Mohon tunggu...
M.Mu'azzin Fauzi
M.Mu'azzin Fauzi Mohon Tunggu... -

pensil yang pendek lebih berharga dari ingatan yang panjang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ma’iyahan Ala May Day

2 Mei 2014   01:28 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:58 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Perjuangan pergerakan kelas pekerja adalah realitas sejarah perjuangan sangat panjang kelas pekerja untuk meraih kendali ekonomi-politis hak-hak industrial. Dalam sejarahnya perjuangan pergerakan kelas pekerja berawal dari perkembangan kapitalisme industri di awal abad 19 menandakan perubahan drastis ekonomi-politik, terutama di negara-negara kapitalis di Eropa Barat dan Amerika Serikat (Baca;http://id.wikipedia.org/wiki.Hari Buruh).

Spirit dan semangat perjuangan kelas pekerja ini yang bermetamorfosa menjadi momentum lahirnya May Day (Hari buruh). Di Indonesia, gelombang pergerakan perjuangan buruh tidak pernah mengalami kemunduran. Berbagai kelompok serikat buruh membangun solidaritas dan soliditasnya dalam rangka memperkuat perjuangan pergerakan buruh untuk menuntut hidup layak, upah layak, dan iklim kerja yang layak.

Agenda ma’iyahan (kebersamaan) pada momentum may day ditandai dengan agenda long march para buruh dan aktivis peduli dan bertemu di satu titik kumpul strategis di beberapa daerah diisi dengan agenda simpatik. Pembacaan petisi, tuntutan-tuntutan rasional serta agenda evaluasi berbagai janji politik pemerintah dan legislatif dilakukan oleh kaum buruh pada momen May Day. Momentum ini sebagai ajang dan arena stratgis “menumpahkan” aspirasi dengan satu harapan buruh hidup dalam kondisi layak sebagaimana negara menjaminnya dalam konstitusi. Ma’iyahan ala Mei Day adalah pilihan protes alternatif atas bebalnya aparatus negara dalam meresfons persoalan perburuhan (kelompok masyarakat miskin) yang tak pernah terselesaikan dengan baik.
Aktivis buruh dan para pekerja selalu intens dan konsisten mengkawal dan menyuarakan setiap potensi pelemahan terhadap eksistensi para buruh. Persoalan perburuhan selalu kaya dinamika karena kecendrungannya pemerintah selama ini dengan perangkat kebijakan yang diproduk selalu menyisakan persoalan dan tidak pernah tuntas. Fenomena aksi protes buruh yang identik dengan kelompok masyarkat kelas dua (kelompok miskin) yang tidak pernah berhenti tiap tahunnya dirayakan adalah indikasi kuat nestapa dan jeritan kaum buruh belum terurai dan belum terjawab oleh pemerintah dengan adil. Belum adanya political will pemerintah yang tegas dan berpihak pada kaum buruh. Kalangan pemodal (kapitalis) masih mendapat perlakuan istimewa dari pemerintah. Sehingga perjuangan buruh dalam menyampaikan aspirasi belum sepenuhnya mampu mendorong regulasi yang implementatif dan operasional keberpihakannya mengurai persoalan perburuhan.
Kerja kontrak dan outsourching adalah isu yang menyulut aksi protes kalangan buruh. Berbagai formulasi negosiasi telah dilakukan. Pertemuan tripartiet (pihak buruh, pengusaha dan pemerintah) adalah rutinisme yang digelar di banyak even dan moment. Dalam diskusi dan dialog media elektronik sering dipertontonkan dinamika diskusi yang tak berujung dengan konsensus kesepakatan yang utuh dan mengikat. Paradigma buruh dan pengusaha memiliki dasar konsep dan logikanya sendiri-sendiri. Pihak buruh terkesan tidak merasa memiliki perushaan dimana tempat mereka berkerja. Pun perusahaan tidak memposisikan buruh bagian penting dan vital yang mendorong dan banyak berkontribusi majunya perusahaan.
Hakikatnya semua persoalan perburuhan yang masih ambigu ini, yang menjadi bagian persoalan serius di negeri ini akan dapat teratasi dengan baik, bila pemerintah memiliki pandangan yang utuh tentang dunia usaha dan iklim perdagangan yang berpihak pada masyarakat miskin. Bagaimana pemerintah memainkan peranan strategisnya dalam mengurai persoalan perburuhan (kelompok miskin) kalau cara pandang politiknya masih dipasung oleh hegemoni kalangan borjuasi yang sangat dominan sebagai pengatur logika kebijakan di balik layar. “Pemain balik layar” tidak nampak dengan jelas sepak terjangnya, tetapi dampak intervensinya sangat kental terasa. Akhirnya terkesan pemerintah sedang memainkan langgam politik kebijakannya yang kalau ditelaah secara kritis dan secara kasat mata sedang memposisikan persoalan perburuhan sebagai persoalan “Buruh Versus Pengusaha” semata.
Lagi-lagi persoalan substansial setiap rezim adalah good will dan political will yang tidak cukup dominan mengintervensi kebijakannya (polecy). Karenanya kedepan, momentum politik tidak boleh dianggap sekedar rutinitas taransisional pemerintahan semata tanpa dimaknai dengan pemilihan sosok yang berpotensi dan mampu menjawab aspek perburuhan di satu sisi dan aspek-aspek lain persoalan negara ini yang juga sangat penting dicari terobosan kebijakan yang berani dan tegas. Dengan memposisikan keberpihakan kebijakan harus diterjemahkan dalam kerangka fikir demi kedaulatan kesejahteraan rakyat. Semoga momentum ma’iyahan ala May Day hari ini akan produktif dalam mendorong lahirnya regulasi yang berpihak pada buruh yang notebene adalah masyarakat yang masih termarjinalkan secara ekonomi.Semoga.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun