Jam 05.00, di atas Kapal Ferry, Selat Bali
Jam tanganku menunjukkan pukul 04.00 wib pagi atau 05.00 wita tepatnya. Tertera juga tulisan 20 september di jam kesayanganku ini. Sudah hampir 15 jam perjalananku dari kota Yogyakarta tercinta hingga sekarang aku sudah duduk di sebuah bangku busa di kapal ferry tua ini. Cahaya pelabuhan gilimanuk sudah berpendar tak jauh dari mata memandang. Aku hanya bisa menatap lemah ke arah laut di sebarang gilimanuk, mengharapkanmu untuk tiba-tiba muncul disini. Mengagetkanku disini, seperti biasanya kamu mengagetkanku dengan lelucon lelucon mu yang sungguh tidak lucu.
Jam 05.58, Gilimanuk
Akhirnya aku keluar pelabuhan, dan kembali duduk manis di kursi mobil travel yang membosankan. Gapura patung melaya yang besar seakan mengajakku untuk terpekur. Entah kenapa bangunan selamat datang itu seakan terasa suram dan gelap di mataku. Padahal cahaya merah matahari memberi kehangatan bagi setiap makhluk yang mulai beranjak bergerak. Mobil ini bergerak berlahan menuju rumah makan di dekat SPBU Gilimanuk. Jendela pintu depan terbuka dan terdengar suara abang sopir, "yang mau sholat, sarapan, istirahat, dan buang air kecil, silahkan disini". Teriakan lantangnya diikuti suara pintu yang dibanting keras. Entah dia sedang lelah dan penat atau aku yang terlampau kaget terlonjak dari lamunanku. Yang jelas aku seperti tetarik kembali ke dalam diriku. Musholla kecil terlihat diujung belakang rumah makan, sangat susah menjumpai rumah makan di Bali yang menyediakan musholla kecil untuk pengunjungnya. Aku segera tunaikan kewajibanku, mengambil air wudhu, dan menggunakan ruku yang dipinjamkan ibu-ibu yang baru saja sholat.
Jam 09.15,Tabanan
Kulihat di GPS yang ada di smartphone ku, taman nasional balibarat sudah terlewati, dan sekarang sudah masuk tabanan. Jalan yang mulus tadi membawaku tidur untuk sekian kalinya di perjalanan ini. Tidak ada yang mengajakku berbicara di mobil ini. Aneh benar perasaan ini. Aku ingat sekali dulu aku sangat senang sekali saat melakukan perjalanan antara gilimanuk dan padangbai untuk pertama kalinya. Pemandangan sepanjang Bali memang menyenangkan, sawah, hutan, pura, orang-orangnya dan terutama aku bahagia karena abang akan menjemputku di Pelabuhan Lembar. Abang akan mengenalkanku ke orang tuanya. Ya... lelaki yang telah mengambil hatiku itu akan mengenalkanku ke orang tuanya. Tapi tentu saja aku takut, tidak mungkin aku bersatu dengannya. Benarlah negara ini menjunjung tinggi toleransi beragama. Tapi, aku seorang muslimah dan abang adalah hindu dari kasta brahma, tak mungkinlah kita bersatu. Air mataku menetes lagi setelah beberapa jam yang lalu baru saja mengering.
Jam 13.15, Denpasar
Kemacetan di akhir minggu ini tak menghentikan laju mobil ini. Sopir mobil ini memang hebat sekali, mengebut di sela-sela jalanan kota denpasar yang sempit, agak sedikit ugal ugalan. Makan siang kali ini di rumah makan nasi pedas Andika. Sang penjaga tak menatap kami sedikitpun, hanya saja meja kami sudah tersedia. Aku bertanya kepadanya apakah boleh meminjam ruangan nya untuk sholat, tapi tak digubrisnya. Hanya saja arah bahunya mengarahkan mataku ke sudut bilik sempit kamar tamu. Aku mengerti keheranannya, dan disanalah aku bersujud lagi ke tuhanku. Entah mengapa hatiku makin gelisah. Bahkan kegelisahanku makin menjadi jadi ketika perjalanan dilanjutkan menuju pelabuhan lembar, tempat tujuanku.
Jam 14.29, entah dimana
Tiba-tiba aku terbangun dari tidurku. Aku pikir aku sudah sampai di padang bai. Sebelum aku tertidur tadi, aku sempat melihat tulisan Denpasar Timur. Tapi sekarang aku tidak tahu sedang dimana. Ramai sekali di sini. Dan aku merasa tubuhku sakit semua... mungkin karena kebanyakan duduk. Lebih dari 24 jam aku duduk di mobil travel ini. Orang orang berkerumunan, ada tiga polisi yang membawa handy talkie sedang menyuruh kerumunan orang-orang menjauh. Begitu sibuknya hingga tak menghiraukan aku yang kebingungan. Aku baru sadar bahwa ada kecelakaan bus antar kota propinsi. Bis itu ringsek dibagian depannya dan meluncur bebas ke tebing curam. Oh tidak, mulutku tercekat. Aku melihat ibu-ibu yang meminjamkanku ruku di rumah makan gilimanuk itu terlentang penuh darah. Polisi itu segera menutupinya dengan kain. "hai...., dia belum mati" teriakku. Ibu itu tersenyum padaku. Melambaikan tangannya padaku. Ada apa dengan aparat di negeriku ini. Kejam sekali mereka. Aku segera menghampirinya, menyangga kepalanya dengan pahaku. Dia mengusap kepalaku, ada bau amis yang menusuk hidungku. Dia tersenyum, tetapi bukan karena kesakitan. Orang baik macam apa ini, yang lukanya begitu parah tapi masih bisa tersenyum. Duh gusti, amal apakah yang diamalkan ibu itu hingga mukanya begitu teduh memandangku.
Jam 14.40, Gelap