Mohon tunggu...
Mubarok
Mubarok Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer, Mahasiswa Juga

LAHIR DAN BESAR DARI KELUARGA SEDERHANA, MENCOBA MENJADI MANUSIA YANG BERMANFAAT

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menatap Wajah Ayahku

20 November 2019   00:36 Diperbarui: 20 November 2019   00:39 8
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Repost dari Blog Lama

Di ambang pensiun ayahku masih giat berangkat ke sekolah. Sudah lebih dari 35 tahun beliau mengabdikan dirinya untuk mendidik para penerus bangsa ini. Perjalanannya sebagai pendidik adalah inspirasi yang begitu kuat bagi kehidupanku. Setelah lulus dari Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Muhammadiyah di Magelang ayah mulai bertugas di daerah terpencil. Ayah ditempatkan di daerah Penisihan tepatnya di wilayah Kabupaten Cilacap. Sebuah tempat yang ketika itu belum dialiri listrik, jalan tanah yang berlumpur ketika hujan dan kesulitan air ketika musim kemarau.
Untuk sampai ke sekolah ayah harus menempuhnya dengan naik sepeda, di musim hujan sepeda tua itu harus dipanggul melintasi jalan berlumpur agar bisa sampai ke sekolah. Ayah sering tertawa mengingat kejadian itu, katanya "kalau musim kemarau ayah yang naik sepeda tetapi kalau musim hujan gantian ayah yang dinaiki sepeda". Pakaian dan sepatu harus betul-betul dijaga agar tidak basah kehujanan, untuk hal yang satu ini ayah menyiasati dengan memanfaatkan plastik kresek. Sepatu dan pakaian dibungkus dalam plastik dan ayah berangkat sekolah dengan memakai pakaian biasa. Ayah adalah sosok guru yang menjaga kerapian dan kebersihan di depan murid-muridnya. Menurut beliau, seorang guru bukanlah sosok yang sekedar menularkan ilmu pengetahuan melainkan juga menjadi suri tauladan murid-muridnya. Ibarat pepatah "guru kencing berdiri, murid kencing berlari". Apa yang ditampilkan oleh seorang guru akan dicontoh dan diikuti oleh murid-muridnya. Karena itu guru sebagai seorang pendidik tidak cukup hanya memiliki kecakapan akademik tetapi juga harus bersih dari cacat moral. 

Jika seorang guru memiliki cacat moral baik dalam kehidupan sehari-hari maupun di sekolah, maka dia tidak bisa lagi menjadi contoh yang baik bagi murid-muridnya. Itulah alasan ayah menjaga penampilannya di depan para siswa. Untuk bisa mengajari siswanya menjaga kebersihan dan kerapihan maka seorang guru harus memberi contoh mulai dari hal yang sederhana seperti berpakaian bersih dan rapi. Kebiasaan lain yang juga dijaga oleh ayah adalah bangun pagi dan berangkat ke sekolah tepat waktu. Di keluarga ayah mengajarkan disiplin dengan keteladanan bangun pagi. Di sekolah beliau mengajarkan disiplin dengan selalu datang tepat waktu. Kalau ingin murid-muridnya datang tepat waktu maka guru juga harus memberikan contoh dengan datang tepat waktu pula.
Pendidik adalah contoh bagi murid-muridnya. Karena itu ayah sering merasa prihatin melihat pendidik sekarang yang tidak memperhatikan hal tersebut. Seorang guru yang tidak disiplin, berpakaian tidak rapi, menggunakan kata-kata kasar, kotor dan melemahkan mental siswa sejatinya tidak layak disebut sebagai seorang pendidik. Tidak sedikit juga guru yang membawa masalah dalam rumahtangga ke sekolah. Masalah yang dihadapi di rumah membuat mereka mudah murah dan tidak fokus dalam mendidik. Ayah bercerita kalau di jamannya para guru selalu berusaha memisahkan persoalan di rumah dan sekolah. Mereka menempatkan diri sebagai pendidik yang baik ditengah keterbatasan fasilitas belajar mengajar.
Di Penisihan 35 tahun yang lalu fasilitas belajar mengajar memang masih sangat terbatas. Gedung sekolah yang sudah tua, meja kursi yang rusak, koleksi buku perpustakaan yang minim dan murid-murid yang terpaksa belajar sesuai jadwal pekerjaan orang tuanya. Selain keterbatasan sarana dan prasarana para guru juga harus menyesuaikan dengan budaya masyarakat setempat. Sebagian besar masyarakat di daerah itu bekerja sebagai petani. Di musim tanam dan panen biasanya orang tua melibatkan anak-anaknya untuk membantu pekerjaan di sawah. Akibatnya kegiatan belajar mengajar juga sering terganggu. Para guru harus bersabar menungggu kedatangan murid-muridnya ke sekolah untuk belajar. Ditengah kegiatan belajarpun orang tua masih sering datang ke sekolah, memanggil anaknya untuk membantu pekerjaan. Sebagian siswanya sudah berusia melebihi usia belajar di tingkat dasar. Beberapa dari mereka terpaksa masuk sekolah di usia yang sudah lebih tua dari semestinya. Untuk jenjang sekolah dasar (SD) cukup banyak siswanya yang sudah berusia di atas 12 tahun. 

Cerita ayahku tentang perjalanannya sebagai pendidik sering diulang-ulang di depan anaknya. Ayahku tidak sedang mengeluh, bukan pula menyesali perjalanan hidup apalagi menertawakan kondisi pendidikan waktu itu. Baginya bercerita pengalaman tentang dunia pendidikan yang digelutinya adalah upaya untuk membentuk karakter, semangat, dan menguatkan sendi-sendi kepribadian putra-putrinya. Disiplin, kerja keras, ulet, pantang menyerah, adalah kunci sukses yang beliau ajarkan melalui cerita-ceritanya.
Kekurangan fasilitas bukanlah halangan untuk maju. Tantangan yang dihadapi oleh seorang pendidik ibarat garam di dalam kubangan sayuran yang justru memperkaya rasa. Belajar mengajar adalah sebuah semangat untuk berbagi dan saling menguatkan. Berbagi pengetahuan, kepercayaan diri, pengalaman, ketrampilan dan keteladanan yang diberikan oleh pendidik. Saling menguatkan dilakukan dengan memberi semangat bagi siswanya agar memiliki kekuatan mental dalam mencapai kesuksesan. Ayah sering bercerita betapa bangganya dia sebagai guru ketika beberapa muridnya di sekolah dasar dulu datang ke rumah dan bercerita kesuksesan mereka saat ini. Ada yang sudah menjadi tentara, guru, polisi dan berbagai profesi lainnya. Ayah merasa bangga karena mereka berasal dari daerah terpencil yang sarana dan prasarana belajarnya masih terbatas. Mereka membuktikan bahwa kuatnya mental dan semangat untuk sukses bisa mengalahkan berbagai keterbatasan. Semangat dan nilai-nilai perjuangan yang selalu ayah tekankan ketika belajar begitu kuat tertancap di benak mereka.
Hal lain yang mutlak dimiliki oleh seorang guru adalah fokus dan jiwa mengabdi untuk pendidikan. Tanpa adanya jiwa mengabdi maka menjadi pendidik tidak lebih dari ritual pekerjaan biasa yang dinilai dengan besaran rupiah. Mengabdi untuk pendidikan bermakna profesional dan tulus dalam berbagai ilmu dan pengetahuan. Materi bukanlah tujuan utama, tetapi kemajuan sumber daya manusia dan pembentukan akhlak peserta didiklah yang menjadi orientasi utamanya. Karena itu pekerjaan sebagai seorang pendidik sejatinya tidak bisa dinilai semata dengan besaran rupiah yang dia terima. Ayah sering merasa prihatin dengan para guru sekarang yang lebih memfokuskan mencari materi daripada mengabdi buat keberhasilan anak didiknya. Contohnya guru sering meninggalkan kelas untuk mengurus sertifikasi, mencari sertifikat, dan tujuan lain yang bersifat mengejar materi. Mereka membiarkan murid-muridnya di dalam kelas dengan tumpukan tugas yang ditinggalkan. Ada keegoisan dari sang guru ketika kepentingan pribadinya mengalahkan hak dari peserta didiknya.
Pergeseran fokus dari guru dan hilangnya jiwa mengabdi tersebut seringkali bisa dilihat dari hasil pendidikan. Standar kelulusan atau purna belajar yang diemban oleh seorang siswa sering hanya dilihat dari bukti nilai ujian nasional atau nilai sekolah yang tertulis dalam ijazah dan rapot. Sejatinya ketika pendidikan bisa membebaskan manusia dari sifat non manusiawinya maka perubahan perilaku dan akhlak peserta didik adalah pertanda purna belajar yang hakiki. Berdasar pengalaman ayah mendidik, kehilangan fokus dan jiwa mengabdi ini mengakibatkan banyak perserta didik yang kehilangan daya nalar dan nuraninya. Karena itu fenomena tawuran remaja dan anak sekolah yang marak akhir-akhir ini tidak lepas dari hilangnya sosok pendidik yang mampu membina perilaku dan akhlak mereka. Imbas dari pendidikan kita yang tidak mengedepankan pembangunan spiritual yang utuh menjadikan peserta didik mengalami disorientasi dari tujuan pendidikan. Standar nilai dan bukti prestasi kognitif dianggap sebagai sebuah keberhasilan tunggal, sementara kebaikan perilaku dan akhlak sebagai buah pendidikan justru diabaikan.
Menjelang masa pensiun sebagai guru, ayah tidak mewariskan harta benda berlimpah bagi anak-anaknya, tetapi semangant dan pengabdiannya adalah suri tauladan yang tidak terkira. Sekelumit kisah tentang ayahku semoga memberi manfaat dan dorongan bagi kita semua untuk memperbaiki dunia pendidikan.
Menatap wajah ayahku adalah menatap wajah guruku.
Menatap wajah ayahku adalah menatap wajah pendidikan bangsa ini.
Menatap wajah ayahku adalah menatap wajah generasi bangsa ini.
Di matanya tersimpan sejuta harapan, doa, dan semangat yang selalu ditularkan bagi kebaikan pendidikan di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun