dunia tulis-menulis sejak duduk di bangku kelas 1 Tsanawiyah Madrasah Miftahul Ulum Pondok Pesantren Sidogiri. Ia juga sempat menduduki juarai I kategori Lomba Insya’ Arabi (penulisan karya tulis ilmiyah berbahasa Arab) di Hari Jadi ke-272 Pondok Pesantren Sidogiri. Karya-karyanya bertebaran di media-media pesantren, mulai dari puisi, cerpen, esai, artikel, dan sebagainya. Kini ia hanya mengisi hari-harinya dengan bermain-main dengan keyboard dan mengembara dalam dunia imajinasi. Bagi yang ingin mengirimkan kritik dan saran, bisa menghubunginya melalui: 1) Pin BBM: 565A40BD; 2) Email: mubas.sahmiilyas@gmail.com; 3) Facebook: www.facebook.com/mubas.sahmiilyas; 4) Twitter: www.twitter.com/MubasSahmiIlyas; kompasiana: www.kompasiana.com/mubas.sahmiilyas; dan 5) Blog: www.mubassahmiilyas.blogspot.com.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sampai Menutup Mata

23 Oktober 2013   08:43 Diperbarui: 10 Mei 2017   11:33 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam semakin menua. Semakin sunyi dan senyap. Dinginnya terasa menyeruak dalam tulang sumsum. Sementara suara jangkrik menjerit-jerit saling menimpali. Semilir angin pun mendesir, mengucapkan salam pada dedauanan. Rembulan tersenyum melihatku. Seakan ia tahu apa yang terlintas dalam benakku, dan juga teman-teman seperjuanganku. Sebuah malam yang akan memisahkan kami dari telaga ilmu ini.

Aku hanya tercenung di serambi asrama Pesantren sambil bercumbu dengan gumintang. Kelihatanya mereka saling berdialog sambil berkejap-kejap di atas langit. Ada siluet wajah Rizkia di sana. Gadis terbaik yang menjadi bagian dari masa laluku. Dan juga wanita masa depanku. Wajah itu menyiratkan bayang-bayang sebuah pertemuan antara dua merpati yang telah lama terpisah oleh lautan di antara pulau Jawa dan Madura.

“Sal…! Ra Zain memanggilmu.” ujar Sulaiman, temanku, menyadarkanku dari khayalan itu.

“Ya, aku segera ke sana!” Aku bergegas masuk ke kamar mengambil kopyah dan baju putih lengan panjang. Kemudian aku beranjak pergi menuju depan dhalem Kiyai. Aku menunggu beberapa detik. “Ada apa, ya?” batinku bertanya-tanya.

Detik kemudian ada suara memanggilku; ”Faisal!” suara Ra Zain memanggilku. Ia sudah tegak berdiri di depan pintu dhalem. Aku hanya menganggukkan kepala sembari melangkah pelan untuk sungkem kepadanya. “Aba memanggilmu di dalam.” kata Ra Zain sembari masuk ke dalam.

Aku mengekor di belakangnya. Kulihat, di sana sudah ada dua teman seperjuanganku, Abdurrahman dan Musyfiqurrahman. “Kemari, Sal! Duduk di sini!” panggil Kiyai.

Aku hanya mengangguk pelan sembari melangkah terjuntai, untuk sungkem. “Ada kiriman faks dari Bali, NTB dan Aceh Utara. Mereka semua sama-sama mengajukan permohonan Dai untuk bulan Ramadan nanti. Dan, hanya kalian bertigalah yang saya anggap mampu menjalani tugas ini. Saya tidak memaksa kalian. Kalau kalian keberatan, saya akan mencari yang lain. Tapi saya mengharap kalian mau menyanggupinya.” harap Kiyaiku yang penuh karisma itu.

Aku hanya diam tertunduk penuh ta’zhim. Aku bingung. Hatiku dilanda sekelumit dilema. Di satu sisi, aku harus menyanggupi permintaan Kiyai untuk menjalankan tugas. Di sisi lain, aku harus memenuhi janjiku pada Rizkia untuk nikah sirri pada pulangan nanti. Tapi apakah aku harus menolak permintaan Kiyai, yang telah bertahun-tahun mengajariku ilmu agama? Bukankah jasanya padaku begitu besar? Lantas apa yang dapat aku berikan padanya? Durhakalah aku, jika aku sampai menyinggung perasaan seorang Kiyai, yang jasanya sekian banyak padaku. Apa lagi sampai menyakiti hatinya. Oh… tidak, aku tak berani. Aku masih termangu dalam diam. Tiba-tiba ada sinar hidayah yang lahir dari nuraniku. Hingga aku mampu menumbuhkan komitmen dalam jiwa ini; “Mungkin, dengan ini aku bisa mendapatkan barakah darinya.” seru batinku.

“Baiklah, saya menyanggupi permintaan Kiyai.” tegasku.

“Kami juga!” sahut Abduh dan Musyfiq bersaman. Suaranya membentuk koor.

“Mulai sekarang, saya tetapkan tempat tugas kalian. Faisal, tempat tugasmu di Bali. Berangkatnya nanti sekitar jam 02.00 WIB. Abduh, kamu bertugas di NTB. Mungkin, berangkatnya besok lusa di jam yang sama. Untuk Musyfiq, kamu bertugas di Aceh Utara. Tapi mengenei keberangkatanmu masih menunggu informasi selanjutnya.” jelas Kiyai dengan nada lembut.

Kini, semua khayalan yang kurajut, menjadi mimpi-mimpi. Mimpi atas keterjagaanku yang hanya menyisakan senyap dan sunyi. “Rizkia…, maafkan aku! Aku harus pergi. Aku yakin, engkau mau mengerti atas keadaanku ini.” rintih batinku. Sungguh liburan mendatang ini akan menjadi sejarah memilukan bagiku dan dirinya. “Sabarkanlah dan kuatkanlah jiwa hambamu yang hina ini, ya Allah...”

***

Sampai di bandara Juanda Surabaya, aku langsung menuju Masjid untuk menunaikan ibadah salat Shubuh berjamaah. Barulah aku mencari wartel untuk menghubungi orangtuaku. Untuk memberi tahu tentang ketidakpulanganku, sekaligus keberangkatanku ke Bali untuk berdakwah atas titah Kiyai. Tapi saat itu, tak satupun wartel yang buka pada dini hari. Aku duduk di atas kursi panjang bandara. Hatiku resah dan bertanya-tanya, berpikir mencari solusi. Bagaiamana caranya aku memberi kabar pada orang tuaku. Aku tak mau mereka gelisah dengan keberadaanku. Akankah aku berangkat tanpa mendapatkan restu dari orang tua? Sementara jarum jam yang terpaut di dinding bandara itu sudah menunjukkan jam 05.00 WIB.

“Tinggal setengah jam lagi.” lirih batinku. Sebelum segurat kebingungan itu mereda dari benakku, tiba-tiba…

“Help me…! Help me please!” Kudengar ada seorang gadis berteriak minta tolong. Teriakan itu menusuk gendangan telingaku, hingga membuatku tersadar. “Masyaallah, apa yang telah terjadi?” Refleks aku belari-lari kecil, sementara mataku mencari-cari teriakan memilukan itu. Kulihat ada seorang pria berjaket hitam dengan postur tubuh yang besar sedang berlari membawa tas merah. Aku paham sekarang, laki-laki itu baru merampas tas wanita bule itu. Pria itu lari menuju ke arahku. Sementara di belakangnya ada beberapa orang yang mengejarnya, dan… “Gedebuk…!” Ia terjungkal di depanku, setelah aku sepak kakinya. Ia merintih kesakitan. Secepat kilat kusambar tas yang melekat di tangan penjambret itu.

“Kena kau, bangsat!” ujar salah satu dari yang mengejar pria itu.

“Hajar saja! Biar kapok!” timpal yang lain.

Dalam sekejap, massa datang menghampirinya, lantas menghajarnya hingga lelaki itu babak belur.

Satpam pun datang terlambat segera mengamankan pria yang tak berdaya itu. Pria itu terus melirikku dengan mata membelalak. Menunjukkan sarat dendam yang memanas di raut wajahnya yang sedikit memerah. Geram.

Thanks so much, Sir! ujar gadis itu.

You are welcome!” balasku singkat sembari menyerahkan tasnya.

“By the way, what’s your name?” Ia memenjangkan tangannya untuk menyalamiku.

Aku masih ragu. Haruskah aku menyalami bule itu? Sedangkan Islam melarang kaum pria bersentuhan dengan kaum wanita yang bukan mahramnya. Akhirnya, aku memutuskan menjawab dengan isyarat mengatupkan kedua telapak tangan seraya mengangkatnya hingga sejajar dengan dada. “My name’s Faisal Ahmad.”

“Ups, I’m sorry...! Islam forbids us to do it.” ujarnya seraya menyunggingkan senyum.

Mendengar pernyataannya, serentak aku terkejut dan timbul tanda tanya. Mungkinkah ia seorang muslimah? Ataukah ia termasuk non-muslim yang mempelajari Islam dengan upaya menikam umat Islam dari belakang? Ah, tidak! Aku tak boleh ber-negative thinking pada siapapun, karena agama melarang hal itu. Cukuplah Allah yang Maha Mengetahui segala sesuatu yang abstrak.

“My name’s Monica.” Ucapnya. Melebur khayalku.

“Pleased to meet you.” kataku dengan senyuman yang kupaksakan. Bukan untuk menarik perhatiannya. Bukan juga untuk menggodanya. Tapi Rasulullah SAW mengajari umatnya agar bersikap ramah-tamah terhadap semua orang.

Setelah lama aku berbincang-bincang dengan Monica, tiba-tiba aku teringat orang tuaku. Tapi bagaimana aku bisa menghubungi mereka? Ah, kenapa aku tidak jujur saja pada gadis bule itu. Mungkin ia bisa membantu.

Excuse me, would you mind if l borrow your hand phone.” harapku.

“It’s my pleasure. Please!” Monica mengeluarkan Hp dari dalam tas merah yang baru saja dijambret itu. “Rupanya, gadis bule ini baik juga.” gumamku dalam hati.

Kuraih Hp yang terjulur dari tangan yang berhias lukisan indah di setiap kuku jari-jemarinya.

Sejurus kemudian, aku menghubungi Abi.

“Halo, assalamualaikum. Ini aku, Faisal, Bi.”

Waalaikumsalam. Kamu ya, nak. Ada apa?”

“Sebelumnya, Faisal minta maaf, Bi. Mungkin liburan sekarang saya tidak pulang, karena Kiyai mengirimku ke Bali untuk berdakwah. Lapangkan jiwa Abi untuk merestui keberangkatan Faisal. Sekali lagi, maafkan Faisal Bi, karena Faisal baru mengabari Abi.”

“Kalau memang demikian, nak, Abi dan Ummimu rela, nak. Hati-hati di jalan, ya! Jangan sampai lupa salat dan ngaji, meski di manapun engkau berada. Doa orang tuamu pasti menyertaimu.”

“Terimakasih, Bi. Pesan Abi senantiasa saya ingat selalu. Salam buat Ummi, Mbak Emas dan adik ya, Bi. Assalamualaikum.

“Waalaikumsalam.”

Usai menghubungi Abi, aku kembalikan Hp yang dipinjamkan Monica. Detik kemudian, kembali aku teringat Rizkia. Gadis yang selalu menghiasi hidupku dengan senyum, tawa, dan kasih sayangnya. Ah, sekarang aku harus memberitahunya. Tapi bagaimana caranya? Sedangkan ia tak mungkin bisa menerima telepon dariku. Setahuku, di pesantrennya, ia tidak boleh menerima telepon di atas jam dua belas malam sampai jam tujuh pagi.

“Hi…! What’s going on?” Monica menyadarkanku sembari melambaikan tangannya berkali-kali di depan mataku.

“Oh no, nothing!” jawabku. Tergagap. “I’m sorry. Now, I must go.” lanjutku seraya mengambil ranselku yang sedari tadi berada di sampingku.

“Hemmm…, where will you go?” Monica meraih tanganku. Mencegah kepergianku.

Astaghfirullah, apa yang telah dilakukan Monica? Rizkia yang setatusnya adalah tunanganku, namun sekalipun ia tak pernah menyentuhku.

“I wanna go to Bali.” jawabku sembari mengangkat tangan gadis itu, yang masih melekat di tanganku.

“So do I. Would you mind, if you go together with me?” pintanya.

“Okay, please!” jawabku dengan nada rada berat. Suaraku lirih.

Sebelumnya, aku tak pernah menyangka akan kenal dengan seorang gadis yang Negara, budaya, dan agamanya berbeda denganku. Ya Allah, kuserahkan semuanya kepada-Mu. Karena hanya Engkaulah yang Maha Mengetahui.

***

Aku meluncur bersamanya, melewati gedung-gedung yang menjulang, gunung dan sawah yang indah bak lukisan yang dibingkai dalam khayalan, lautan membentang luas dengan riak gelombangnya, bagai permadani biru yang sedang dihamparkan. Kini pesawat yang kutumpangi mendarat di bandara Ngurah Rai, Legian. Selama di pesawat, Monica banyak bercerita tentang masa lalunya. Ia menceritakan kisah perjalanan spiritualnya memasuki agama Islam. Wonosari, sebuah dusun kecil di kelurahan Dauh Puri, yang lebih dikenal masyarakat dengan sebuatan kampung jawa, menjadi saksi bisu peristiwa yang sangat bersejarah baginya, saat ia melantunkan dua kalimat syahadat. Ia juga menceritakan perubahan namanya, dari Monica Alliance Sally menjadi Monica Alya Zamira, yang ditranslasi dari bahasa Arab, Munqatuz-Zumrah al-Aliyah, yang bermakna sumber golongan orang yang mulia.

Ternyata gadis berambut pirang keemas-emasan itu benar-benar seorang muslimah yang telah mendapat cahaya hidayah-Nya. Ternyata ia juga beragama Islam, hanya saja ia masih belum sepenuhnya berpenampilan sebagaimana seorang muslimah. Berkerudung dan berpakaian tertutup. Mudah-mudahan perubahan namanya bisa membimbingnya menjadi seorang muslimah yang betul-betul shalihah. Termasuk dari golongan orang-orang yang mulia di sisi-Nya, seperti nama barunya. Dan berpredikat husnul-khatimah, jika sudah saatnya ia kembali ke pangkuan-Nya.

Ah, ternyata prediksiku salah. Pantas saja, dulu ia langsung faham dengan isyarat yang aku berikan, ketika ia menjulurkan tangannya kepadaku untuk bersalaman, ketika di bandara Juanda Surabaya.

Ketika aku sampai di bandara Ngurah Rai, ia masih setia bersamaku. Ia juga bersikeras untuk mengantarkanku ke tempat tugasku. Namun, akhirnya ia mau mengurunkan niatnya setelah ada seorang pria yang membawa sebuah papan yang bertuliskan “Penjemput Dai Pasuruan”. Mungkin ia suruhan PJD. Kulihat, di wajah Monica tersirat raut kekecewaan, ketika ia tahu bahwa aku sudah ada yang menjemput. Tiba-tiba, tangannya menjulurkan sesuatu kepadaku.

“It’s for you. Please take!”

“What is this? Tanyaku sembari mengambil pemberiannya, yang agaknya sebuah kartu nama.

“You can call me up, whenever and wherever.” Ia berharap aku bisa menghubunginya dan bisa talking, walau hanya sebatas lewat udara. Semoga aku masih bisa bertemu kembali dengan gadis cantik itu, Monica Alliance Sally. Ah, bukan. Maksudku Monica Alya Zamira.

***

Sampai di tempat tugas, Desa Pegayaman, aku disambut begitu ramah oleh penduduk warganya yang mayoritas beragama Islam. PJD, yang biasa dipanggil Guru Wayan betul-betul telah menyediakan fasilitas dan semua kebutuhanku di sana.

“Inilah tempat istirat Ustadz.” Ujar Guru Wayan. “Silakan Ustadz beristirahat dulu. Ustadz mungkin sangat lelah, bukan?” lanjutnya penuuh keramahan.

“Terimakasih banyak. Jangang repot-repot Guru!”

“Ini semua sudah menjadi kewajiban kami. Jadi Ustadz ndak usah berterimakasih begitu.” Jelasnya. “Oh ya! Hp ini buat Ustadz. Anda bisa menggunakannya untuk menghubungi orangtua dan keluarga Anda. Agar Ustadz tetap bisa berkomunikasi dengan mereka. Sekalian menjadi pengobat rindu Ustadz kepada mereka.” candanya sembari memberiku Hp cantik berwarna hijau.

Setelah berbincang-bincang dengan Guru Wayan, kubuka daun pintu kamar dengan pelan, “Subhanallah! Kamar yang luas dan indah.” Gumamku dalam hati. Semuanya tertata rapi. Tepat pada dinding di atas kasur empuk itu terpajang sebuah lukisan kaligrafi al-Qur’an yang bertuliskan La haula wa la quwwata illa billah. Di sebelah kanan tempat tidur itu, ada permadani yang ditumpangi sebuah sajadah. Tempat salat. Kamarku juga bersebelahan dengan kamar mandi. “Sungguh, aku sangat beruntung bisa bertugas di kampung Pegayaman ini. Barangkali ini berkah doa Kiyai, sehingga segalanya terpenuhi.”

Aku rebahkan tubuhku di atas ranjang untuk melepaskan kepenatan. “Rizkia…!” kembali aku teringat Rizkia. Ah, aku harus menghubunginya dengan Hp yang kuperoleh dari PJD. Ia pasti di rumahnya. Setahuku, hari pulangan di Pesantrenku selalu bersamaan dengan pulangan di Pesantrennya. Dulu kan mbakku mondok di sana. Jadi aku tahu hari pulangan di sana.

“Halo, assalamualaikum.” ucapku memulai pembicaraan.

“Waalaikumsalam.” jawab yang di sana. Dari suaranya, seperti ibu Rizkia.

“Bisa bicara dengan Rizkia?”

“Kamu siapa?”

“Saya Faisal, Tante!”

“Oh, kamu ya nak! Sebentar tante panggil dulu.”

“Baik, Tante.”

Ibu Rizkia memanggilnya. Tak selang beberapa lama Rizkia menerima telepon dariku.

“Assalamualaikum.” Rizkia menguluk salam memulai pembicaraan.

“Waalaikumsalam.”

“Kamu ya, Mas. Kapan ke sini?”

“Riz, hemmm…, sekarang aku ada di Bali.”

“Mas pasti bercanda!” tebaknya. Penuh canda.

“Aku ndak bercanda, Riz. Aku sungguh-sungguh. Kiyai memerintahku untuk menyebarkan ilmu di Bali selama bulan Ramadhan. Aku berharap, engkau bersabar menantiku. Tabahkanlah hatimu… tegarkan jiwamu… setegar karang di lautan!”

Ia tak bersuara. Ia tetap diam. Namun rintihan tangisnya sangat kentara kudengar.

“Maafkan aku, Riz! Kemarin aku tak sempat menghubungimu. Berdoalah… semoga tercapai segala asa dan cita kita. Pasrahkan cinta kita kepada-Nya. Sabarlah… kita sedang diuju… berarti Allah masih sayang sama kita.”

“Baiklah! Hati-hati di sana! Jangan lupa, jaga hati!” ucapnya sambil terisak-isak. Ia memang sangan sensitif. Kekanak-kanakan. Dan cemburuan. Tapi aku sangat mencintainya.

“Terimakasih, Riz! Engkau memang gadis terbaik yang pernah berlabuh dalam hatiku. Assalamualaikum.

“Ya. Waalaikumsalam.

Alhamdulillah, Rizkia mau mengerti. Guratan galau yang sempat menyekap diriku telah lenyap. Hatiku menjadi lega. Seakan baru saja mengangkat barang berat. Aku sangat beruntung memiliki tunangan sepertinya.”

***

Sebuah dini, aku membuka lemari di sebelah kiri pintu menuju kamar mandi. Aku memilih baju takwa putih untuk salat subuh. Setelah aku mengambilnya dari dalam lemari, kulihat ada sesuatu yang terjatuh. Agaknya sebuah kartu nama. “Inikan kartu nama Monica?” Aku tercengang teringat pada gadis muallaf berasal dari Negeri Paman Syam itu. “Ndak ada salahnya, kan, aku menghubunginya?” batinku. “Tapi aku belum salat! Ah, aku salat dulu. Para jamaah pasti sudah menungguku di Masjid. Neleponnya nanti aja. Biar lebih elegan, santai dan tenang.”

Usai salat Subuh, kuambil Hp yang masih setia di-charger di atas meja. Aku mencoba menghubungi Monica, tapi tidak diangkat. Aku coba lagi, tapi tetap saja tak bisa. Aku telepon berulang-ulang hingga tiga kali, tapi tetap tak diangkat. “Ah, aku kirim SMS saja. Mungkin ia masih belum bangun.” gumamku dalam hati.

To: Monica

“Hi Monica! How are you getting a long? By the way, where do you stay, now? Actually, I do miss you. But I don’t know, what will I do to meet you.”

Sender: Faisal

04-09-2008 05.17

Aku menunggu balasan dari Monica. Menunggu dan menunggu. Hingga mata ini memaksaku untuk terlelap setengah sadar. Maklum, tadi malam aku tidak tidur sampai sekitar jam tiga. Baru terlelap sebentar, sebelum sahur.

“Di daun yang ikut mengalir lembut terbawa sungai ke ujung mata…” suara Hp-ku bernyanyi menandakan ada orang yang menelpon. “Monica. Ya, Monica. Mungkin, SMS-ku sudah ia baca.” Pikirku.

“Hello. Assalamualaikum.” Ia mengucapkan salam. Meski tidak sefasih orang Arab.

“Waalaikumsalam.”

“How are you, Faisal?”

“Alhamdulillah, very well, thanks’. And you?”

“Well too. Heemm…, can you help me?”

“What can I do for you?”

“Can you teach me about Islam?”

“Allah willing, insya Allah, I can.”

“Where are you staying?”

“In Pegayaman Village.”

“Okay! I’ll go to there.”

“Please! I wait you.”

“Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.”

Monica ingin menjadi muslimah sejati. Ia ingin menyempurnakan Islam yang sudah hampir satu tahun ia jalani. “Ya Allah, semoga ia betul-betul mau berubah.” doaku dalam hati.

“Tapi, apakah mungkin aku bisa mengajarkan hukum-hukum secara pribadi padanya. Sedangkan di sini, setatusnya aku hanyalah seorang pendatang yang diundang agar berdakwah untuk mereka. Bukan untuk Monica?” batinku. “Apa yang harus aku lakukan, ya?”

Aku terus berpikir mencari solusi, tiba-tiba aku teringat Naela. Ya, Naela. Gadis yang setiap hari selalu menyiapkan makan sahur dan buka untukku.

Monica adalah salah satu santri Guru Wayan yang mengabdi padanya. Ia mendapatkan bagian agar melayaniku dan memenuhi kebutuhanku. Tapi apa mungkin ia mau membantuku? Selama ini, kan aku tidak pernah berkomunikasi denganya. Ah, aku coba saja. Tidak ada salahnya, kan, aku mencoba. “Biasanya, pagi-pagi seperti ini ia sedang bersih-bersih di ruang tamu.”

Serta-merta aku keluar dari kamar menuju ruang tamu untuk menemui Naela. Kulihat gadis itu sedang menyeka peluhnya yang merembas di keningnya.

“Assslamualaikum.” sapaku memulai pembicaraan.

Waalaikumsalam, Ustadz!”

“Rajin banget nih, hari ini!” sanjungku.

“Ndak juga. Ustadz itu, kalau sedang ceramah pasti semangat banget. Aku kagum sama Ustadz. Ustadz bikin para audians tercengang mendengar ceramah Ustadz. Ustadz memang pintar membawa jiwa element mereke melangkah lebih jauh. Bahkan menghilang. Aku sangat kagum sama Ustadz. Hanya dengan beberapa hari saja, warga kampung sini sudah mengalami perubahan yang cukup menggembirakan.” Naela membalas sanjunganku. Tapi agaknya terlalu berlebihan.

“Kamu bisa aja! Sebenernya, aku menyapaikan semua itu biasa-biasa saja. Jujur, semuanya aku lakukan semata-mata li I’lâ’i kalimâtillâh. Kamunya saja yang berlebihan memuji saya.”

“Tapi kenyatanya memang seperti itu, kok.” Naela mengelak.

“Ya, mungkin saja itu tergolong adagium Arab; kullu mâ kharaja minal qalbi dakhala ilal qalbi; Setiap suatu yang keluar dari hati maka akan masuk hati. Terus terang, aku menyampaikannya dari hati nuraniku.” jelasku. “Naela…, hmm, sebenarnya saya butuh bantuanmu. Tapi…”

“Tapi apa? Apapun akan saya lakukan, kalau Ustadz minta!.” Ia memotong pembicaraanku.

Aku ceritakan semua tentang Monica. Sejak kali pertama aku bertemu dengannya di bandara, dengan detail, urut, jelas dan terprinci.

“Kira-kira kapan ia mau ke sini?

Insyaallah, hari ini.”

“Baikalah, nanti Naela yang ngurus.”

Alhamdulillah, terima kasih ya Allah. Engkau telah memberikan jalan terbaik untuk hamba sahayamu ini. Semoga mereka berdua bisa bersahabat dengan baik. Walaupun beda budaya dan Negara. Yang penting mereka saudara dalam Islam dan iman.” doaku dalam hati.

***

Hari pun berlalu. Dengan kehendak Allah yang Maha Segalanya, Naela giat sekali mengajari Monica tentang agama setiap pagi, siang, sore dan malam. Begitu pula dengan Monica. Ia begutu antusias mendalami agama Islam. Bahkan kini mereka telah menjadi sahabat yang angkrap. Tak ayal, dalam waktu yang singkat, gadis bule itu sudah berbusana muslim, menjadi wanita yang saleha menekuni abadah-ibadah yang telah Allah titahkan dalam kitap suci al-Qur’an. Ia kelihatan lebih cantik dengan kerudung hitam dan gaun putih yang menutupi seluruh tubuhnya.

***

Senja mulai menenggelamkan matahari. Suara qiraah al-Qur’an sudah mulai mengalun di masjid. Saat itu adzan Maghrib akan segera tiba, umat Islam sibuk menyiapkan hidangan untuk berbuka puasa dan melepas dahaga. Begitu pula dengan Naela. Rupanya ia sudah menghidangkan menu kesukaanku. Aku duduk santai di atas anyaman bambu sambil menghelai tasbih di depan rumah Guru Wayan.

“Assalamualaikum.” Kudengar ada suara Monica menyalamiku.

“Waalaikumsalam.” Ternyata benar Monica. Tapi ada yang aneh dalam dirinya. Matanya berkaca-kaca. Seakan ia baru menangis.

“I wanna tell you about something.” ujarnya.

“What about?”

“Tadi siang, waktu Naela mengajariku tentang masalah menstruasi, Guru Wayan memanggilnya. Lalu ia pergi mematuhi perintah Guru. Tanpa sengaja, aku membuka agenda yang selalu ia bawa. Hatiku terkejut ketika membukanya. Ternyata, Naela diam-diam mencintaimu. Ia tumpahkan perasaannya dalam agenda itu.” Jelasnya.

Aku hanya terdiam pilu. Di raut wajahnya, aku melihat segurat kekecewaan.

“Aku ingin engkau mencintinya. Demi aku. Demi persahabatanku. Persahabatanmu. Untukku. Dan untukmu.” lanjutnya sembari melangkah pergi dengan langkah gontai.

“Monica…, wait me please!” Aku berusaha mencegahnya. Tapi ia tak menoleh sedikitpun. Aku hanya terdiam pilu. Kakiku tak kuasa mengejarnya. Aku hanya melambaikan tanganku ketika ia pergi masuk rumah.

Jiwaku remuk. Hatiku patah. Dunia menjadi gelap. Hanya ada rasa galau. Resah. Dan gelisah. Serasa ada air kesedihan yang terbuai dari kelopak mata ini. Dan air bening itu semakin menganak singai di pipi. Ya Allah, apa yang sebetulnya terjadi? apa di balik air mata Monica? Mungkinkah ia juga menyimpan rasa cinta padaku? Monica memang baik, Naela juga baik, bahkan aku tak ingin berpisah dengan mereka. Tapi aku tak bisa mencintai mereka. Dalam hatiku hanyalah ada Rizkia. Aku hanya mencintainya. Aku tak ingin bercinta lagi selain dengannya.

“Apa yang harus aku perbuat. Apakah aku harus mencintai Naela? Ataukah Monica? Dan melupakan semua tentang Rizkia?” Pertanyaan itulah yang terus bertubi-tubi menghantuiku.

***

Setelah salat terawih, aku mencari Monica untuk memberi sekadar penjelasan mengenai dirinya. Naela, dan orang sudah menjadi bagian dari hidupku, Rizkia. Tapi tak kutemukan jejak langkah Monica. Begitu juga Naela. “Ke mana mereka, ya?” tanyaku dalam hati. “Mungkinkah sekarang mereka ada di kamarnya? Ya, mungkin saja ia sudah pulang lebih dulu.” pipkirku.

Tanpa berpikir panjang, dengan serta merta aku langsung ke kamar Naela, yang juga sudah menjadi kamar Monica. Lantas aku ketuk pintunya. Tapi tidak ada yang menjawab. “Ke mana mereka, ya?” Kucoba membuka pintu itu. “Ah, kenapa tidak terkunci?” Aku terkejut berbaur heran. Perlahan, aku masuk ke dalam. “Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râjiûn.” Aku terkejut melihat kamar Naela yamg sedikit acak-acakan. D iatas kasur sebelah barat, tempat tidur Monica ada sebercak darah. Kuamati darah itu masih segar. Apa yang terrjadi, ya? batinku sembari mencium darah yang berceceran itu.

“Monica batuk darah. Agaknya ia menderita penyakit. Sekarang ia sedang dirawat di RS Wirasuhada, Singaraja, Buleleng. Naela yang mengantarkannya.” celetuk Warda, khaddam Guru Wayan yang lain, yang tiba-tiba berdiri di belakangku.

“Apa…! Monica di rumah sakit?!” Mataku terasa kuyup. Perih. Air mataku kembali menganak sungai di pipi. Dan aku tak bisa membendungnya lagi. Ya Alllah, selamatkanlah Monica. Berikanlah ia cinta. Berikanlah ia pria yang dapat menghadirkan cinta untuk-Mu. Cinta yang sejati.

Mendengar hal itu, tentu saja aku tak tinggal diam. Aku putuskan pergi menuju rumah sakit di mana Monica dirawat.

***

Sampai di rumah sakit, kulihat Monica terbaring di atas ranjang berselimut kain putih. Dia tak sadar.

“Masa kritisnya sudah lewat. Keadaanya juga sudah mulai membaik. Ia hanya butuh istirahat.” jelas dokter setelah memeriksa Monica kepada pria, yang kuduga adalah kakaknya.

“Sabar, ya!,” Naela berusaha menenangkan pikiranku.

“Terima kasih banyak, Naela.”

Detik demi detik. Menit pun kini menjadi jam. Aku masih setia menemani Monica bersama Naela. Dan juga David, kakak Monica. Tapi mata Monica masih terpejam. Kulihat, Naela sudah mulai ngantuk. Dia sudah menguap, karena rasa kantuk. “Kalau kamu ngantuk, lamu tidur saja!”

“Tidak apa-apa. Monica, kan juga sahabatku. Akun juga ingin menemaninya di saat ia butuh seorang sahabat.” timpalnya.

“Naela, lihat!” kataku pada Naela, saat kulihat tangan Monica sudah mulai bergerak. Matanya pun mulai terbuka. Seakan ada tanda-tanda kehidupan dalam diri Monica.

“Se… sebelum aku pergi. Aku ingin kau tahu, Sal, bahwa aku sangat mencintaimu. Aku selalu bermimpi akan menjadi pendampingmu. Tapi aku merasa tak pantas untukmu. Naelalah yang lebih pantas untukmu. Aku…”

“Tidak Monica, kau tidak boleh pergi.” Isak Naela memutus pembicaraan Monica.

“Tidak, Naela. Aku harus pergi. Malikat Izrail akan segara menjemputku. Aku sudah tak sabar bertemu dengan-Nya Naela… Lâ ilâha illallâh Muhammadun rasûlullâh.” Ketika dua kalimat syahadat diucapkan, desah nafas Monica berhenti.

“Tidak…, kamu jangan pergi Monica!” Tangis Naela pecah. Aku hanya terdiam tak bisa apa-apa. Aku merasa pilu. Air mataku pun terus berderai. Aku mulai tak kuasa menahan cobaan ini. Aku hanya bisa menutupi wajahnya dengan kain putih. Kini gadis bule itu telah pergi memebawa cinta sejatinya. Aku yakin, ia pergi dalam keadaan syahîdah. Karena ia mampu memendam cinta hingga akhir hayatnya dan berujung husnul khâtimah. Betapa bahagianya jiwa yamg tenang itu. “Maafkan aku, Monica. Semoga engkau mendapat tempat yang layak di sisi-Nya. Amin...”

***

Pagi harinya, usai salat Dhuha, aku keluar menuju ruang tamu. Tapi aneh, tidak seperti biasanya. Ruang tamu kelihatan sepi. “Biasanya, Naela lagi sibuk-sibuknya bersih-bersih di sini. Kok, sekarang tidak ada ya? Padahal, sekarang aku ingin menceritakan sesuatu padanya. Aku ingin menceritakan tentang masa laluku dengan Rizkia.” gumamku dalam hati.

Assalamualaikum, Ustadz.” Tiba-tiba ada suara Warda menyapaku dengan salam.

Waalaikumsalam. Kok sepi banget, Da? Memang Naela ke mana?”

“Naela sudah pulang ke kampungnya.”

“Kapan ia pulang?”

“Tadi, setelah salat Shubuh. Sebelum ia pergi, ia nitip sesuatu buat Ustadz.”

“Nitip apa, Da?”

“Ini. Ambillah!” ujarnya sembari memberikan amplop dari Naela.

“Kalau Ustadz kangen sama Naela, Ustadz datang saja ke rumahnya di desa Candi Kuning, Begugul, Tabanan. Kira-kira perjalanan satu jam dari sini.”

“Terimakasih, Warda!”

Sejurus kemudian, kubuka amplop itu.

To: Ustadz Faisal

Di tempat yang mulia.

Assalamualaikum.

Sebelumnya, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Karena saya tidak bisa menyanggupi permintaan Monica untuk hidup bersamamu. Jujur, saya memang mencintaimu melebihi diriku sendiri. Saya selalu bermimpi melayanimu seumur hidupku. Namun, setiap kali saya menatap mata beningmu, di sana seperti ada burung merpati yang sudah lebih dulu berlabuh dalam pulau kecilmu.

Sebagai seorang wanita, saya tak ingin merampas kebahagiaannya. Saya sangat bisa memahami, bagaimana perasaan wanita. Perasaan wanita sangatlah sensitif. Kalau sampai disakiti, akan sulit untuk mengobatinya. Saya mohon jangan engkau sakiti hatinya. Saya yakin, kalaupun Monica tahu bahwa dalam hatimu sudah ada orang lain, ia tak akan memintamu hidup bersamaku. Ia pasti akan menyuruhmu kembali pada gadis yang lebih dulu singgah dalam hatimu.

Wassalam.

Naela Octavia, sahabatmu.

Aku tak bisa mengingkari adanya cinta. Cinta memang hukum alam yang harus dijalani umat manusia. Rasulullah SAW telah bersabda dalam Hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah RA: “Allah SWT telah menjadikan kasih sayang-Nya menjadi seratus bagian. Dia menahan Sembilan puluh sembilan bagian di sisi-Nya. Dan menurunkan satu bagian ke muka bumi. Dan dari satu bagian inilah, para makhluk saling kasih-mengasihi. Sehingga seekor induk binatang mengangkat cakarnya dari anaknya, karena takut melukainya.”

Cinta tak akan pernah mati dalam siklus kehidupan. Ia terus mengalir sepanjang sungani Niel. Keindahan, kedamaian, ketulusan dan kebahagiaan juga ikut mengalir di dalamnya, mengikuti arus cinta. Cinta juga menyebabkan kemirisan hati. Kesedihan yang panjang menahan rindu. Namun hal itu terkadang menjadi nutrisi jiwa yang terasa nikmat bagi sang pecinta. Namun, hingga detik ini, tak seorang pun mampu memaknai cinta. Kita hanya mampu merasakannya saja. Cinta itu lahir dari keindahan jiwa.

Dan Faisal melihat ketiga gadis itu dengan kacamata cinta yang tidak terkontaminasi oleh virus-virus nafsu. Cinta yang tidak keluar dari batas-batas syariat Islam. Cinta tanpa sentuhan, tapi dengan pengkhayatan yang lahir dari kesucian nurani. Hingga akhirnya, Naela mau mengalah dan ia pergi demi kesucian cinta Faisal untuk gadis lain, yaitu Rizkia, tunangannya. Sementara Monica menghiasi jiwanya dengan perasaan cintanya terhadap Faisal, sampai menutup mata…

Sebutan untuk rumah Kiyai. (Madura)

Bersalaman kepada orang yang lebih tua dengan posisi menundukkan kepala sejajar dengan tangan orang yang disalami. (Madura)

Nusa Tenggara Barat

Penanggung Jawab Dai

Pelayan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun