Menulis amat sulit bagiku sekarang ini. Apakah karena buku itu yang membatasiku?---buku tutorial menulis. Kemarin ideku cemerlang luar biasa hingga aku tak sabaran untuk membuka E63 dan menulis, eh, mengetik. Kok sekarang mlempem, hampir cenderung amat sulit. Sering ketika hendak melakukan, otakku sudah mereka-reka kalau bakal sampai di mana dan ujungnya ternyata out of topic. Maka, gagal aku teruskan.
Dipikir-pikir menulis itu memasalahkan hal-ihwal yang bukan masalah. Lalu dipanjang-pendekkan. Yang apa adanya diangkat, dianggap sebagai ada apa-apanya. Lalu diurai sepanjang mungkin yang dimaui, kalau cukup pendekkan, dibuang yang tak perlu, tak pas, tak indah. Sesimpel itu kah teorinya? Ya betul! Praktiknya komplek.
Maka setelah selesai dari menemukan teori yang kebetulan itu, aku membuka kembali tulisanku yang mandek. Menutup buku tutorial, laptop yang menyetel KBBI Offline 1.5, lalu memulai menggoreskan tinta.
Tak berapa lama tulisanku panjang. Aku merasa professional mendadak---ide beruntun-runtun muncul, bisa menulis tanpa henti. Pulpen kuletakkan penanda kerampunganku menulis. Penyelidikkan dimulai, aku pindai semua yang ada. Ternyata hasilnya mengenaskan: tulisanku bukan apa-apa. Aku terlalu lebay dalam merasakan Mungkin sebabnya dari impianku yang terlalu muluk-muluk. Inginnya sekejap sukses, cukup dengan satu-dua halaman aku melangit bak budayawan berpeci merah putih idolaku. Bodohnya aku menyandingkan diriku dengannya.Â
Aku bagai debu tak terlihat di bawa batu, ditiup angin. Akibat dari barusan membaca tulisannya yang dahsyat, barangkali. Tulisan yang sarat akan nilai moral, renyah komedi, penuh pesan-pesan yang dapat diambil juga mengandung nilai sosial, politik, agama dan, hebat itu. Jadi gambaran tulisan itu utuh di kepalaku, lalu mataku men-scan tulisanku sendiri menjejerkan keduanya, dan hasilnya tak kompatibel.
Sekarang sudah jelas sekali bahwa aku kurang sepak terjang dan tidak jago. Kegagalan ini bernilai tinggi, karenanya aku paham posisiku, ukuranku, bagaimana aku sepatutnya. Gambaran permisalan ini mungkin bisa menjelaskan: ketika aku dari Pekalongan hendak ke Yogya mengenakan motor untuk pertama kalinya, maka sepantasnya aku tak membayangkan bahwa perjalanan ini akan dapat ditempuh dalam 5 jam.Â
Meski temanku sendiri ialah buktinya, ia sendirian naik motor, menghabis 5 jam bahkan dengan beberapa selingan ngopi, dan ngudud di tengah jalan. Tekanan 5 jam sampai pun hadir, menggerayangi pikiranku. Ayo ngebut. Jangan malas-malasan. Carilah celah dan salip. Jangan ragu sedikit pun.Â
Waktuku di jalan kian memanjang, deadline kian dekat. Istirahat pun tak kulakoni. Gubrak! Aku jatuh. Di pinggir jalanan, tanpa aspal yang ternyata berlumpur---yang memelesetkanku. Aku bangkit lagi, semangat masih ada, waktu masih bisa diusahakan. Gubrak! Aku menabrak mobil travel yang mengerem mendadak akibat mataku yang meredup dan pusing---seolah-olah yang kulihat menjauh-mendekat. Kegagalan menghampiriku, bahkan bukan sekadar gagal namun hancur. Jam telah menunjukkan pukul 13.00, artinya sudah 5 jam sebab aku berangkat pukul 08.00, dan aku masih di Magelang, dengan kaca lampu motor remuk.
Impian yang tak sesuai dengan ukuranmu akan membunuhmu perlahan. Awalnya itu memompa semangatmu bak dopping. Lalu ketika tergesa-gesa muncul blunder, kesalahan-kesalahan kecil dan tekanan itu tetap memaksa untuk mencapainya. Kemudian berakhir tragis: menyerah dan gagal.
Baca dirimu, ukur dirimu. Mana kala kecil akui saja dan melangkahlah meski perlahan. Tanpa peduli apa yang akan kamu capai. Kau boleh tetap bermimpi tapi ingat soal tadi, ukur mimpimu. Jangan biarkan mimpimu sendiri yang membunuhmu. Yang penting ada kemajuan yang selalu hadir dan tanpa peduli amat soal besar-kecilnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H